Pagar

Paper Mâché [Indonesian]

 

 

Disclaimer: I don't own this story. It belongs to PurplePluto 


7.

 

Tanpa dibilang pun sudah jelas, Kyungsoo tidak pernah terlibat dalam hubungan percintaan sebelumnya. Jujur saja, terkadang dia jatuh hati pada teman sekelas yang tampan, dulu, namun begitu menyadari perasaannya yang bertambah besar, segera ia menjaga jarak sampai ‘bahaya’ tersebut menghilang, atau sampai dia pindah rumah lagi.

Dengan kurangnya pengalaman dalam hal itu, Kyungsoo tidak tahu harus menganggap Kai apa. Apa pun hubungan Kai dan dirinya, Kyungsoo tidak tahu harus menyebutnya apa. Pikirnya, mereka teman, namun hari demi hari berlalu, sentuhan mesra dan ciuman kecil mulai menjadi sering dan tidak sekali pun Kyungsoo menolak semua itu. Tidak ada pernyataan konkrit tentang hubungan mereka, maupun sampai di mana perasaan mereka. Jadi, Kyungsoo memutuskan bahwa mereka berhubungan. Bukan pacar tapi juga bukan teman. Mereka hanya berhubungan (HTS—Hubungan Tanpa Status). Itu istilah yang tersedia dan artinya luas, dan Kyungsoo pikir kata tersebut masuk-masuk saja dengan hubungan mereka.

Dan dia setuju-setuju saja dengan itu. Dia menyukai Kai. Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa seluruh gagasan menyukai seseorang menciutkan nyali Kyungsoo juga. Biar begitu, saat Kai menariknya ke dalam kotak paper mâché-nya dan menciumnya penuh perasaan, sesuatu yang dikira Kyungsoo tidak akan pernah ia dapatkan, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menenggelamkan dirinya dalam euforia.

Di saat Kyungsoo hampir tertidur barulah dia merasak jijik dan nyalinya runtuh. Keluarganya sudah menetap cukup lama sekarang, tepatnya dua bulan. Waktu terus berjalan dan Kyungsoo mulai memperhatikan tanda-tanda mengerikan itu. Ibunya mulai kurang ceria dan ayahnya mulai khawatir. Saat makan malam, komplain-komplain mulai bermunculan. Pertama, sayur-sayuran dan buah-buahan lokal yang membusuk terlalu cepat; kedua, tetangga anti-sosial yang tidak begitu peduli untuk memperkenalkan diri; ketiga, lantai rumah yang berdecit menjengkelkan. Daftar itu masih bertambah panjang setelahnya.

Ketika ibunya mulai mencari daftar rumah-rumah di koran dan melingkari beberapa dengan pulpen merah, Kyungsoo pun berpikir. Dia harus menyiapkan dirinya, dan yang lebih penting, menyiapkan Kai. Jadi, saat esok hari tiba, Kyungsoo bersumpah dia akan bicara pada Kai, dan tidak teralihkan oleh bibir penuh makna dan sentuhan lembut itu.

“Jongin.” Kyungsoo terengah mengakhiri ciumannya. Ini masih pagi, tepat sebelum masuk kelas, dan Kyungsoo, mendapati dirinya ditarik ke ruangan kosong. Kai menyambutnya dengan senyuman selamat pagi dan menangkupkan tangan di kedua pipi Kyungsoo. Dia membungkuk dan bibir mereka bertemu.

“Jongin, aku perlu bicara denganmu.” Kyungsoo mengenggam ujung kemeja Kai dan menundukkan kepala untuk menghindari distraksi lebih jauh lagi dari tatapan atau mulut Kai.

Untungnya Kai memperhatikan nada bicara Kyungsoo dan menurunkan tangannya ke leher Kyungsoo, mengusapkan ibu jarinya di garis rahangnya, menenangkan. “Ada apa?” bisiknya.

“Aku pikir aku akan pindah sebentar lagi.”

Kai melepaskan sentuhan tangannya seakan kulit Kyungsoo terbakar. “Kau... kau pikir?” Pandangan Kai menghujam dan badannya menegang.

“Tanda-tandanya... muncul.” Kyungsoo menjawab, mengalihkan pandang ke papan tulis kapur di sebelahnya.

