Chapter 2

Trust

“Wendy,” Wendy terlihat bersemangat melihat seseorang yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri.

“Jae In unnie.” Wendy berlari ke arah wanita itu dan memeluknya erat.

“Wah, apa kau begitu merindukanku.” Wendy menganggukkan kepalanya dalam pelukan Jae In.

“Ayo kita pulang, aku merindukan omma.”.

Jae In dan Wendy masuk ke rumah, tapi mereka cukup terkejut karena melihat ibunya tergeletak jatuh di lantai, Jae In segera menelphone ambulance. Wendy berusaha untuk tidak panic, ia tidak melepas genggaman tangan dari ibunya. Ia langsung menuju Unit Gawat Darurat dan langsung di tangani oleh dokter, sementara Jae In mengurus administrasi nyonya Son.

“Nyonya Son mengalami shock dan kondisinya sudah stabil saat ini.”

“Apa ibu saya perlu di rawat dokter?”

“Sebaik nya di rawat beberapa hari untuk observasi lebih lanjut.” Wendy hanya mengangguk dan mengatakan pada Jae In bahwa ia harus kembali ke rumah untuk mempersiapkan beberapa barang. Jae In memberikan mobilnya untuk Wendy bawa sementara ia menjaga nyonya Son.

Jae In dan Wendy adalah sahabat baik walaupun mereka berbeda 10 tahun. Sejak Jae In berusia 10 tahun, ialah yang merawat Wendy, karena ibu Jae In adalah pelayan di rumah kediaman keluarga nyonya Son. Mereka tumbuh bersama, Jae In merawat Wendy dengan baik, seperti adik yang tidak pernah ia miliki. Nyonya Son yang selalu baik padanya walaupun ibu Jae In meninggal karena sakit saat ia berusia 15 tahun, nyonya Son tetap mengizinkan Jae In untuk tetap tinggal bersamanya. Jae In berjanji dalam hatinya, akan menjaga nyonya Son dan Wendy dengan baik.

Namun kejadian yang tidak pernah nyonya Son sangka, tuan Lim ayah dari Wendy berselingkuh. Nyonya Son dan Wendy di usir dari rumah itu ketika Wendy berada di SMA tingkat pertama. Nyonya Son menyewa sebuah apartemen kecil, Jae In tinggal di asrama kampus dan ia juga memiliki 2 pekerjaan paruh waktu. Ia memberikan sedikit penghasilahnnya pada nyonya Son, meski awalnya menolak, tapi nyonya Son tidak punya pilihan lain kecuali menerima pemberian Jae In. Kini Jae In sudah memiliki pekerjaan yang stabil, ia membayar penuh biaya pendidikan Wendy dan ia juga memberikan uang untuk membeli sebuah apartemen kecil untuk nyonya Son dan Wendy tinggal, agar keduanya tidak perlu khawatir dengan biaya Sewa.

“Jae In ah,” ucap nyonya Son pelan saat ia mulai sadar.

“Omma, jangan bangun dulu, aku panggil dokter.” Nyonya Son menuruti apa yang dikatakan Jae In. Kondisi nyonya Son sudah membaik, tetapi Jae In mengikuti saran dokter agar wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya itu tetap berada di rumah sakit untuk beberapa hari.

“Di mana Wendy?”

“Ia pulang sebentar untuk mengambil beberapa barang.” Jae In merapikan selimut nyonya Son.

“Sebenarnya apa yang membuat omma begitu shock sampai-sampai jatuh pingsan.”

“Apakah, kau membawa ponsel ku Jae In?” Jae In merogoh kantong jasnya, dan ia sempat mengambil ponsel nyonya Son, sesaat wanita itu di bawa oleh ambulance. Nyonya Son membukan layar ponselnya dan memperlihatkan sosok tuan Lim yang sedang dalam keadaan memprihatinkan.

“Apa yang terjadi pada tuan Lim omma?”

“Ia terserang kanker stadium akhir Jae In ah. Omma terkejut melihat kondisinya, dan omma bingung bagaimana menyampaikannya pada Wendy.”

