Chapter 9

Baby's Breath [Indonesian]

 

Disclaimer: I don't own this story. It belongs to jindeul.


 

*Chapter 9;

“Chanyeol ada di rumah sakit, hanya flu kok,” Baekhyun berkata selagi berganti pakaian di ruang loker, sedikit canggung karena sekarang perhatian orang-orang tertuju padanya... meski bukan dia tepatnya yang sebenarnya membuat mereka tertarik. “Dokter bilang dia akan sembuh besok kalau ia meminum obatnya.” Dan hanya itulah yang ia beritahukan pada mereka supaya tidak menuang minyak ke dalam api. Andai ia memberitahukan anak-anak pencari-perhatian itu lebih dari seperlunya, dia bisa menduga gosip apa yang akan didengarnya hari itu juga.

Hei, Baekhyun bilang Chanyeol dibawa ke rumah sakit jiwa! Aku sudah bilang padamu dia itu gila!

Sedikit saja kebohongan akan berubah menjadi rumor yang menyebar dengan sangat cepat, dan Baekhyun tidak menginginkan semua perhatian itu. Setelah membungkus sepatu sepak bolanya dengan kantung plastik dan melontarkannya ke dalam tas olahraga, disampirkannya selempang tas itu ke pundaknya dan ia melirik teman-temannya yang lain. “Jangan menyebar-nyebarkan gosip bodoh,” dia memperingatkan untuk pertama kalinya, “beri dia kesempatan.”

Entah bagaimana, usahanya membela Chanyeol lebih terdengar seperti memohon demi sedikit privasi. Bagaimanapun juga, tampaknya pesannya dimengerti, jadi ia meninggalkan ruang loker dan menuju ke rumah sakit, seperti yang sudah ia janjikan pada Chanyeol. Ia telah menghabiskan semalaman di rumah sakit, hanya demi membantu Chanyeol membaca dan menulis. Di saat semua puisi di pamflet usai dibacakan dengan nyaring dan namanya ditulis di beberapa halaman buku catatan, malam sudah larut dan Baekhyun akhirnya tidur di bangku. Tidurnya tidak nyaman, itulah sebabnya ia memakai koyo di punggung bagian bawahnya untuk meredakan kramnya.

Kram itu mengganggunya sewaktu berlatih, dan setelah latihan, otot-ototnya sakit dan nyeri sampai-sampai Baekhyun timpang berjalan. Sialnya, masih ada beberapa mil lagi yang harus ia lewati dan ia tidak punya uang atau kartu pas untuk menjangkau kendaraan umum.

Dia mengambil jalan pintas melewati daerah perumahan yang sangat dikenalnya, meski itu bukan pilihan cerdas. Jalannya sempit dan ada banyak rumah-rumah tak berpenghuni yang bisa dijadikan markas-markas dan tempat-tempat nongkrong geng. Itu bukan tempat terbaik untuk didatangi tanpa beberapa orang teman, tapi Baekhyun sedang terburu-buru, dan pikirannya sedang tidak dalam keadaan jernih untuk memutuskan mengambil jalan mana.

Belum terlalu jauh ia berjalan saat ia mendapati beberapa beberapa sosok berkerumun di bawah redupnya lampu jalan. Mereka mengenakan seragam yang berbeda dengan dirinya, meski Baekhyun tidak dapat mengenali dari daerah mana mereka berasal hanya dari warna jas yang mereka pakai. Ini pertama kalinya ia melihat seragam kuning mustar, jadi ia menyimpulkan mereka bukan dari daerah sekitar sini.

Ada kurang lebih empat atau lima orang membentuk setengah lingkaran, beberapa merokok dan sisanya hanya bersandar ke tembok dan mengambil tempat di tengah jalan. Baekhyun bermaksud untuk kembali, namun saat ia akan berbalik, ia mendengar salah seorang sampah masyarakat tersebut memanggilnya.

“Hei, bocah.”

Baekhyun menutup matanya, lalu berbalik lebih karena jengkel dibanding takut sekarang. Dia tumbuh di lingkungan yang jauh lebih buruk dari ini untuk bisa takut terhadap preman-preman kampungan itu, meski bohong kalau dia bilang dia hanya sedikit takut oleh cara mereka mengerumuni dirinya dalam waktu singkat. Mereka semua lebih tinggi daripada dirinya, tapi itu tidak mengejutkan karena semua orang lebih tinggi darinya.