“Tanda-tanda apa?”

“Ada tandanya, Kai.” Kyungsoo pun berpaling ke arah Kai dan tersenyum lemah. “Aku sudah sering pindah rumah, kau tahu.”

Kai menjawabnya dengan diam. Di saat-saat yang makin panas ini bel berbunyi. Kyungsoo menggigit bibir dan berpaling menatap ke bawah. Begitu dia berbalik untuk keluar, sebuah tangan menahan lengannya dan membuatnya berhenti.

“Temui aku sepulang sekolah.”

Dan Kyungsoo menemuinya.

Berbeda dengan sebelum-sebelumnya saat mereka pergi bersama. Kai mengeluarkan earphone besarnya dan memasangkannya di telinga Kyungsoo. Suara musik instrumentalia sederhana terdengar selagi tangan Kai terselip ke tangannya. Kai menolak melepas tangannya saat menaiki bis; seakan takut mereka akan terpisah. Kyungsoo mengeratkan genggamannya, memberitahu Kai bahwa dia tidak akan ke mana-mana.

Kai membiarkan Kyungsoo masuk ke tempat duduk dua-orang lebih dulu dan mengikuti setelahnya. Lutut mereka bersentuhan dan tangan mereka masih terpaut. Mereka turun di pemberhentian yang sama seperti sebelumnya dan menelusuri jalanan yang sama. Mereka masuk ke toko yang sama dan Kai menuntunnya ke tempat yang sama ke bagian yang berisikan buku-buku sketsa.

“Pilih salah satu.”

Kyungsoo memilih tanpa ragu. Kai mengambilnya dari rak dan berjalan pergi, menarik Kyungsoo bersamanya juga. Kai mencari kincir hitam-putih dan membelinya bersama buku sketsa tadi sebelum meninggalkan toko. Tidak lama kemudian, mereka tiba di restoran cepat saji yang sama. Kai memesan makanan yang sama untuk mereka dan duduk di stan yang sama. Kyungsoo tidak mengerti apa yang tengah terjadi, tapi kalau itu yang Kai mau, dia mengikuti saja. Meskipun begitu, makin jauh dia mengikuti alurnya, semakin tidak nyaman yang dia rasakan. Kyungsoo tidak pernah tahu mengunyah akan berbunyi sangat keras sampai dirinya menyadari bahwa mereka belum bicara sepatah kata pun sejak duduk. Mereka melanjutkan makan tanpa saling mencicipi. Saat kentang gorengnya terakhirnya habis, Kai bangun dan memesan dua gelas milkshake.

Mereka berjalan kembali ke pemberhentian bis dan menghabiskan milkshake mereka dalam bis menuju perumahan mereka. Kai mengantarkan Kyungsoo pulang dan mereka berdiri di depan gerbang rumah Kyungsoo.

Kai membungkuk, satu tangan di belakang leher Kyungsoo, lalu menciumnya. Penuh perasaan. Dunia sekitar Kyungsoo serasa menghilang, seperti biasa, dan pikiran dan perasaannya hanya dipenuhi Jongin. Ciuman itu tidak memburu, mendesak, maupun penuh nafsu. Ciuman itu pelan, nyaman, dan hangat.

Kai memisahkannya;  Kyungsoo menatapnya lekat.

“Segalanya tidak selalu berakhir sama,” bisik Kai. Kyungsoo terbangun dari keheningannya dan memproses apa yang baru Kai katakan. Dengan sinar pengharapan di mata Kai, hatinya teriris. “Hal kecil bisa membuat perubahan. Mereka mungkin berlalu di jalan yang sama, tapi hasil akhirnya tidak akan selalu sama, mengerti?”

Kyungsoo pikir dia mengerti apa yang ingin Kai lakukan dan sampaikan, meski secara tidak langsung.  Kyungsoo menghela nafas dan menatap lantai. Diraihnya tangan yang bertengger di lehernya dan digenggamnya lembut. “Aku juga berpikiran sama dulu... namun setelah terbukti salah berkali-kali, aku sampai pada keputusan untuk menerimanya saja.”

“Kau tidak tahu kalau kali ini akan sama. Kita harus mencoba. Kau harus mencoba.” Kai meraih tangan Kyungsoo yang satunya dan menggenggamnya. Kyungsoo merasakan rasa mual itu lagi. Ditariknya tangan itu dari genggaman Kai dan ganti menatapnya dengan pandangan yang—dia harap—terlihat tak acuh.

“Ini akan sama saja. Aku akan berkemas, pindah, dan meninggalkanmu. Tidak ada yang akan berubah, Jongin. Seperti sekarang, kau akan meninggalkanku untuk pulang setelah ini.” Kyungsoo memalingkan wajahnya, tidak kuat menahan tatapan Kai yang memanas. “Selamat malam, Jongin,” bisiknya, lalu berbalik.

Baru saja membuka gerbang, dia merasakan pagarnya bergetar. Melirik ke arah pagar, dilihatnya Kai duduk bersandar ke pagar.

“...Apa yang kau lakukan?”

“Membuktikan bahwa kau salah,” jawab Kai, melihat ke seberang jalan. Kai mengangkat tangannya yang membawa kantung plastik dari toko alat seni tadi. “Ini untukmu, omong-omong.”

Kyungsoo mengambil kantung itu perlahan, matanya memperhatikan ekspresi kaku Kai. “Kau tidak mungkin serius,” suara Kyungsoo bergemuruh. “Kau tidak mungkin duduk di sini semalaman.”

“Mungkin saja, dan aku akan melakukannya.”

“Tidak, kau tidak akan melakukannya.”

Ya, aku akan.” Akhirnya Kai menoleh ke arah Kyungsoo dengan pandangan menantang. Itu cukup untuk membuat Kyungsoo naik darah.

“Baiklah, diam di situ, aku tidak peduli. Jangan salahkan aku kalau kau kedinginan atau, atau, atau kau dimakan hidup-hidup oleh serangga-serangga, atau rakun, atau yang lain!!” Kyungsoo berbalik  cepat, menghentakkan kaki ke rumah. Bila mau, dia bisa saja membanting pintu untuk menambah efek dramatis kepergiannya. Hal terakhir yang dia inginkan adalah menarik perhatian orang tuanya pada teman sekolah yang sedang ‘piknik’ di depan rumah.

Kyungsoo menyapa orang tuanya yang tengah bekerja keras menulis manuskrip di ruang kerja mereka yang jadi satu. Mereka melambaikan tangan tanda memperhatikan dan kembali bekerja. Kyungsoo berjalan menaiki tangga, lalu masuk ke kamarnya. Dilemparkan kantung plastik ke kasur, lalu menghempaskan tubuh di sebelahnya. Ditatapnya langit-langit, ia mulai memutar kedua ibu jarinya—kebiasaan. Setelah beberapa detik gelisah, Kyungsoo beranjak bangun dan memandang ke luar jendela yang memiliki pemandangan jelas seluruh halaman depan. Dia dapat melihat Kai memasang earphone-nya dan menekuk lututnya ke dada. Kyungsoo mengamati hembusan nafas Kai yang mengepul menghilang di udara.

Setelah pertarungan sengit melawan hati kecilnya, Kyungsoo dapat memaksa dirinya untuk berpaling dari jendela. Ia mengganti bajunya dengan celana piama dan kaos longgar sebelum mengambil sebuah buku dari rak. Merasa nyaman di balik selimut, dengan senang Kyungsoo mulai membaca.

Tapi bohong. Kyungsoo tidak merasa senang sama sekali. Buku favorit Kyungsoo pun tidak mampu mengalihkan pikirannya dari seorang pemuda di depan rumah. Itu pun kalau pemuda itu masih di sana. Sudah cukup lama sejak Kyungsoo mengeceknya terakhir kali. Sekarang sudah hampir jam 1 pagi, Kai harusnya sudah menyerah dan pulang kembali ke kasurnya yang hangat.

Kyungsoo sempat ragu sebelum melompat dari kasur dan bergegas ke jendela. Matanya melotot menyadari tubuh Kai yang terbaring di luar. Takut akan kemungkinan terburuk, langkah Kyungsoo berhentak menuruni tangga rumah dan berlari keluar. Berusaha membuka gembok pagar dengan tangannya yang gugup, akhirnya dia berhasil membukanya dan segera berjongkok di sebelah Kai.

Mata Kai terpejam dan badannya gemetaran karena dingin. Kyungsoo berdoa kalau dia hanya tidur, jadi dia berusaha membangunkannya dengan menggoyang-goyangkan bahunya keras. Untung saja, mata Kai terbuka cepat dan melihati sekelilingnya. Akhirnya tersadar, Kai segera bangun.

“Pulanglah, Jongin,” pinta Kyungsoo.

“Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu,” kata Kai dengan suara parau.

“Aku sudah mengerti maksudmu. Jadi pulanglah, ya?”

“Tidak, kau tidak mengerti, dan akan sia-sia saja tujuanku kalau aku pergi sekarang. Jadi, tidak, aku tidak akan pergi.” Kai memberi Kyungsoo isyarat berakhir. “Kau cepatlah masuk sekarang. Tidak baik di luar sini tanpa sepatu atau baju hangat.”

Kyungsoo memandangnya tidak percaya. “Kau khawatir tentang—“ Kyungsoo menggosok-gosokkan tangannya ke wajah dan mendesah, “kau benar-benar harus pulang.” Kai tidak menjawab. “Jongi—“

“Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu percaya bahwa aku tidak akan pergi?” Kai memotong perkataanya, tampak jengkel.

Kyungsoo menggigit bibir bawah dan menatap Kai yang berusaha keras menyembunyikan badannya yang menggigil hebat. DIngin mulai merayapi tubuh Kyungsoo dan kaki telanjangnya membeku di paving yang dingin. Semua ini terasa setelah dia berada di luar sebentar saja; dia tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya Kai.

“Kalau begitu setidaknya kau masuk ke dalam dulu, mau?”

Rengutan alis Kai naik dan dia berkedip melihat Kyungsoo seakan tidak percaya. Kyungsoo memutar bola matanya sebagai balasan dan mengulurkan tangannya. Kyungsoo dapat melihat Kai mempertanyakan alasannya dengan tatapannya. “Ayo cepat,  kakiku hampir beku.” Kyungsoo berkata dengan pelan dan menggelengkan kepala untuk menambah penekanan. Saat dirasakannya betapa dingin tangan Kai, rasa bersalah menggerogoti hatinya. Dia genggam tangan itu erat dan segera menyeretnya ke dalam rumah.

Kai melepas sepatunya dan Kyungsoo mengisyaratkannya agar tetap tenang selagi mereka naik ke lantai dua, ke kamar Kyungsoo. Sesampainya di kamarnya, ia merasakan sepasang tangan terselip di pinggangnya dan tubuh yang dingin menekan punggungnya. “Kau sangat hangat,” bisik Kai di leher Kyungsoo. Kyungsoo membeku sesaat sebelum melepaskan diri dari genggamannya. Dia memegang pundak Kai dan menuntunnya ke kasur. Dipaksanya Kai untuk berbaring, lalu dia menumpukkan semua selimut yang bisa ia temukan di atas tubuh Kai. Dia mengambil sebuah kantung tidur dari lemari baju dan menggelarnya di lantai.

“Kau tidak tidur di sini?” bisik Kai dari balik tumpukan selimut yang menggunung di atasnya. Kyungsoo memandangnya aneh seraya menenggelamkan diri ke kantung tidurnya.
“Tidurlah, Jongin.” Dan Kyungsoo berbalik ke samping dengan punggung menghadap kasur. Menutup matanya, dia baru sadar betapa lelahnya dia saat dirinya jatuh tertidur dengan cepat dan nyenyak.

Keesokan paginya, Kyungsoo bangun dengan jari-jari yang membelai rambutnya. Perlahan-lahan membuka mata dan melirik ke atas, dilihatnya Kai memandangnya dengan tatapan teduh. “Selamat pagi,” bisik Kai sambil tersenyum lembut. Dia membungkukkan diri tapi tangan Kyungsoo naik dan mencegah bibir mereka bersentuhan. Kai memiringkan kepalanya bingung saat Kyungsoo menurunkan tangannya. “Ada apa?” tanya Kai.

Kyungsoo merona saat membayangkan alasannya. Sungguh konyol saat ia memikirkannya sekarang. Kai mengamati ekspresi Kyungsoo, lalu satu sisi bibirnya terangkat. “Apa? Khawatir dengan nafas pagi hari?” gelaknya. Sedikit malu dengan tebakan Kai yang tepat sasaran, Kyungsoo menyembunyikan wajahnya di satu-satunya tempat yang tersedia; dada Kai.

Saat itulah dia tersadar. Dia melepaskan diri dari Kai dan memandang selimut yang jelas-jelas tidak dia pakai tidur. Berbalik, dia melihat kantung tidur yang kosong di lantai di sebelah tempat tidur. Dia berbalik lagi dan saling berhadap-hadapan dengan wajah nakal Kai. “Kau terlihat kedinginan” adalah alasan yang keluar dari mulut Kai. Kyungsoo hanya menatapnya tajam dan beranjak dari kasur tanpa menoleh.

Kai mengikutinya dan menggantungkan tanggannya di sekitar leher Kyungsoo dari belakang sebelum ia sempat meninggalkan ruangan. “Kau mengerti sekarang?” Kai berbisik di telinganya dan memeluknya ringan. “Kali ini, segalanya bisa berbeda.”

Kyungsoo menoleh perlahan dalam pelukannya. “Tidak, semuanya tidak akan berubah, Jongin.”

“Kau benar,” Kai menyentuhkan dahi mereka, “tidak akan berubah kalau kau tidak mencoba.”

“Dan bagaimana kau menyuruhku mencoba?” Kyungsoo berbisik, berusaha fokus pada kaki telanjang mereka daripada kedekatan tubuh mereka.

“Kau sudah bicara pada orang tuamu?”

“Itu tidak akan berhasil.” Kyungsoo menjawab dengan segera, menggeleng-gelengkan kepala.

“Apa kau bahkan sudah mencobanya?”

“Tidak akan berhasil.” Kyungsoo mengulangi. Mendongakkan kepalnya dan memandang ke mata Kai, dia memohon pada Kai supaya tidak membahasnya lagi.

“Cobalah, Kyungsoo.”

“Tidak akan berhasil.” Dan Kyungsoo memisahkan diri dari Kai dan keluar dari ruangan.

Kyungsoo membuatkan sarapan di Sabtu pagi untuk Kai dan dirinya. Dia bersyukur deadline orang tuanya sudah dekat karena itu berarti mereka akan jarang meninggalkan ruang kerja mereka, tidak peduli apa yang terjadi di luar.

Kai makan lalu pergi tanpa ciuman sampai jumpa, sentuhan, atau sepatah kata apa pun.

Kai marah padanya. Dan Kyungsoo marah pada dirinya sendiri. 


 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
amusuk
maaf, kalo ada notif apdetan, saya lagi nge-proofread ulang

Comments

You must be logged in to comment
darkpinkeu
#1
Chapter 15: Huwaaa endingnyaaa sweet lah walau aku pengen liat kelanjutannya wkwk merasa haus kalau tentang kaisoo tuh, nice buat authornim makasih sudah membuat cerita sebagus dan semenarik ini buat translator pun makasih banyakkkkkk sudah menyempatkan diri menerjemahkan ff ini dan membantu banyak orang supaya lebih mudahh membaca dalam bahasa sendiri hehe thanks bgt makasih banyak sukses selalu ya kalian
darkpinkeu
#2
Chapter 14: Huwaaa sweet nya wkwk lucu nya ayahnya kai akhirnya soo :')
darkpinkeu
#3
Chapter 13: Huhubu padahal hot tapi berujung kesedihan :'(
darkpinkeu
#4
Chapter 12: Yawlahh kaisoo sweet bgt sih bikin iri
darkpinkeu
#5
Chapter 11: Wahh kaisoo kaisoo abis yg nggak nggak nih wkwkk
darkpinkeu
#6
Chapter 10: Suka bgt sama adegan mereka pas berebutan sketch book yaampun manis
darkpinkeu
#7
Chapter 9: Huwaa kaisoo ku udah dewasa ya huhuhu
darkpinkeu
#8
Chapter 8: Kaisoo ih gemay yaampun
darkpinkeu
#9
Chapter 7: Yahh udah sweet sweet padahal ㅜ.ㅜ
darkpinkeu
#10
Chapter 6: Wahhh akhirnyaa kisseu jugaa ㅠ.ㅠ