Chapter 54
Never Let Me Go [Indonesian]"Maaf—" aku memulai, tiba-tiba menarik diri darinya. Dengan cemas kugigit bibir bawahku dan rasa manis dari mulutnya tertinggal di mulutku.
Jongin tampak merona dan sedikit bingung, dan aku tahu aku terlihat persis sama.
"Maafkan aku," aku berkata lagi, mengambil langkah mundur darinya. "Itu tidak—" Aku tergagap. "Aku harus kembali ke dalam. Ibu sendirian."
Tidak, ibu tidak sendirian. Young Soo di atas sana bersama ibu.
Jongin sedikit mengerutkan alisnya ketika dia tampak agak kaget. "Baiklah." Katanya dengan enggan. "Selamat malam."
Aku menatapnya semenit kemudian, aku berbalik memunggunginya dan masuk ke dalam gedung apartemen dengan jantung yang masih meronta-ronta di dadaku.
-------
Keesokan paginya, aku turun dari kamarku dan mendengar Bibi dan ibuku berbicara di dapur. Ibu bercerita tentang niatnya untuk mendaftar ke panti rehabilitasi yang tidak terlalu jauh dari sini. Kurasa ibu berbicara tentang hal itu kepada Bibi Sora yang juga bercerita tentang terapis sukses dan sangat baik yang direkomendasikan oleh salah satu temannya.
Sejujurnya, aku ingin berpihak pada bibi tentang hal ini. Dengan terapis, ibu hanya akan mengunjungi kantornya dan masih tinggal bersama kami, sementara di pusat rehabilitasi, dia akan hampir tinggal di sana selama beberapa bulan. Tapi kupikir ini adalah keputusan ibu, bukan kita. Dan jujur, aku senang dia mengambil tindakan untuk membuat dirinya lebih baik.
Di sekolah, semuanya juga kembali normal. Normal misalnya, gosip yang masih hangat dan aku masih di dalamnya. Setelah itu rumor tentang ibuku, mabuk dan mengemudi, ada rumor baru tentang diriku kalau aku sedang mencoba untuk mendapatkan Jongin kembali, meskipun ia sedang berkencan dengan trainee cantik itu. Kupikir itu dimulai ketika mereka melihat aku dan Jongin nongkrong dan berbicara lagi. Aku memutuskan untuk mengabaikan mereka sepenuhnya dan menutup pertanyaan atau asumsi yang mereka miliki mengenai kehidupan pribadiku. Aku mengabaikan gumaman dan tatapan mereka setiap kali aku berjalan melewati mereka.
Kadang-kadang, Min Jee dan Yu Jin akan menembak mereka dengan tatapan laser khas mereka dan mereka akan berhenti dan bungkam seketika. Keduanya cukup akur sejak aku dirawat di rumah sakit. Mereka mengatakan mereka sering nongkrong sementara aku pergi. Mereka juga menambahkan bahwa aku harus bersama mereka.
Di sisi lain, Jongin dan aku berteman lagi. Setidaknya, itulah bagaimana aku ingin menafsirkan hubungan kami saat ini: Berteman.
Dan karena kami berteman lagi, aku berhenti memakai kalung yang ia berikan padaku. Aku agak bodoh untuk benar-benar menerima kalung itu lagi saat ia mengembalikannya padaku. Melihat kalung itu membuatku berpikir tentang malam kami berciuman di luar gedung apartemen. Aku mengesampingkan insiden itu selain karena aku tidak ingin dia berpikir aku mencoba untuk mengambil keuntungan dari situasi itu, atau bahkan lebih buruk, bahwa desas-desus itu benar. Sama sepertiku, kemungkinan besar dia hanya terbawa suasana dan menciumku. Gambaran tentang gadis trainee yang mengabur perlahan melintas dalam kepalaku saat malam kami berciuman. Aku menghabiskan malam itu dengan gelisah karena bertindak begitu tidak bijaksana. Itu benar-benar tidak pantas. Selain itu, si gadis trainee tampak begitu menyenangkan dan aku tidak ingin menjadi alasan dari setiap kesalahpahaman mereka.
Mungkin aku harus memberikan kalung itu kembali kepadanya.
------
Aku menerima surat dari kantor Han Bi College setelah salah satu kelas pagi, keesokan harinya. Aku membuka dan membaca surat di loker dengan jantung yang serasa di tenggorokan. Mataku mengulang kata-kata yang diketik rapi itu.
Aku lolos.
Aku lolos dan aku akan ke Han Bi College.
Aku bersandar lemas pada loker sambil menarik napas panjang dan dalam. Aku tersenyum sendiri tapi itu tidak terasa tulus.
Ini aneh, pikirku. Seharusnya aku merasa seolah-olah aku melonjak tinggi sampai ke langit karena impianku akhirnya menjadi kenyataan. Aku akan ke Han Bi College. Itu yang kutunggu-tunggu dan kupersiapkan selama bertahun-tahun.
Sebaliknya, aku menatap kertas halus di tanganku, ketidaknyamanan tumbuh di perutku.
Sensasi semacam ini membayangiku. Aku tidak bisa mengabaikannya jadi aku memutuskan untuk tinggal di halaman selama waktu luang sore itu. Sebuah buku di tanganku, aku duduk di sebuah bangku beton yang kosong tepat di bawah pohon besar yang mengayomiku dari cahaya matahari terang yang membanjiri halaman.
"Aku dengar beritanya." Aku mendongak dan melihat Jongin mendekati bangku tempat aku duduk beberapa menit kemudian.
"Selamat." Kata Jongin ketika sampai padaku. Dia tersenyum tapi itu tidak mencapai matanya dan aku bertanya-tanya, untuk sepersekian detik, apakah itu tampangku ketika pertama kali membaca surat itu.
"Terima kasih." Aku menutup buku yang berusaha kubaca tetapi gagal karena aku tidak bisa menjaga fokus sejak suratku tiba. "Min Jee yang bilang padamu?"
Jongin menyeringai. "Dia tidak bisa tutup mulut tentang hal itu."
"Benar." Kataku sambil tertawa ringan. "Dia juga tidak bisa tutup mulut tentang kau masuk ke Art University."
Jongin menendang kerikil di tanah dan memicingkan mata pada langit yang cerah. "Ya."
"Itu pilihan keduaku, kau tahu." Kataku padanya. "Art University."
"Apa kau akan merayakannya?" Tanyanya. Dia menaruh tangannya di dalam saku dan menoleh ke lapangan sepak bola terang dan kosong di halaman.
"Min Jee menyarankan aku harus merayakannya. Nanti di kafe pizza." Aku memberitahunya. "Kau bisa bergabung dengan kami kalau kau mau. Bersama dengan Baekhyun dan yang lain." Tambahku buru-buru.
"Tentu saja." Kata Jongin, senyuman kecil dan lembut perlahan-lahan tertarik di bibirnya.
------
Please Subscribe to read the full chapter
Comments