Chapter 3

Trust

“Unnie,”

“Kau sudah tiba.”

“Apa omma tidur?”

“Ya, omma sudah minum obat.” Wendy meletakkan beberapa barang bawaannya.

“Wendy, ada yang ingin unnie bicarakan padamu.” Jae In menarik tangan Wendy keluar dari ruang rawat nyonya Son. Ia membawa Wendy ke taman yang tak jauh dari ruang rawat nyonya Son. Suasana taman sedikit lebih tenang, agar mereka bisa bicara dengan nyaman. Dengan ragu Jae In memperlihatkan photo tuan Lim pada Wendy.

“Dia siapa unnie?”

“Kau tidak mengenalinya?” Wendy menggeleng sedikit kebingungan.

“Dia ayahmu Wendy.”

“Ayah? Tidak mungkin unnie,”

“Omma mendapat kabar kalau tuan Lim dalam keadaan seperti ini, dan karena itulah omma pingsan, ia cukup terkejut dan ia kebingungan harus bicara padamu seperti apa, karena omma tahu kau sangat membenci ayahmu.”

“Apa yang pria itu inginkan dari kami unnie?” Wendy bahkan tidak ingin memanggil pria itu dengan sebutan ayah.

“Tuan Lim, hanya ingin bertemu denganmu dan meminta maaf.”

“Setelah apa yang ia lakukan pada kami?”

“Wendy ah,”

“Tidak, unnie tahukan seberapa menderitanya omma berjuang untuk membiayai kehidupan kami?”

“Unnie tahu Wendy, kita menjalaninya bersama.”

“Apa unnie memintaku untuk menemuinya?” Wendy menatap tak percaya pada Jae In.

“Hal itu ada di tanganmu Wendy, unnie tidak punya hak untuk meminta mu menemui pria itu.”

“Malam itu, omma sangat terluka, aku bahkan masih mengingat jelas bagaimana pria itu mencampakkan kami hanya untuk seorang wanita jalang.” Wendy perlahan menitikkan air matanya. Jae In tahu betapa sakitnya Wendy akan penghiatan itu, ia menarik Wendy ke dalam pelukannya.

“Maafkan unnie Wendy.”

“Unnie tidak salah, aku tahu, ini sangat berat bagi omma dan unnie, aku akan memikirkannya.” Jae In tahu, Wendy adalah gadis yang sangat baik. Tapi ia terluka cukup dalam, Jae In tidak ingin memaksa Wendy untuk sesuatu  yang tidak ingin ia lakukan, ia hanya memeluk Wendy dan memastikan Wendy tak lagi menangis dan kembali ke ruang rawat nyonya Son.

Malam itu Wendy tak bisa tertidur, ia berjalan menyusuri lorong rumahh sakit yang masih terlihat ramai karena rumah sakit itu sangat sibuk.

“Makan lah sedikit Irene.” Mendengar nama itu, Wendy menghentikan langkahnya. Melihat Irene yang mengenakan pakaian pasien dan di tangan gadis itu melekat jarum infus. Wanita yang berada di samping Irene terlihat sangat frustasi dengan sikap Irene yang tak mendengar perkataan wanita itu. Ia meletakkan makanan dan keluar dari kamar rawat.

“Aku tidak tahu, di mana alamat anak perempuan bernama Wendy itu. Kalau saja aku tahu sudah aku bawa ia ke sini.” Wendy hanya diam mendengarkan gerutu wanita itu. Ia melihat ruangan itu sudah kosong dan melihat Irene menangis. Kakinya hendak melangkah, namun mengingat apa yang Irene lakukan dengan Seulgi menghentikan langkahnya.

“Wendy, maafkan aku.” Ujar Irene sambil kembali menangis. Lama Wendy melihat Irene dari kejauhan yang belum berhenti menangis, sambil terus menerus meminta maaf pada Wendy.

“Kau teman Irene?” wanita itu tiba-tiba berada di samping Wendy.

“Ah ya, kami satu kampus.”

“Bisakah kau membantuku?” Wanita itu mengajak Wendy duduk di bangku panjang di depan ruang rawat Irene.

“Sudah beberapa minggu ini, Irene sama sekali tidak mau bicara, ia selalu mengunci dirinya di kamar.” Wendy hanya diam mendengarkan perkataan Wanita itu.

“Aku adalah bibi Irene, kedua orang tuanya menitipkan Irene padaku. Ia selalu ceria dan sering menghabiskan waktunya bersama kami. Tapi akhir-akhir ini ia mengurung dirinya di kamar, dan ia pingsan beberapa hari lalu karena kehabisan energy dan dehidrasi. Kami membawanya langsung ke rumah sakit, tapi dokter bilang ia mengalami stress berat sehingga ia tidak makan dan minum. Ketika ia sadar, hanya nama “Wendy” yang ia sebut.” Wendy semakin terdiam mendengar penjelasan bibi Irene.

“Bisakah saya bertemu dengan Irene, hanya berdua saja.”

“Selama kau bisa membantu ku, aku akan sangat senang. Temuilah Irene, aku akan membeli beberapa makanan, aku cukup lapar jika tidak tidur selarut ini.” Wendy memberikan hormatnya dan memasuki kamar Irene.

“Hai,” ujar Wendy pelan.

“Wendy?, aku tidak bermimpikan?” Wendy berusaha memberikan senyumannya pada Irene. Gadis itu meraih tangan Wendy dan menyentuhnya dengan lembut. Irene terlihat lebih kurus dan wajahnya sangat pucat. Wendy duduk di samping ranjang Irene dan meminta Irene meminum beberapa teguk air. Dengan perlahan Wendy menyuapi Irene. Suapan demi suapan Irene terima, dan beberapa kali Wendy harus menghapus air mata Irene. Mereka tidak bicara, Wendy hanya menyuapi Irene sampai makanan gadis itu habis.

“Apa kau akan pergi?” Tanya Irene.

“Aku harus mengecek kondisi ibuku.”

“Ibumu di raawat di sini juga?” Wendy mengangguk.

“Aku akan melihat mu besok.”

“Kau janji?”

“Ya, aku janji.” Irene tersenyum bahagia melihat Wendy yang sudah mau bicara padanya.

“Tidurlah, jangan merepotkan bibimu.” Irene mengangguk seperti anak kecil pada Wendy dan mulai menutup matanya.

Wendy keluar dari ruang rawat Irene dan menuju ruangan ibunya. Ia melihat ibunya dan Jae In yang sudah tertidur. Ia duduk seorang diri di sofa, memikirkan percakapannya dengan Jae In kemarin siang. Ia tidak ingin lagi menemui pria itu, karena telah menyakiti ibunya sedemikian rupa. Tapi melihat kondisi pria itu yang begitu kesakitan, membuat hati Wendy cukup sakit. Karena bagaiamana pun, pria itu pernah menyayangi Wendy seperti seorang putri.

“Putri ayah, kemari lah.” Wendy tersenyum mengingat bagaimana ayahnya mengecup dahinya dan menggendong Wendy kecil dan keduanya berputar-putar bersama. Tanpa sadar, Wendy menangis sambil tersenyum mengingat kenangan indah itu dan berganti kenangan buruknya malam itu. Sampai saat ini Wendy belum bisa melupakan kejadian malam itu, dan ia masih belum bisa memaafkan sang ayah. Ia memutar gambar dan video yang diterima ibunya. Wendy menutup matanya dan menarik nafas panjang.

Sebelum kembali ke rumah, karena ibunya sudah baik-baik saja dan dibolehkan pulang oleh dokter. Wendy meminta izin sebentar pada Jae In untuk menemui Irene seperti janjinya pada gadis itu. Setibanya ia di kamar Irene, ia melihat Seulgi berada di samping Irene, berusaha menyuapi Irene, namun gadis itu menolaknya.

“Wendy.” Ujar Irene sangat bersemangat, ia bahkan mengambil makanan dari tangan Seulgi dan meminta Wendy untuk menyuapinya.

“Maaf Irene, tapi aku kemari hanya ingin berpamitan padamu, karena ibuku sudah keluar dari rumah sakit dan mereka sedang menungguku di bawah.” Irene sedikit kecewa, karena ia sangat merindukan Wendy.

“Apa kau tidak akan menemuiku lagi Wendy?”

“Bagaimana kalau kita bertemu di kampus saja, aku akan menemui di tempat biasa.”

“Benarkah kau akan menemui ku di sana?”

“Apa aku pernah berbohong padamu Irene?” seperti sebuah tamparan keras di pipi Irene, mendapatkan ucapan seperti itu dari Wendy. Ya, Wendy tidak pernah berbohong pada Irene, justru sebaliknya Irene lah yang akhir-akhir ini sering berbohong pada Wendy.

“Cepat sembuh Irene, aku permisi dulu. Seulgi.” Dengan begitu Wendy keluar dari ruangan itu dengan sedikit senyum kemenangan, karena ia tahu Irene akan menyesal telah menghkhianatinnya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet