One Shot

3 Seconds

“Maaf, maafkan aku. Maaf karena aku bagaikan malapetaka untukmu.”

Aku merindukanmu, sungguh merindukanmu cinta tiga detikku.

 

 

Yoona p.o.v

Hari itu aku dan Luhan berencana bertemu di tempat pertama kali ia menyatakan perasaannya kepadaku. “Sebuah tempat yang tak akan ku lupakan seumur hidupku”, seruku kala kami resmi menjadi sepasang kekasih.

“Oppa! Kau di mana?! Mana bisa kau membuatku menunggu lama?” Aku kesal karena Luhan belum juga datang. Sudah hampir satu jam aku di sini, bahkan panggilanku hanya berujung ke mailbox.

Entah kenapa tiba-tiba aku takut. Tubuhku tiba-tiba lemas. Ada apa oppa?

Lamunanku buyar ketika seorang anak kecil datang menghampiriku. “Eonnie! Tadi ada oppa yang bilang padaku bahwa kau sangat cantik dan ia sangat menyukaimu.” Dengan polosnya ia berbicara seperti itu padaku.

Aku bingung menanggapi ucapannya. “Nuguyya?”

“Seorang oppa yang sangat taaaaaaaaaaaaaaaaaampan sekali!” Ia melebarkan kedua tangannya seolah mengekspresikan betapa tampannya namja tersebut.

“Tapi eonnie sudah punya namjachingu dan ia jauh lebiiiiiiiiiiiih tampan!” Aku melakukan hal yang sama, seolah tak mau kalah dengannya.

Ia terlihat sangat kesal karena aku menirunya. Sangat menggemaskan. “Dia sangat tampan eonnie! Aku tidak membohongimu.”

“Tapi eonnie hanya akan mencintai namjachinguku.” Ya, memang hanya Luhan, hanya dia yang aku cintai, tidak ada yang lain.

“Terserah eonnie saja. Ini untukmu!” Ia memberiku sebuah kartu ucapan berwarna merah muda.

“Apa ini?” Tanyaku bingung.

“Untuk eonnie. Dari oppa yang tadi. Baiklah eonnie aku pergi dulu. Annyeong haseyo...” Ia membungkukkan tubuhnya di hadapanku.

Aku mengangguk. “Ne, kamsahamnida adik manis. Annyeong haseyo!” Aku balas membungkuk memberikan salam untuknya. Lalu ia pergi berlari menuju kerumunan teman-temannya yang lain.

Kartu ucapan ini menarik perhatianku. Aku segera membuka kartu ucapan yang tadi aku terima, tertulis ‘Happy Anniversary Chagiya!’. Ketika itu pula aku mendengar alunan melodi dari gitar yang ia mainkan.

“Luhan oppa!” Aku speachless, sama sekali tak dapat berkata-kata. Aku mulai menangis ketika ia menyanyi untukku.

More than words. Lagu yang ia nyanyikan untukku. Ia tampak sangat berbeda hari ini, aku benar-benar tak menyangka Luhan akan melakukan ini.

Cause I already know....” Lirik terakhir yang ia nyanyikan.

Pipiku sudah basah karena aku tak dapat menyeka air mataku. Luhan pun duduk di sampingku. Ia mengusap air mata dengan ujung lengan sweaternya. “Mianhae chagi, dont cry, jaebal...”

“Babboya!”

“Ottae? Kau senang?”

“Aniya! Kau telat satu jam! Tetu aku tidak senang.” Sejujurnya aku sangat senang, tetapi tetap saja ia telah membuatku kesal.

Luhan menaikkan sebelah alisnya, “ku kira kau akan memaafkanku.”

You wish! Aku menunggumu disini. Kau tahu aku sangat benci menunggu. Aku sudah satu jam di sini, bahkan kau tak menjawab teleponku. Aku hanya terus terhubung ke mailbox. Oppa buat aku kesal. Oppa buat aku kha—”

Chu! Belum selesai aku berbicara, ia sudah mengecup bibirku.

“Mianhae chagi...”

Aku berani bertaruh jika wajahku tidak ada bedanya dengan kepiting rebus saat ini.

“Waeyo? Kau membuatku semakin gemas dengan pipi tomatmu.” Ia mencubit kedua pipiku.

Dont ever touch my cheeks!”

“Wae?”

“Karena aku kesal padamu!” Aku menjauhkan wajahku  darinya. Sejujurnya aku takut jika pipiku semakin merah.

Kami berdua duduk di kursi taman. Hari semakin malam. Bulan yang bersinar pun tampak sangat sempurna menunjukkan keseluruhan bentuknya.

Aku merasakan kepala Luhan yang sudah berada di bahuku kali ini. “Yoona, apa kau ingat waktu itu aku menyatakan perasaanku di sini. Aku sama sekali tak merencanakannya.”

Aku tetap diam hanya mendengarkan ceritanya.

 

 

Luhan p.o.v

Empat tahun lalu...

Aku melihatnya menangis. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia tampak sangat sedih. Mungkin ia sedang patah hati, atau apapun itu, aku tak peduli.

Baru saja aku melangkahkan kakiku, aku mendengarnya berteriak “Appaaaaa!”

Appa? Ada apa dengannya? Ia seakan ingin menjatuhkan tubuhnya. Aku segera berlari menuju lantai paling atas gedung sekolah ini. Apakah ia ingin bunuh diri?

Aku segera menarik lengannya. “Babboyya! Kau gila?!” Aku menarik tubuhnya untuk turun.

Ia menangis, tangisnya pecah di bahuku. Ia terus menerus menyebut appa. Ada apa dengan ayahnya?

Aku menurukannya dan mendudukkannya di lantai. Yoona-yya, apa yang terjadi?

“Jangan melakukan hal bodoh seperti itu lagi! Kau gila atau kenapa sih?!  Mudah sekali kau mengakhiri hidupmu.”

Tak sekalipun ia menampakkan wajahnya di hadapanku. “Mengapa kau mencegahku? Mengapa? Kau tak ada urusan denganku!”

“Tentu saja ada! Aku ketua osis di sini dan bila kau tadi melompat dan mati, tentunya kau akan merepotkanku.”

Ia tersenyum sinis. “Orang sepertimu  memang tak punya hati!”

“Pulanglah! Sudah malam dan kau masih berada di sini. Keluargamu akan mengkhawatirkanmu.” Aku menyuruhnya pulang.

“Tahu apa kau tentang keluargaku? Jangan pernah ikut campur urusanku!”

Akhir-akhir ini ia berubah. Tidak seperti Yoona yang dulu. Mugkin ada masalah di keluarganya. “Aku memang tidak tahu apa-apa tentang keluargamu dan aku juga tidak berniat mencampuri urusanmu. Pulanglah! Karena aku ingin pulang.”

Ia tak berkata apapun.

“Cepat pulang!”

“Kau pulang saja! Mengapa aku juga harus pulang?!” Nada suaranya masih sama.

“Karena aku tidak mau kau melakukan hal bodoh seperti tadi.” Aku pun menarik tangannya dan membawanya sampai aula sekolah.

“Kau terlalu banyak mengurusi urusanku.”

Aku tertawa. “Aku sama sekali tidak ingin berurusan denganmu. Baiklah aku pulang.” Aku meninggalkannya. Segera aku menuju parkiran sekolah dan mengambil motor merahku.

Aku melihatnya di depan halte sekolah. Aku melirik jam tangan di tanganku, pukul 10.00 malam. Aku hentikan motorku tepat di depan halte. Hanya ia sendiri di sana. “Kau belum juga pulang?”

“Kau tidak lihat? Tak ada bus yang lewat. Mana bisa aku pulang?”

“Ku kira kau akan melakukan hal bodoh itu lagi.” Aku tersenyum melihat wajahnya. “Pulanglah denganku. Aku akan mengantarmu.”

Ia menggeleng cepat, “tidak akan.”

“Baiklah. Aku duluan.” Aku meninggalkannya sendiri di halte.

 

 

Yoona p.o.v

“Dasar kau memang tak punya hati!” Aku kesal sekali dengannya. Bisa-bisanya ia meninggalkanku sendiri di sini.

“LUHAN KAU MEMANG TAK PUNYA HATIIIIIIII!”

“Mwoya?!” Matanya sangat tajam menatapku.

Aigoooo bisa-bisanya ia muncul lagi. Aku yakin ia mendengarnya. Ottokae?!!

“Kau bilang aku tak punya hati? Kau saja yang sok jual mahal. Cepat naiklah! Aku akan mengantarkanmu.”

Aku ragu, tapi akhirnya aku menurutinya.

Diam dan hening. Jalan sudah sepi. Aku sangat bingung. Aku tak pernah sekalipun menyangka ini akan terjadi padaku. Luhan mengantarku pulang. Cinta tiga detikku.

Motor Luhan berhenti di pinggir jalan karena handphonenya berdering.

“Yoboseyo? Ne ne. Saranghaeyo.” Sa..sa..saranghaeyo? Apa itu yeojachingu Luhan?

Hal yang ku takuti seja tadi terjadi. Perutku berbunyi. Ini sangat memalukan. Aku harap Luhan tidak mendengarnya.

Sepertinya ia tidak mendengarnya. Ia pun melajukan kembali motornya.

“Turunlah!” Ia menyuruhku turun. Motornya berhenti di depan sebuah kedai ramyun. “Aku tahu kau lapar. Aku juga lapar.” Ia mengusap-usap perutnya.

Pasti dia mendengar suara perutku tadi. Memalukan sekali.

Kami berdua menghabiskan ramyun yang dipesan Luhan. Ia tampak sangat lapar. “Aku tak menyangka kau akan menghabiskan tiga mangkuk ramyun. Badanmu kecil, tapi makanmu banyak.”

“Lalu kenapa? Jika kau mau lagi, pesan saja! Aku yang akan bayar.”

Aku sama sekali tak berniat untuk memesan lagi.

Luhan segera membayar makanan kami dan membeli dua buah es krim. “Untukmu!” Ia memberikanku es krim vanilla, favorit ku!

“Gomawo.” Seruku.

“Bagaimana kalau kita ke taman di sana?” Ia menunjuk sebuah taman di sebrang jalan. “Aku bosan di rumah. Aku yakin kau juga.”

“Sok tahu!”

“Kalau tidak, seharusnya kau sudah pulang dari tadi dan tidak akan nekat lompat dari gedung sekolah.” Lalu ia meninggalkanku dan berjalan sendiri ke sana.

“Aishhh.. orang ini benar-benar mengesalkan.”

Aku mengikutinya. Tamannya sangat sepi. Mungkin hanya ada aku dan dia disini. Luhan duduk di kursi taman dekat air mancur. Wajahnya bersinar terkena sorotan lampu taman. Tangannya menunjukku seolah menyuruhku ke sana.

“Duduklah!” Ia memberikanku spot di sebelahnya. “Ini pertama kalinya aku ke sini. Ternyata menyenangkan datang ke sini malam-malam.”

Sunyi.

“Gomawo.”

Luhan menoleh ke hadapanku. “Waeyo?”

“Kau sudah menyelamatkan ku. Aku memang bodoh. Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku benar-benar kecewa pada diriku, pada semuanya. Terutama keluargaku.”

That was nothing.” Serunya. “Aku juga pernah sepertimu. Tapi hyungku menyadarkanku.”

Aku mengerutkan dahiku. “Apa yang terjadi?”

“Ibuku meninggal dunia dua tahun lalu. Itu hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku. Ia menyembunyikan penyakitnya dari ku.” Suaranya terdengar parau. “Sejak saat itu aku tinggal dengan appa dan dua saudaraku di Korea.”

Aku mengangguk, “oh iya, dulu kau tinggal di Cina.”

“Karena ibuku chinese dan orang tuaku sudah bercerai sejak aku usia tiga tahun, lalu aku ikut dengan ibuku.”

Sesedih itukah? Aku tak menyangka hidupnya sepelik itu. Aku tidak yakin mampu bertahan jika aku di posisinya.

“Kenapa kau seperti itu?” Luhan membuyarkan lamunanku. Aku hanya menggeleng bingung. “Lalu, kau kenapa ingin mengakhiri hidupmu?”

“Karena appa meninggal dunia tiga hari yang lalu. Umma yang membunuhnya. Umma yang membunuh appa. Appa ku sendiri, suaminya.” Hatiku sakit mengingat hal ini. Bahkan tangisku pecah. “Appa pulang dari Jepang setelah setahun tidak pulang. Bahkan aku belum bertemu dan bercakap dengannya. Aku tidak mengerti apa yang ada di pikiran umma kala itu. Umma sekarang menjadi gila.”

“Jinjjayo?”

“Aku juga tidak mengerti.”

Sungguh malang kami berdua. Nasip kami sama, sama-sama ditinggal orang yang kami sayang.

“Aku tidak menyangka kalau hidupmu semenyedihkan ini.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku berharap aku bisa menarik kembali kata-kataku. “Mianhae, aku tidak bermaksud seperti itu.”

Ia mengangguk. “Aku tahu, kau mengenalku sebagai orang yang dingin, semua orang menganggapku seperti itu. Aku memang tak punya hati. Aku..”

“Karena mereka belum benar-benar mengenalmu.” Aku mengerti perasaannya.

“Tidak. Aku memang seperti itu. Aku mungkin sudah tidak punya hati semenjak ibuku membawa hatiku dan semenjak kau mengambil hatiku dari awal aku melihatmu Yoona.” Ia menatapku, tepat di depan mataku.

Aku bingung, aku tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Apakah aku bermimpi?

Ia memegang kedua tanganku. “Pertama kali aku tiba di Korea, aku tak pernah berpikir dapat meneruskan hidupku. Melihatmu tersenyum, membuatku merasa ibu selalu ada di sampingku. Kau punya senyum yang sama dengan ibuku, kepribadianmu membuatku hidup, bahkan dalam tiga detik aku tahu aku mencintaimu. Aku mencintaimu sejak tiga detik pertama aku bertemu dengamu, Yoona.”

Tiga detik pertama aku melihatmu, aku tau kalau detak jantungku berdebar lebih cepat. Aku tak pernah menyangka kau sama seperti ku.

“Yoona-yya, wo ai ni. Would you be mine?” Aku menatap matanya. Seketika badanku lemas. Aku tak percaya Luhan mengatakannya padaku. Jangan pernah bangunkan aku jika ini hanya mimpi. “Yoona-yya? Aku tidak apa-apa jika kau menolakku. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku sudah mencintaimu sejak awal bertemu denganmu.”

Mataku mulai berkaca-kaca. “I dont know oppa. I’ve been fallin in love with you since three seconds I met you at the first time! Dan... kau juga merasakan yang sama.”

“Aku tahu itu!” Luhan tertawa menggodaku.

“Apa maksudmu?”

“Aku tahu sejak awal kau sudah naksir padaku chagiyya.” Iya tersenyum kepadaku, aku merasa seperti es krim yang dijual di padang pasir.

“Mwo?!”

Ia mencium keningku. Done Luhan! Kau membuatku seperti orang bodoh. “Saranghae...”

Sa..sa..saranghae? “Bu..bukankah kau sudah punya kekasih?”

Luhan mengerutkan dahinya. “Nuguyya?”

“Tadi kau menelepon seseorang dan kau bilang ‘saranghaeyo’.” Ucapku ragu.

Luhan tertawa cukup hebat. “Kau salah paham. Itu telepon dari adik perempuanku. Dia bilang besok akan boarding ke Korea dan memintaku menjemputnya.”

“Oh.. Arraseo.” Aku mengangguk-anggukan kepalaku.

Luhan memelukku, erat sekali. Baru kali ini aku merasa sangat tenang. “Jangan pernah melakukan hal bodoh seperti tadi. Ingatlah, aku akan selalu ada untukmu chagiyya.”

“Gomawo oppa.”

 

 

Flashback ends

“Aku ingat oppa dulu sangat galak. Oppa gak punya hati!”

Luhan masih saja menyenderkan kepalanya di bahuku. Entah mengapa ia menjadi sangat manja.

“Oppa dulu yang menyelamatkanku. Oppa yang buat aku menjadi sekuat ini.” Terima kasih untuk empat tahun yang tak akan pernah ku lupakan.

Luhan masih saja diam tidak menanggapi perkataanku.

“Oppa?!” Aku melihatnya tertidur. “Kau tidur?”

Aku memperhatikannya. Wajahnya yang putih tampak sangat pucat, suhu tubuhnya panas. Aku segera membangunkannya. “Oppa! Oppa!” Aku menepuk-nepukkan pipinya namun ia tidak juga bangun. “Oppa!” Aku masih melakukan hal yang sama dengan menepuk-nepuk pipinya. “Oppa bangun!!!” Aku mulai menangis, tiba-tiba saja aku takut. Apa yang terjadi?

“Oppa bangun...” Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya. “Oppa!!!” Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa.

Aku menangis dan hanya bisa menangis. “Yoona-yya, mengapa menangis?” Ia bangun, suaranya sangat parau..

Aku memeluknya erat, sangat erat. “Oppa kenapa? Oppa kenapa sulit sekali dibangunkan? Aku takut oppa.”

Ia membalas pelukanku. “Mianhae, aku ketiduran Yoona-yya. Aku tidak apa-apa. Gwenchanayo. Jangan menangis.”

“Aku takut oppa. Aku takut sekali, aku takut oppa meninggalkanku.”

“Yoona-yya, aku tidak akan meninggalkanmu karena aku tak pernah ingin membuatmu sedih. Tapi berjanjilah kau akan terus bahagia bagaimanapun keadaannya.”

Aku mengangguk. “Aku akan bahagia selama kau ada di sisiku oppa.” Aku masih memeluknya. Begitu hangat hingga udara dingin tidak terasa sama sekali. “Oppa, kau sakit?”

“Mungkin aku kecapean. Badanku hanya sedikit panas.” Katanya meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja.

“Oppa harus ke dokter.” Seruku padanya.

“Aniya. Gwenchanayo chagiya.”

 

 

 

Writer p.o.v

Mereka berdua saling bertatapan. Mata mereka bertemu, keduanya memancarkan kelelahan yang sama, namun keduanya saling menguatkan hingga mereka mampu bertahan sampai detik ini. Cinta tiga detik mereka mempertemukan mereka pada kebahagiaan yang selama ini dirindukan keduannya.

Luhan menggapai jemari Yoona, menggenggamnya erat seolah  takut kehilangan wanita cantik di depannya ini. “Yoona-yya, menikahlah denganku. Jadilah pasangan hidupku. Aku mohon...”

Inilah Luhan, ia selalu penuh dengan kejutan. Mata Yoona berkaca-kaca membendung genangan air di sudut matanya.

“Bagaimana? Maukah kau menikah denganku?” Luhan mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah. “Biarkan aku melingkarkan cincin ini di jarimu Yoona-ya.”

Yoona masih belum dapat berkata. Air matanya menjadi saksi betapa bahagianya ia hari ini.

“Yoona-yya, jangan buat aku khawatir seperti ini. Bagaimana?” Luhan terlihat panik dengan Yoona yang tak mengatakan apapun.

Ia menggeleng pelan. “Aniya oppa. Ani. Aku tidak bisa, aku tidak bisa hidup tanpamu.” Ia memeluk namja di depannya itu dengan sangat erat. “Saranghae chagiya.”

“Nado sarangahae chagi..” Luhan mencium jemariku dan melingkarkan sebuah cincin di jari manisku. “Aku sempat khawatir kau akan menolakku, tapi aku tahu itu mustahil.” Luhan tertawa dengan percaya dirinya.

Yoona mengangguki, “kau benar oppa.”

Rasa lelah yang sedari tadi menghantuinya seketika hilang, ia sangat bahagia ketika Yoona bersedia menjadi istrinya kelak. Ia pun mendaratkan kecupannya di bibir mungil Yoona. ‘Satu.. dua.. tiga.. aku yakin memang kau lah orangnya.’ Batin Luhan kala itu.

‘Terima kasih Tuhan, terima kasih karena Kau telah mempertemukanku dengan namja ini. Dia yang membuatku kuat, dia yang selalu menenangkanku, dia yang membuatku mampu bertahan dengannya. Biarkan dia tetap di sisiku.’

‘Terima kasih karena kau hadir di sini bersamaku. Ibu, aku merindukanmu, benar-benar merindukanmu. Yoona benar-benar mirip sepertimu. Mungkin karena itu ibu memintaku tinggal dengan appa di sini, agar aku bertemu denganna. Xie xie mama.’

“Oppa, ayo kita ke dokter!” Yoona sangat khawatir dengan keadaan calon suaminya itu.

Luhan menolak, ia justru menyenderkan kepalanya ke bahu Yoona. “Aniya, aku ingin di sini bersamamu.” Tangannya menggenggam erat jemari Yoona.

“Oppa, suhu tubuhmu sangat tinggi. Aku takut terjadi sesuatu padamu.” Yoona bisa melihat bibir Luhan yang mulai memucat, bahkan sesekali gemetar.

Luhan tetap menggeleng. “Gwenchanayo.”

“Wae?! Aku takut oppa, aku mengkhawatirkan keadaanmu.” Kali ini Yoona benar-benar khawatir.

Luhan yang sedari tadi bersender di bahu Yoona menegakkan tubuhnya, berdiri menghadapi yeoja cantik di depannya. “Yoona, aku bilang aku tidak apa-apa, aku sehat-sehat saja, aku hanya meminta kau untuk tetap di sini dan menemaniku. Hanya itu! Apa kau tidak mau?!” Seru Luhan dengan nada suara yang tinggi.

“Aniya!!! Aku tidak mau!” Yoona awalnya kaget dengan reaksi Luhan tadi, namun keegoisan mereka berada di level yang sama; Yoona pun menjawab ucapan Luhan dengan nada suara yang tidak kalah tingginya.

“Ada apa dengan mu Yoona-yya?!” Luhan menatap tajam Yoona yang kala itu hampir menangis.

“Harusnya aku yang bertanya seperti itu! Ada apa denganmu???!” Yoona pergi meninggalkan Luhan yang kala itu tidak bereaksi apa-apa.

‘Bodoh sekali, mengapa aku bisa berlaku seperti tadi kepada Yoona.’ Batin Luhan menyesali perbuatannya.

“YOONA-YYA!” Luhan berteriak memanggil yeojachingunya itu.

‘Kau tak pernah membentakku seperti itu sebelumnya. Aku bahkan hanya mengingatkanmu untuk menjaga kesehatanmu tapi kau malah merespon ku seperti itu.’ Batin Yoona bergejolak.

Yoona berjalan terus tanpa menghiraukan apapun di sekitarnya. Luhan masih mengejarnya, tapi kondisi Luhan tidak seperti biasanya. Demamnya sangat tinggi. Harusnya ia mendapatkan perawatan di rumah sakit karena dokter mendiagnosa bahwa dia terkena thypus, tapi demi Yoona ia kabur dari rumah sakit karena ia baru ingat kalau ada janji dengan Yoona. Ketika dibawa ke rumah sakit oleh hyungnya, Luhan memang dalam keadaan tidak sadar, maka dari itu ia tidak membawa handphonenya dan tidak dapat menjawab panggilan Yoona. Untungnya Yoona masih menunggunya kala itu.

 

 

Luhan p.o.v

Maafkan aku Yoona-yya. Aku hanya ingin seharian bersamamu hari ini. Kalau aku ke rumah sakit, mungkin aku akan harus beristirahat di sana dengan selang infus itu lagi. Membosankan, lebih baik aku seharian bersamamu.

Mengapa tubuhku sangat lemah. Bahkan mengejarnya saja tidak mampu. Yoona-yya, aku minta maaf.

Aku melihat Yoona yang berjalan tanpa memperhatikan sekitarnya, itu membuatku kesal.