“Wendy pasti akan mengerti omma,”

“Wendy sangat membenci ayahnya,” nyonya Son ingat, malam itu di mana Wendy sendiri yang menyaksikan ayahnya masuk ke dalam hotel bersama seorang wanita muda, Wendy berlari mengikuti tuan Lim. Dan sebelum kedua orang dewasa itu masuk ke kamar hotel, mereka berciuman dengan mesra. Wendy ingin berteriak menghentikan apa yang sedang ayahnya lakukan, tapi ia putuskan untuk pulang.

Ia langsung menutup kamarnya, terdengar oleh nyonya Son jeritan Wendy dari kamar. Beberapa kali, nyonya Son menggedor kamar putrinya, sama sekali tidak ada jawaban. Khawatir jika terjadi sesuatu ia mengambil kunci ganda dan membuka pintu Wendy. Nyonya Son terkejut melihat Wendy yang sudah menangis di lantai sambil membenamkan wajah di pahanya dan bingkai photo keluarga yang sudah pecah.

Nyonya Son bertanya pada Wendy apa yang sebenarnya tapi, Wendy hanya diam dan memeluk erat ibunya sambil terus menangis. Ia melepas pelukan ibunya ketika ia melihat ayahnya sudah tiba, dan langsung menuju kamar Wendy. Gadis itu bangkit, menghapus air matanya, dan langsung mendorong ayahnya sampai pria paruh baya itu terjatuh dengan bokong yang jatuh terlebih dulu ke lantai.

“Kau menjijikkan,” itu kata yang keluar dari mulut Wendy malam itu.

“Wendy, jaga bicaramu.” Tegur ibunya.

“Aku tidak perlu menjaga bicaraku pada pria bajingan seperti dia.”

“Wendy cukup,” ibunya berusaha untuk menenangkan Wendy. Tuan Lim bangkit dari tempatnya dan menghadapi Wendy.

“Kau sudah keterlaluan Wendy,” Ayahnya hendak menampar Wendy karena bicaranya yang keterlaluan, namun nyonya Son menahan suaminya agar tidak menyakiti putri mereka satu-satunya.

“Apa kau bersenang-senang?, sudah berapa lama kau menemui wanita jalang itu.”

“Cukup Wendy!!!” teriak tuan Lim. Sementara nyonya Son yang tidak tahu mengenai suaminya hanya terdiam dan memandang suaminya tak percaya.

“Dia wanita terhormat, jaga bicaramu.”

“Jika ia wanita terhormat, ia tidak mungkin berada di dalam pelukan pria beristri.” Tuan Lim tidak bisa bicara apa-apa.

“Sebaiknya kalian pergi meninggalak tempat ini, aku sudah lelah dengan kalian.”

“Apa maksudnya Lim, kau ingin kami pergi dari rumah ini?”

“Ya, aku sudah muak dengan kalian,” ujar tuan Lim dengan nada bicara yang sangat membenci istrinya. Wendy mendengarkan itu, langsung mengemasi barang-barangnya.

“Mulai sekarang, aku tidak punya istri dan anak seperti kalian, dan aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Ujar Tuan Lim sambil meninggalkan tempat itu.

Nyonya Son mengemaskan barang-barangnya dibantu oleh Wendy, dengan menyeka air matanya ia memasukkan satu persatu barang yang mungkin ia butuhkan, dan malam itu Wendy segera menghubungi Jae In. Gadis itu datang dengan sebuah taxi yang langsung membawa mereka ke asrama tempat Jae In tinggal.

“Omma,” Jae In menggenggam tangan nyonya Son yang sedikit gemetar.

“Wendy tidak akan memaafkan ayahnya setelah apa yang pria itu lakukan.”

“Omma, jangan memikirkan itu dulu, aku yang akan bicara dengan Wendy, omma beristirahatlah.” Nyonya Son menganggukkan kepalanya dan menarik nafas panjang. Setelah meminum obat yang diberikan, nyonya Son kembali tertidur.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet