Chapter 8

Trust

“Well, well, well, sepertinya ada yang sedang jatuh cinta.” Jae In melihat kalung berinisial I di leher Wendy. Namun Wendy hanya tersenyum di goda seperti itu oleh Jae In.

“Kalau kau sudah mulai jatuh cinta, maka aku bisa dengan lega memiliki kekasih.”

“Tidak ada yang melarang unnie memiliki seorang kekasih.” Wendy sambil bercanda mengatakan hal itu.

“Bagaimana aku bisa memiliki kekasih jika aku harus membagi waktuku dengan pekerjaan dan dirimu Wendy?” jawab Jae In dengan nada sedikit bersedih. Wendy bangkit dari tempat duduknya dan memeluk Jae In dari belakang.

“Maafkan aku karena telah menyita waktu unnie,”

“Kau adalah prioritasku Wendy.”

“Terima kasih unnie, karena selalu ada untukku dan omma.” Jae In berbalik dan memeluk Wendy erat.

“Aku menyayangimu dan omma Wendy, kalian adalah keluarga yang aku miliki, well ditambah Irene jika kau berencana untuk menikahinya.” Keduanya tertawa sambil tetap berpelukan.

Butuh waktu satu tahun bagi Irene untuk menjadi lebih dekat dengan Wendy. Ia akan terus berusaha untuk meyakinkan Wendy bahwa ia benar-benar berubah, walaupun ia butuh waktu lebih lama untuk itu. Irene tidak akan menyerah, ia tidak ingin kehilangan Wendy lagi. Hal itu sudah sangat menyakitkan baginya, walaupun ia tahu tidak mudah baginya untuk meyakinkan Wendy.

“Kau yakin?” Tanya Seulgi pada Irene sambil menggenggam tangan Joy.

“Tapi aku sangat setuju dengan rencana mu Irene, kau harus berani.” Kali ini Joy yang bicara dan memberi semangat pada Irene tanpa melepas genggaman tangannya dari Seulgi.

“Kalian apa tidak bisa. Kalau tidak bergandengan tangan di hadapanku, membuatku lebih frustasi.”

“Maaf Irene, kau yang memiliki masalah, bukan kami.” Ujar Joy dengan santai dan di sambung dengan anggukan kepala dari Seulgi.

Apakah kita bisa bertemu?

Malam ini ada beberapa pekerjaan yang harus ku selaikan.

Kalau besok?

Besok aku harus ke luar kota bersama Jae In unnie dan menginap beberapa hari.

Kalau sekarang?

Masih jam kerja Irene.

Irene sedikit frustasi dengan balasan-balasan pesan singkat dari Wendy. Namun sebaliknya. Wendy terlihat bahagia melihat Irene yang sedikit frustasi dengan pesan-pesan itu. Ia bisa membayangkan wajah Irene sekarang.

“Kau senang sekali mengerjai gadis itu Wendy.” Ujar Jae In sambil meletakkan beberapa berkas di atas meja Wendy.

Maaf Irene, seperti nya kau tidak bisa menemuiku.

Ayolah Wendy, sebentar saja. Aku janji pertemuan ini hanya sebentar. Wendy kembali tertawa.

Maaf, Irene.

Aku mohon.

Tak ada jawaban lagi dari Wendy, sehingga membuat Irene yakin Wendy benar-benar tidak punya waktu untuk hanya sekedar bertemu.

Sebuah mobil berhenti tepat di depan Irene yang sedikit terkejut. Seorang supir keluar dari mobil, dan Irene tahu persis mobil ini milik siapa, ia hanya naik dan mengikuti ke mana mobil itu membawanya. Meraka sudah tiba di rumah Wendy dan supir itu mengatakan bahwa Irene sudah ditunggu di kediaman Wendy. Dengan agak sedikit ragu Irene memasuki rumah itu, nyonya Son sudah menunggunya dengan senyuman lebar.

“Masuklah Irene, yang lain sudah menunggu.” Irene yang sedikit kebingungan tetap masuk sambil memberi hormat pada nyonya Son.

“Hai,” Wendy mendekati Irene.

“Ayo kita makan malam dulu.” Ujar Wendy tanpa melepas rangkulan tangannya di pinggang Irene, dan gadis itu sama sekali tidak protes walaupun Wendy menciumnya sekarang. Mereka makan malam seperti biasa sampai akhirnya, Wendy mengelap bibirnya dan menghentikan makannya.

“Omma, Jae In unnie, kita sudah membicarakan soal ini sebelumnya .” Lalu ia memandang Irene dengan lekat, membuat jantung Irene berdegup dengan kencang.

“Aku akan memutuskan hubungan pertemananku dengan Irene.” Ujarnya pasti.

“Tapi Wendy.” Irene berusaha untuk protes dan hatinya sangat sakit mendengar kata-kata Wendy. Ia bahkan menitikkan air matanya.

“Wendy kau benar-benar keterlaluan, membuat Irene menangis seperti itu.” Ujar Jae In.

“Tenanglah Irene, Wendy belum selesai bicara.”

“Biarkan saja unnie, aku ingin melihat Irene menangis, dia seperti anak kecil.” Tawa Wendy.

“Yaa, ini tidak lucu.” Irene masih menangis dan kali ini, ia bahkan mengadukan perbuatan Wendy pada nyonya Son, dan Wendy benar Irene terlihat seperti anak kecil.

“Sudahlah Wendy, cepat selesaikan perkataanmu.”

“Baiklah,” ujar Wendy dengan lemah karena ibunya yang sudah bicara. Ia bangkit dari tempat duduknya dan mendekat ke arah Irene dan memeluk Irene yang masih saja menangis. Wendy berdiri dengan tegak sementara Irene masih dalam pelukannya dan kali ini ia berusaha menghentikan tangsinya. Wendy membelai rambut hitam Irene dan perasaannya saat ini begitu bahagia, karena telah berhasil mengerjai Irene.

“Aku belum selesai Irene, aku tidak ingin menjadi temanmu lagi, tapi aku ingin kau menjadi pengantinku.” Irene melepas pelukannya dan melihat Wendy tak percaya.

“Aku tidak salah dengarkan?” Wendy menggelengkan kepalanya dan mendaratkan sebuah kecupan ringan di bibir Irene.

“Aku mencintaimu Irene,”

“Aku juga Wendy, aku mencintaimu, sangat mencintaimu.”

“Aku tahu itu.” Wendy kembali memeluk Irene dan melihat ke arah ibunya. Lalu ia mendapatkan anggukan dari Jae In.

  Nyonya Son menghapus air matanya, melihat kedua gadisnya dengan pasangan mereka masing-masing.

“Andaikan kau bisa melihat semua ini Lim, kau akan sangat bahagia kedua putrimu tumbuh menjadi gadis-gadis yang sangat baik saat ini.” Yang tidak diketahui Jae In dan Wendy adalah, mereka sebenarnya bersaudara. Tuan Lim sendiri bahkan tidak tahu kalau Jae In adalah darah dagingnya. Karena ibu Jae In tidak pernah memberi tahukannya pada tuan Lim. Jae In adalah hasil hubungan tuan Lim dengan seorang gadis kampung yang ia tiduri hanya untuk bersenang-senang. Gadis itu hamil, dan meninggal saat melahirkan, Jae In dibesarkan oleh bibinya yang tidak memiliki anak dan suaminya yang sudah meninggal. Sebelum bibinya meninggal, wanita itu menceritakan semua hal pada nyonya Son. Wanita itu menyayangi Jae In seperti anaknya sendiri, dan meminta ia untuk tetap tinggal dan merawat Wendy. Ia ingin Jae In menyayangi Wendy seperti adiknya sendiri, tanpa memberitahu yang sebenarnya. Namun ikatan antara Wendy dan Jae In terjadi secara alami. Ia kembali mengahapus air matanya, melihat kebahagiaan di wajah kedua putrinya.

“Omma, ayo kita foto bersama.” nyonya Son langsung naik ke atas altar dan berfoto bersama kedua putrinya dan pasangan mereka masing-masing. Kedua gadis itu mengecup pipi nyonya Son yang sedikit terkejut.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet