Chapter 52

Never Let Me Go [Indonesian]
Please Subscribe to read the full chapter

Aku terbangun dari tidur terhuyung-huyung saat aku mendengar seseorang berteriak. Aku berguling ke sisi lain tempat tidurku dan menutupi kepalaku dengan bantal, menutupi kebisingan. Sampai seseorang mulai menggoyang tubuhku cepat-cepat. Aku berguling ke sisi lain dan melihat Young Soo di sisi tempat tidur, terisak-isak. Aku langsung berpikir kalau dia mengalami mimpi buruk lagi.

"Young Soo, apa—" aku memulai kemudian aku melihat noda merah di tangannya. "A-apa yang terjadi padamu?!?" Aku bertanya cemas, saat aku duduk di tempat tidur dan meraih tangannya ke atas tanganku. Aku membaliknya dan memeriksa apa ada luka tapi tak ada apapun. "Youngie!"

Young Soo tidak berbicara, dia hanya menangis histeris. Aku hampir bertanya lagi tapi kemudian aku mendengar teriakan kesakitan di seberang lorong.

"Mom?" Aku berujar, berdiri di kakiku. Aku buru-buru berlari melintasi lorong dan masuk ke dalam kamar tidurnya, kemudian langsung ke kamar mandi ketika aku melihat lampu dinyalakan. Darahku seketika dingin begitu aku melihat ibu, duduk di lantai keramik, terisak-isak, memegang pergelangan tangannya yang berdarah. "Ya am—Ibu! Apa yang terjadi ?!" Aku bertanya buru-buru. Aku menggigit bibir bawah untuk menghentikannya dari gemetar.

"Maafkan aku, Hana." Ibu terisak, wajahnya pucat pasi dan basah karena air mata. Benda berkilauan di samping ibu tertangkap mataku, sebuah silet. "Kupikir aku ingin mati tapi aku—aku sadar kalau aku tidak ingin meninggalkanmu... dan Young Soo ... Aku sangat menyesal."

"Oh Tuhan." Aku terkesiap ngeri ketika pergelangan tangannya terus berdarah. Aku berbalik dan menyambar handuk. Aku berlutut di depan ibu, menggulungkan handuk dan menekannya di pergelangan tangan.

"Hana, aku tidak ingin mati ..." ibu terisak. "Aku tidak ingin—"

"Aku tahu itu, ibu." Kataku, setengah berteriak padanya. "Itu sebabnya kau harus menekan pergelangan tanganmu. Aku hanya—" Aku berdiri dan mulai berpikir. Aku baru sadar bahwa tanganku mulai gemetar dan napasku meninggi. Aku mulai meraba-raba ke laci meja dan aku sadar aku tidak tahu apa yang ku cari.

Ini tidak baik, pikirku gugup. Aku tidak boleh panik, tidak sekarang.

"Hana!" Itu Young Soo. Dia sedang berdiri di ambang pintu. "Kita perlu membawa ibu ke rumah sakit!" Dia berteriak padaku, wajahnya sendiri bersimbah air mata.

Aku cepat-cepat menyadarkan diri dan mengangguk. Aku buru-buru kembali ke kamar mandi; ibu masih menangis, aku membantu dia berdiri di atas kaki gemetarnya dan membawanya turun. Young Soo menyerahkan ponselku dan kunci mobil ketika kami semua sampai di dalam mobil yang diparkir. Tapi ketika aku mencoba untuk menyalakan mesin, itu tidak bekerja. Aku mencoba lagi dan lagi.

"Sialan!" Aku menggerutu dan membanting tanganku ke setir dengan frustrasi.

Aku melihat ke kursi belakang di mana ibu sedang duduk dengan Young Soo, ia menekan tangan kecilnya pada handuk di pergelangan tangan ibu. Ibu sudah berhenti menangis sekarang, tapi dia masih terlihat pucat. Aku meraihnya dan menekan tanganku di dahinya, dia mulai kedinginan.

"Tunggu di sini." Aku memerintahkan Young Soo karena aku buru-buru keluar dari mobil.

"Mau kemana kau?" Young Soo berteriak.

"Aku akan memanggil taksi!" Aku menjawab dan berbalik saat aku berlari ke jalan. Aku mendengar Young Soo memanggilku untuk bergegas.

Matahari baru saja terbit dan jalan-jalan masih sepi kendaraan terutama taksi. Aku panik melihat sekeliling jalan dan menemukan taksi yang baru datang. Aku melompat di kakiku, mengangkat kedua tangan dan menarik perhatian, tetapi taksi itu hanya melewati jalan dengan cepat. Taksi lain melakukan hal yang sama setelah beberapa saat lagi. Aku mulai panik, sangat. Tanganku gemetar ketakutan dan jantungku berdenyut-denyut di tenggorokan. Aku tidak berpikir lagi ketika aku membuka ponselku; butuh waktu untuk menyadari bahwa aku baru saja menekan nomor Jongin karena dia satu-satunya yang ku tahu memiliki mobil.

Aku menggigit bibir bawah gugup karena aku menunggunya untuk mengangkat tapi setelah satu menit berdering, aku menutup telepon. Itu tidak berguna, mengetahui Jongin masih tertidur pada jam sekarang. Aku memutar nomor Min Jee selanjutnya, tidak benar-benar yakin mengapa aku memanggilnya; dia tidak punya mobil. Mungkin dia bisa meminta ayah atau ibunya untuk membantu kami? Tapi setelah dering pertama, aku melihat taksi. Aku melambaikan tanganku dan buru-buru memanggilnya dan membuatku lega, taksi itu bergegas menuju ke arahku dan berhenti tepat di depanku.

Aku menutup telepon dan bertanya pada sopir apa ia bisa membantuku dan ibuku. Pak Sopir berbaik hati turun dari taksi dan membantu ibuku masuk ke kursi belakang. Aku meminta Young Soo tinggal di rumah, aku tahu dia tidak mau tapi dia tidak membantah. Aku memberinya nomor Bibi Sora dan memintanya untuk meneleponnya dan jangan berhenti sampai dia mengangkat. Aku memintanya untuk memberitahu bibi Sora ke mana ibu dan aku pergi.

Taksi akhirnya bergegas ke jalan setelah beberapa saat. Aku sedang duduk dengan ibu di kursi belakang, memeluknya dalam pelukanku dan berdoa dia bertahan di sana. Dia mulai bernapas agak pendek dan aku terus menekan handuk yang sudah teredam di pergelangan tangannya. Bagian depan kemejaku terdapat noda-noda darah dan tanganku dan lengan juga. Aku terlonjak ketika ponselku berdering.

"Min Jee!" Aku berteriak, tersedak menahan air mata.

"Apa yang terjadi? Mengapa kau menelepon? Ini masih jam enam—" tanyanya. Dia terdengar ragu-ragu untuk sesaat tapi ketika aku mulai menangis, suaranya langsung terdengar jelas. "Hana? A-apa yang terjadi ?! Apa kau baik-baik saja?"

"Ya Tuhan... Ibu… ibu..." aku tersedak.

"Ada apa? Katakan padaku!" Min Jee langsung berteriak. "Kau membuatku takut!"

Aku bisa mendengar ibu menggumamkan sesuatu ke telingaku. Tapi aku tidak bisa menangkapnya karena ketika aku melihat ke kaca depan mobil, aku melihat lampu lalu lintas beralih ke merah. Aku berharap sopir akan terus melaju, ibuku sedang sekarat dan menangis dengan suara keras! Tapi pak sopir tidak melaju, dia berhenti.

"Hana ..." gumam ibu di telingaku sementara di telingaku yang lain, aku bisa mendengar Min Jee panik menanyakan apa yang terjadi.

"Kita akan ke rumah sakit, Min Jee—"

Saat berikutnya terjadi begitu cepat, hampir seperti ingatan samar-samar. Aku ingat ibuku mendorong dirinya dan memelukku. Ada suara lengkingan yang memekakkan telinga di suatu tempat dan ketika aku melihat ke luar jendela, aku melihat mobil van putih tanpa henti bergegas menuju taksi—menuju kami.

Ada tabrakan yang memekakkan telinga. Aku terdorong mundur bersama dengan ibu dan sebelum semuanya menjadi gelap, aku merasakan sakit membakar di bagian bawah kakiku. Kepalaku berkabut dan mataku kabur ketika aku membukanya. Dari jauh aku bisa mendengar teriakan dan sirene bersamaan berseru di mana-mana. Aku memaksa diriku untuk melihat ke sampingku karena aku merasa seperti sedang tertindih oleh sesuatu ... atau seseorang. Aku melihat ibuku, ada darah di seluruh wajahnya, dia memelukku.

Aku mencoba memanggilnya tapi ... aku merasa kehidupan dalam diriku perlahan-lahan melayang. Mataku tertutup dengan sendirinya dan aku terjatuh ke jurang yang gelap...

-------

"Hana...?" Dari kejauhan aku mendengar suatu suara bahkan di dalam kepalaku. Pada awalnya, kupikir itu ibuku karena kedengarannya seperti suara perempuan tapi itu bukan dia. Aku memaksa membuka mata dan menutupnya lagi ketika sesuatu yang membutakan menerjang mataku. Aku membukanya lagi, kali ini lebih lambat, dan sepasang mata coklat menatapku.

"Hana?" Bibi Sora berkata, suaranya berat, seperti habis menangis selama berjam-jam. "Ya Tuhan, dia sudah bangun!" Dia tersentak ketika aku mengerjap dan menyipitkan mata padanya.

Bibi Sora melesat ke pintu dan mulai berteriak. "Dokter! Di sini!"

Dokter? Pikirku takjub. Aku menyipitkan mata ke sekeliling ruangan, tidak tampak seperti kamarku. Aku tidak mengenalinya sama sekali. Aku tidak memasang wallpaper atau langit-langit putih dan tentu saja tidak ada bunyi aneh terdengar di kamarku. Ada sebuah jendela kaca besar di seberang tempat aku berbaring dan ada peralatan itu di samping tempat tidurku. Aku membuka mulut untuk memanggil bibiku tapi tidak ada suara yang keluar dari tenggorokan dan bibirku yang kering.

 

"Keponakanku akhirnya sadar! Cepat!" Aku mendengar Bibi Sora berteriak pada entah siapa. Ketika ia bergegas kembali ke sisiku, dia datang dengan beberapa orang memakai seragam putih dan baju operasi—seorang dokter dan dua perawat.

"Di mana ... aku?" Aku akhirnya berucap, suaraku serak. Kepalaku terasa berat dan tubuhku terasa sakit luar biasa, seolah-olah ada sesuatu yang membebaniku.

"Apa dia akan baik-baik saja?" Aku bisa mendengar bibiku bertanya cemas.

"Mrs. Lee, kita perlu berbicara dan memeriksa keponakan Anda sebentar." Seorang pria berkata, yang ku duga adalah dokter menilik dari suaranya yang tegas. "Kami akan memberikan waktu untuk berbicara dengannya setelah kami melakukan tugas kami." Aku tidak mendengar bibi Sora mengatakan apa-apa jadi aku kira dia menurut. "Siapa namamu?" Dokter menanyaiku sementara salah satu perawat mengikat sesuatu di sekitar lenganku.

Aku mengerjap padanya sejenak, sedikit bingung dengan pertanyaannya. "Hana ... Cho Hana." Aku menjawab, masih dengan suara serak. Kemudian aku mendengar bibiku mendesah keras seolah-olah lega.

Dokter mulai menanyaiku dengan apa yang terjadi. Rupanya, aku berada dalam sebuah kecelakaan kendaraan dan aku dibawa ke rumah sakit. Kemudian semuanya datang menerjangku. Seperti film di dalam kepalaku. Aku melihat ibu di lantai keramik bernoda darah di kamar mandinya, ketika aku menelepon taksi, kemeja berlumuran darah dan kemudian kecelakaan itu sendiri. Aku meringis kecil seolah-olah aku merasakan dampak hebat akibat van putih yang menabrak taksi kami sekali lagi.

"Ibu?" Aku bersuara, tiba-tiba merasa cemas. "Mana ibuku? Apa dia baik-baik saja?" Aku bertanya pada dokter.

"Hana," Bibi Sora yang menjawab. Dia bergegas ke sisiku dan memegang tanganku. Dia mungkin tidak bisa menahan dirinya kembali. "Dia ... akan baik-baik saja. Para dokter merawatnya."

"Tapi dia berdarah—" Aku mencoba untuk berdebat.

"Ibumu dalam perawatan kami juga." Kata dokter tegas, memotong kata-kataku. "Kami melakukan semua yang kami bisa untuk membuatnya lebih baik. Sementara itu, saya sangat menyarankan pada Anda untuk tetap tenang dan beristirahat yang cukup. Anda membutuhkannya. Tubuh Anda terluka cukup banyak karena insiden. Saya akan kembali setelah satu jam untuk memeriksa Anda lagi."

Dokter memberiku anggukan kemudian dia pergi. Seorang perawat bertahan di sampingku mengecek tanda-tanda vital dan ia mengulangi perintah dokter dan pergi setelah beberapa saat.

"Bagaimana perasaanmu

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 55: Akhirnya selesai juga...

Wahhh ngak nyangka lho kalo ceritanya bakal publish selama itu...
Bersyukur aku dapat rekomendasi ff ini udah selesai... Bahakan aku cuma butuh waktu beberapa hari buat bacanya...
Soalnya aku tuh tipe orang yang ngak berhenti untuk penasaran sama cerita kalo belum selesai...
Pokoknya terima kasih banyak buat temenku yang udah merekomendasikan ff ini...

Secara keseluruhan aku suka cara menyampaikan ceritanya, ngak terburu buru tapi juga ngak ngebosenin...
Apalagi cast nya si jongin...

Pokoknya terimakasih buat authornya
yang udah bikin cerita yang hebat
suthchie #2
Chapter 54: Akhirnya balikan juga...
Jongin orang baik. Hana sangat beruntung memilikinya
suthchie #3
Chapter 53: Kuanggap itu sebagai tanda balikan...
Semoga
suthchie #4
Chapter 52: Cobaan hana terlalu berat...
suthchie #5
Chapter 51: Semoga ibu hana benar2 menjadi baik
suthchie #6
Chapter 49: Minjee trtaplah berada di sisi hana...
suthchie #7
Chapter 50: Untunglah hana punya sahabat baik seperti minjee...
suthchie #8
Chapter 48: Kenapa kau mengambil keputusan iyu hana...
Aku yakin, jongin sangat hancur...
suthchie #9
Chapter 47: Yang aku kawatirkan akhirnya trrjadi...
Pasti daehyun memberi tau hal buruk pada jongin
suthchie #10
Chapter 46: Itu hal baik hana... Semoga