“Baru pulang dari latihan sepak bola?” Yang paling tinggi menanyai Baekhyun dengan seringai menjijikkan di wajahnya. “Biru laut... oh, kau pasti lawan kami di pertandingan nanti.”

Baekhyun menepis tangan kurang ajar yang terulur menyentuh bet di seragamnya, simbol yang menunjukkan bahwa dia anggota tim sepak bola sekolah. “Tampaknya begitu. SMA Jeon-Il?” dia berkata setenang mungkin karena tahu orang macam mereka sama sekali tidak takut saat menarget korban yang tidak berdaya.

Ayah Baekhyun telah mengajarinya untuk tidak pernah tunduk pada kekerasan, atau mengangkat tinju pada siapa pun. Memang, ayahnya pernah melayangkan tinjunya pada ibunya berkali-kali sebelumnya, tetapi Baekhyun masih meyakini filosofi anti-kekerasan dan menghindari perkelahian apa pun yang terjadi. Kalau ada hal yang diajarkan privat oleh ayahnya lewat contoh terburuk, itu adalah bahwa kekerasan hanyalah cara seorang pengecut menyelesaikan masalah; Baekhyun tidak ingin menjadi pengecut seperti ayahnya.

“Aku tidak menyangka pemain SMA Hye-Song ternyata sangat kecil, seperti kurcaci.” Sang pemimpin gerombolan tergelak, meremehkan Baekhyun sementara para anak buahnya ikut tertawa.

Baekhyun mencerca.

Ya, pemain dari SMA Jeong-Il lebih tinggi, lebih kuat, dan terlihat mampu melayangkan pukulan bagus yang membuat mereka menjadi lawan yang tangguh di pertandingan, namun Baekhyun sama sekali tidak terpengaruh. Ciri fisik seseorang tidak mempengaruhi kemampuan mereka atau bagus tidaknya permainan mereka sebagai tim. “Bukankah sebaiknya kalian semua berlatih daripada membuang waktu seperti anak kecil?” sentaknya, nafasnya tercekat di tenggorokan saat salah satu dari mereka mencengkeram kerahnya keras sampai-sampai dadanya terasa sangat tertekan.

Ia merasakan ujung kakinya terangkat sedikit.

“Hei.”

Baekhyun menoleh sedikit ke arah suara tegas dan karismatik yang menembus kesunyian. Untung saja, pemuda tadi menurunkannya kembali, dan mendorongnya dengan pandangan marah. Sosok asing yang menghampiri mereka mengenakan seragam yang sama dengan Baekhyun, sampai saat orang itu menapak lebih dekat ke bawah cahaya, barulah ia mengenalinya. Itu Zitao.

“Siapa kau?” Salah seorang pemuda Jeon-Il membentaknya, mendorong bahu Zitao keras. Dia melakukannya lagi, lagi, dan lagi, sampai akhirnya Zitao mendadak mengambil lengan pemuda itu, menariknya untuk menyarangkan sikunya keras ke rusuknya. Pemuda itu roboh ke tanah, terengah mencari oksigen yang meninggalkan paru-parunya terlalu cepat.

Zitao menggerutu dalam bahasa mandarin yang tidak dapat dimengerti.

Baekhyun bersandar ke dinding seakan ingin menyatu dengannya, kemudian melihat saat salah seorang pemain Jeong-Il menerjang murid pindahan dari Cina itu dengan tinju terangkat yang ditepis dengan mudah seperti orang pertama tadi, kedua tangan terkunci di balik punggung. Zitao melepasnya dengan dorongan pelan, berkomat-kamit dalam bahasa mandarin lagi, lalu mengangkat dagunya (mungkin dia bermaksud menyuruh mereka enyah). Gerombolan siswa itu kabur terbirit-birit.

Entah mengapa, saat Zitao bergerak, Baekhyun terperanjat. Ia tidak tahu mengapa dia bahkan mau bersusah-susah menolong dirinya, terlebih semenjak mereka tidak saling kenal dekat dan Baekhyun memiliki impresi bahwa Zitao itu menakutkan. Ada sesuatu di mata sipitnya yang mengingatkannya pada pembunuh. Bingung harus berbuat apa, perlahan ia menundukkan kepala, dan Zitao membalas gestur tersebut dengan tidak kalah respek, yang mana mengejutkan.

Mereka hanya berdiri di sana, tidak berbicara lama sekali hingga Baekhyun baru menyadari bahwa Zitao belum mengucapkan sepatah kata pun yang dapat ia mengerti. Ia mulai ragu kalau murid pindahan itu mengerti bahasa Korea.

Sebelum ia sempat menanyakan atau setidaknya mengungkapkan rasa terima kasihnya secara verbal, Zitao mengeluarkan kunci dan membuka gerbang  depan sebuah pintu tepat di sebelahnya. Lalu, dia menghilang. Zitao tinggal di sini. Di perumahan ini. Mengusir preman-preman mungkin sama halnya dengan membuang sampah bagi Zitao.

Baekhyun mendesah, tahu ia mengalami terlalu banyak kejadian seharian ini, ia mulai berjalan lagi.

 

 

Ia melewati toko bunga mereka di perjalanannya menuju rumah sakit, dan ia mengingatkan dirinya untuk membukanya besok. Ia terlalu sibuk merawat Chanyeol dan mempersiapkan diri untuk pertandingan musimannya sampai-sampai toko itu terdesak ke posisi terakhir daftar prioritasnya. Demi kenang-kenangan, ia membukanya lagi dan mendapati sebagian bunga-bunganya hampir mati, bahkan sebagian besar yang memenuhi ruang belakang mulai layu tanpa sentuhan Chanyeol.

“Jangan khawatir, Chanyeol akan kembali besok,” ia bicara pada bunga-bunga, lalu bertanya-tanya apa yang terjadi pada dirinya sampai berbicara dengan bunga (seperti yang sering dilakukan Chanyeol, yang dianggapnya konyol). Baekhyun mengitari seluruh toko tersebut dan membersihkan semua bunga mati yang dapat ia temukan, kemudian dibawanya sebuah pot di tangan dalam perjalanannya ke rumah sakit.

Itu adalah satu pot Baby’s Breath terakhir yang masih hidup.

 

 

Chanyeol sedang menonton televisi dan menuliskan 'Byun Baekhyun’ di bukunya beberapa kali saat Baekhyun tiba.

“Hei, Yeolkkong,” goda Baekhyun, setelah memberi nama panggilan ‘Yeolkkong’ pada Chanyeol kemarin malam. Yeolkkong adalah istilah keren yang dipakai murid-murid yang berarti “belajar keras” dan Baekhyun kira itu adalah julukan yang sempurna untuk Chanyeol, hanya menambahkan penekanan di suku terakhir dan itu akan terdengar lebih manis. Lebih baik malahan karena Chanyeol terlihat senang dengan panggilan barunya. Dia meletakkan pot bunga Baby’s Breath di samping tempat tidur Chanyeol dan menjatuhkan tas selempangnya ke lantai. “Belajar keras untuk sekolah besok?” tanyanya sambil melepas jaket.

Chanyeol memandangi buku catatannya, lalu menggeleng. “Aku... tidak... ingin pergi ke sekolah...”

“Hah? Kenapa tidak?” Baekhyun bertanya lagi. “Aku pikir kau menyukai sekolah.”

“Aku... lebih bodoh... daripada murid-murid lainnya.” Dia tersenyum miris. Baekhyun tidak yakin harus bagaimana mendengar Chanyeol mencurahkan hati padanya, “Aku tahu kalau... kau menganggapku bodoh juga, karena aku bahkan tidak bisa menulis namaku sendiri seperti yang lainnya dan mereka mengejekku... Mereka mengatakan hal-hal yang menyakitkan kalau aku ini berbeda dan bodoh.” Ingus dan air mata mengalir turun di wajahnya. “Aku... ingin jadi seperti mereka, Baekhyun. Aku ingin... jadi lebih seperti dirimu.”

“Chanyeol...” ucap Baekhyun, tangannya gemetaran di sisinya. Dia sungguh ingin meraihnya. Dia ingin mendekap kepalanya di dadanya dan membisikkan padanya semua akan baik-baik saja. Namun itu semua bohong. Baekhyun tidak tahu kalau Chanyeol akan membaik, itu pun kalau ia bisa.

Ia sangat membenci dirinya saat ia melangkah keluar ruangan karena tidak sanggup mengatakan sesuatu. Bahkan dari balik pintu, ia mendengar isak tangis Chanyeol, namun tetap saja terlalu tinggi...

Dinding di antara mereka terlalu tinggi.

 

 

“Aku ingin jadi seperti mereka, Baekhyun. Aku ingin jadi lebih seperti dirimu.”

‘Akulah yang ingin jadi seperti kau, Park Chanyeol.' 

 


translated by amusuk

t/n: maafkan dirikuu ;A; apdetannya lama banget ya reader... D: akan kuusahakan rampung sebelum sekuelnya keluar!

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
nutteu
Because of RL matters, please expect the last chapter finished on next week. Thank you.

Comments

You must be logged in to comment
yourhoobae_ #1
Chapter 29: such a beautiful story. aku bener" ngerasa kalo cerita ini BAGUS BANGET dan punya pesan moral yg banyak. dari awal cerita, air mataku jato' terus"an sampe kasurku basah pas baca cerita ini malem". banyak kejadian yg bikin hati terenyuh, senyum" sendiri, dan nangis gitu aja. author dan translator nya bener" hebat. terima kasih banyak udh nerjemahin ini dan ngasih kesempatan ke cbhs indo buat baca story sebagus ini. chanyeollie si pengagum bunga dan baekhyunnie si pemain sepak bola adalah karakter yg bener" susah ngebuat aku lupa. alurnya bener" menyentuh pembaca dan pendeskripsiannya bener" bagus. good job, jindeul dan para translator! :)

salam buat baek & chan di story ini❤️
kevin_evan #2
Chapter 29: Sekarang: 17 November 2017.

Udah 3-4 tahun sejak terakhir baca FF fenomenal ini; dan sense-nya seolah nggak mati: nyenengin banget ngikutin perkembangan karakternya Baekhyun, gimana dia yang cuek plus egois jadi sosok yang sayang karena rasa bersalah, dan berakhir jadi orang yang bener2 sayang ke Chanyeol... Entahlah, ada sesuatu yg ga bisa dideskripsiin---harunya, rasa manisnya---dan dua ending-nya... bener2 punya kekuatan tersendiri. Ending pertama, mengalir, pahit, sekaligus indah; sedangkan ending kedua menutup kisah dg complicated. Baek, Chan, mimpi, dan sebuah janji.

Paling suka waktu pidatonya Baekhyun:') Sederhana sih, tapi air mata ngalir gitu aja... Tuhan, betapa dunia keliatan nggak adil bagi mereka:') Berkali2 mbaca kepikiran itu terus dan rasanya nggak rela ngelepas kisah mereka:') 3-4 tahun nggak mbaca, ingatan udah agak2 kabur, tetapi ttp mengakui betapa ff ini layak berjaya di masanya.

Tapi sayang, setelah masa lalunya Tao, dia nggak pernah disinggung lagi dan alhasil bikin kepo sepanjang chapter:') Dan oh ya, ff ini sukses bikin kangen "mereka" semua:")

Terakhir, applause buat author jindeul plus makasih bgt buat amusuk, baekmuffin, dan exoticbabyly yang udah nerjemahin FF keren ini:')))
Sasazahraa #3
Chapter 20: Demi apa ini udahan?gilaa gue mewek mewek sendiri ampe mata bengkak ?.gue pengen bgt ini ada lanjutannyaa aaaaaa mana ini ff 4taun lalu :((gatau lagi dah
beta_Reader #4
Chapter 9: Aku masih ngakak sampe chapter 6, tp belakangan Baekhyun jadi baik-baik ma Chanyeol karena merasa bersalah udah celakain dia ya? Bukan karena emang dasarnya dia sayang Chanyeol? Keep reading~
intanwyf #5
Chapter 19: Oh Tuhan , udah lama banget nggak nangis kayak gini gara" baca fanfic...
intanwyf #6
Chapter 3: Ooh poor chanyeol
Cho_kyumie #7
Chapter 1: Ampun d awal chapt aja dah sedih.. chan jd anak keterbelakangan mental..
Cho_kyumie #8
Woah pnasaran dsini chanbaeknya adik kakak ya... jarang2 nih
trinettethalia #9
Ya..... Mereka nggak pacaran. Tapi aku suka soalnya happy ending. Makasih ya buat terjemahannya kak....