Aku tak mengerti mengapa penglihatanku mulai buyar. Kepalaku mulai pusing. Bagaimanapun aku bisa lihat sebuah mobil sedan berwarna putih melaju kencang dari arah kiri jalan, aku tidak dapat memikirkan apapun, hanya dia, Yoonaku.

Aku berlari menggapainya, “YOONA-YYA!!!”

 

 

 

Yoona p.o.v

Aku tidak peduli, aku masih kesal padamu. Jauh-jauhlah dariku.

Aku mendengarnya memanggil namaku.

“YOONA-YYA!!!” Terserahmu. Aku tidak akan menoleh.

Dan... suara klakson terdengar di mana-mana. Sebuah mobil sedan putih berhenti tepat di depan ku, jaraknya hanya lima centi dari jarak ku berdiri. Jantungku berdebar, sungguh berdebar sangat hebat.

“Gwenchana?” Seorang pria tinggi keluar dari dalam mobil.

“Ani.. ani.. aniya!!!!!!!!!!!” Tubuhku lemas seketika. Aku berlari menghampirinya. Tubuhnya tergeletak jauh di sebrang jalan.

Semakin lama langkahku semakin lunglai. Aku terjatuh tapat di depannya. “Chagiyaaaa...” Wajahnya kini berlumuran darah. “Chagiya......” aku menangis. Aku menangis mengenggam tangannya erat.

Luhan membalas menggenggamku. “Waeyoohh? Dont cry, jaebaaalhh...” Suaranya parau, ia menghapus air mata di pipiku.

“Chagiya... mianhae, mianhae...” Seluruh tubuhku bergetar hebat. Ada rasa takut serta penyesalan sangat besar di benakku.

“Berjanjilah padaku untuk hidup dengan baik. Aku mohon. Mianhae.. Mianhae karena aku, aku banyak salah padamu.” Ia mencoba mengatur nafasnya yang tersenggal.

“Aniya.. ani.. aku tidak bisa.”

Mata Luhan menerawang melihat ke kerumunan. “Hhhyung...”

Orang yang tadi hampir saja menabrakku. Luhan berbicara padanya. Hyung? Apakah itu Hyung Luhan yang bersekolah di China?

“Hyung, aku titip Ara, jaga adikmu itu. Aku titip calon istriku, pastikan ia hidup dengan baik.” Luhan memandangku hingga air matanya mengalir bersama darah yang mengucur di kepalanya.

“Kenapa kau seperti ini?!” Aku melihat kemarahan dan kesedihan yang tersirat di matanya.

“Mianhae hyunghh.. ibu pasti merindukanku.” Aku memeluknya erat, wajahnya tepat di bahuku. Aku dapat mendengar suaranya yang parau. “Be berjan jilah padakuhh, di tiga det tikh terakhirkuhh, a a ak kuh moh hoon.”

Aku terus menggelengkan kepalaku. “Aniya! Kau tak boleh pergi! Kau tak boleh ingkar pada janjimu sendiri.” Air mataku membasahi wajahnya yang berlumuran darah. Bahkan Luhan masih berusaha menghapus air mataku.

“Sa saa rang hae.....” Itulah tiga detik terakhirnya. Tiga detiknya di pelukkanku.

 

 

Writer p.o.v

Luhan sudah pergi. Awalnya ia memang berniat menyelamatkan Yoona, tapi tak disangka justru ia yang tertabrak oleh mobil box yang melaju sangat kencang. Tubuhnya bahkan terpental lima meter. Hapir saja ia menjangkaunya, namun takdir berkata lain.

Yoona mengalami depresi berat selama beberapa bulan. Bahkan beberapa kali mencoba untuk bunuh diri. Kris, yang menjadi dokternya Yoona, sekaligus hyung dari Luhan, dengan sabar merawatnya dan mencoba mengabulkan permintaan terakhir Luhan.

“Oppa.. nado saranghae.....” Yoona mengusap lembut pusara cinta tiga detiknya yang abadi itu.

“Maaf, maafkan aku. Maaf karena aku bagaikan malapetaka untukmu.”

Aku merindukanmu, sungguh merindukanmu cinta tiga detikku.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet