Evanescent

Description

Jongin tidak pernah tahu bahwa doanya pada Tuhan di hari kematian Kyungsoo membuatnya terjebak dalam masalah besar. (Kaido, Kaisoo, Kadi, or whatever you called them)

Foreword

Malam itu lebih bising daripada biasanya.

Hingar-bingar kendaraan yang berlalu lalang, klakson nyaring sebab kemacetan yang tertimbulkan, gumam-gumam penuh penyesalan dan rasa iba, serta raungan suara ambulans yang tidak henti-hentinya menyakiti telinga.

Malam itu lebih berantakan dari biasanya.

Pecahan kaca terserak di sepanjang jalanan, pembatas jalan yang rusak, rintikan air hujan yang sibuk membasahi setiap orang yang tengah berdiri membentuk kerumunan, serta bercak merah yang ikut tergenang bersama dengan air hujan.

Tapi Jongin tidak merasakan itu semua.

Indera perasanya hilang, kaki dan tangannya nyaris tidak terasa. Segala kebisingan di belakang punggungnya tersampul oleh suara isaknya yang menggeru, merapalkan kata ‘tidak’, ‘tidak mungkin’, dan ‘tidak mau’ secara acak, berantakan, dan repetitif.

Pandangannya tak pernah lepas dari sebuah mobil taxi yang kini hanya terlihat seperti seonggok kepingan plat baja yang tidak berbentuk. Tangisannya semakin keras begitu salah seorang petugas rumah sakit mengeluarkan sesosok lelaki yang bersimbah darah.

Ia putus asa.

Sebab, beberapa menit yang lalu, taksi tersebut membawa kekasihnya.

Sebab, lelaki yang kini tengah terkulai di tandu adalah Do Kyungsoo.

Kakinya memaksa Jongin untuk merangsek maju kendati polisi tetap merentangkan tangannya untuk menghadang. Tanpa ia sadari, tubuh Jongin melorot hingga lututnya menyentuh aspal yang basah. Tangisnya semakin kuat.

Di sela-sela bibir yang bergetar, Jongin menengadah. Diisi oleh keputusasaan yang parau, bibirnya kalut merapal sebuah doa singkat.

“Kumohon,” pintanya lirih. “izinkan aku melihatnya lagi.”

Tetes air yang terjatuh semakin deras, mengisyaratkan setiap orang untuk segera mencari atap.

 

---o---

 

Semesta selalu bekerja secara misterius.

Tidak ada satupun insan yang mengetahui secara mutlak bagaimana dua orang bisa ditakdirkan untuk saling jatuh cinta, mengapa sebongkah apel yang dilempar ke atas akan jatuh lagi, atau mengapa kafein terasa pahit.

Dunia selalu penuh dengan hal yang tak pernah diduga, dan takdir selalu mengalamatkannya dengan tepat. Semesta selalu menaruh porsi yang adil bagi setiap manusia.

Jongin awalnya meyakininya.

Namun tidak kali ini.

Jongin tidak mengingat apapun setelah seorang pria paruh baya dengan nametag yang mengeja nama Dokter Lee di dada kirinya mengucapkan maaf. Ia hanya sempat mendengar sayup-sayup decitan roda kasur dan merasakan dinginnya aliran oksigen yang diarahkan ke hidungnya.

Jongin tidak pernah mengharapkan hari ini.

 

---o---

 

Kepala Jongin segera diserang pening saat kesadarannya kembali. Matanya terasa sangat berat hanya untuk sekadar terbuka, sebab rasanya ia nyaris kehabisan air mata. Remang cahaya ruangan berebut menyentuh penglihatan Jongin, membuat lelaki itu perlu menyipitkan matanya.

Tapi, tidak ada aroma disinfektan yang menyengat.

Jongin menggerakkan tubuhnya dan yang ia dengar hanya cicitan kasur kayu. Tangan Jongin bergerak pelan meraba hidungnya, hampir mendelik ketika tidak menemukan selang oksigen yang ia yakin terpasang semalaman di sana.

Matanya mengerjap lamban.

Aroma roti yang gosong, baju yang terserak di belakang pintu, jam analog yang berdetak lambat, serta laptop yang masih menyala di meja kerja. Jongin mengerjap sekali lagi.

Apa yang ia lihat sama sekali tidak mirip dengan kamar rumah sakit.

Melainkan kamar apartemennya sendiri.

Jongin mengerutkan keningnya. Samar telinganya menangkap racauan pembawa berita dari televisi yang belum dimatikan. Tangannya menggapai-gapai jam digital di meja nakas seraya menggosok matanya yang perih.

08.00 PM.

Jongin memicingkan matanya pada tulisan yang lebih kecil di bawahnya.

13 Januari 2019.

Pening segera menyerang kepalanya kembali, namun kini lebih menyakitkan. Otaknya sontak memproses rentetan bayangan peristiwa dengan cepat; layaknya pemutaran film yang terlalu buru-buru.

13 Januari. Langit yang mendung. Telepon berdering. Janji untuk merayakan ulang tahun. Restoran China. Kebahagiaan yang memuncak lantaran pertemuan yang akan segera datang.

Jongin terlonjak. Tergesa, kaki memaksa tubuh yang sedikit kaku untuk memeriksa tanggal di sudut bawah laptopnya; memastikan apakah arloji digitalnya memang sedang rusak.

Namun, jam tersebut bahkan lebih tepat daripada sebuah realita.

Ketika Jongin hampir terjatuh, ponselnya berdering keras.

Jongin melewatkan beberapa detak jantungnya saat membaca nama kontak yang tertera di layar ponselnya.

“Heol, aku sangat yakin kau baru bangun.”

Jongin tercekat. Ada sensasi terbakar yang tercecap di sekitar matanya saat suara berat itu memenuhi rongga telinganya. Pandangannya kabur oleh air yang bergumul di pelupuk, membungkus secara sempurna mata jernihnya.

Jongin tergugu.

“H-hey, ada apa?”

Tidak ada yang sanggup terucap dari mulutnya. Setiap kalimat hanya lolos sampai tenggorokan, lalu tertahan di sana.

“What the happen with you?” suara lembut di ujung telepon terdengar menyimpan sejuta tanya sekaligus kekhawatiran yang sulit untuk ditutupi. “Are you okay?”

Jongin susah payah meredam isaknya hanya untuk mengucapkan sebuah klausa yang parau. “I’m—I’m okay.”

“You sure?”

Jongin menjauhkan teleponnya hanya untuk menangkupkan wajahnya pada bantal agar sedunya tak terdengar. Jongin merasakan ponselnya bergetar pelan ketika menyadari keheningan telah tercipta cukup lama.

“Jongin?” ucap lawan bicaranya lirih. Terjadi jeda yang cukup panjang sebelum ia kembali berujar, “Ceritakan saat kita bertemu, okay? Aku akan naik taksi agar segera—”

“JANGAN!”

Terdengar sentakan kaget di ujung telepon. “Apa?”

“Jangan, kumohon,” isak Jongin yang justru semakin terdengar keras dan pilu. “Jangan naik taksi.”

“Tapi aku sudah memesannya—”

“JUST. DON’T,” Jongin berharap ia sudah cukup egois untuk dapat meluluhkan lelaki di seberang telepon agar mengikuti kemauannya. Ia menggerakkan bibirnya untuk menyempurnakan kalimatnya dengan lirih. “Kumohon, Kyungsoo.”

“O-okay,” Kyungsoo berujar pelan. “Aku akan naik kendaraan umum yang lain. See you.”

Begitu panggilan usai, Jongin segera menyambar mantel yang tergantung di balik pintu.

Ia berlari secepat mungkin.

 

---o---

 

Penantiannya pada malam itu menjadi penantian yang paling panjang di hidupnya.

Udara yang dingin menerpa wajahnya yang pucat dan sayu. Giginya bergemeletuk menahan dinginnya udara pada awal tahun, sementara sorotnya tak pernah lepas mengawasi semua kendaraan yang melintas di hadapannya. Jantungnya berdebar lebih cepat.

Jongin memeriksa arlojinya, kemudian memejamkan matanya sejenak untuk meredam semua gundah yang bergelayut di hatinya. Bibirnya meloloskan sebuah hela napas yang putus asa.

Tepat ketika tetes hujan pertama kali sampai ke aspal, sudut matanya menangkap lambaian tangan seorang lelaki yang baru saja turun dari bus.

Jongin melewatkan napasnya.

Berlari cepat melawan angin, Jongin segera mengurung tubuh Kyungsoo dalam dekapannya. Sekelebat bayangan sosok Kyungsoo yang dipenuhi noda merah pekat di baju, kepala, dan rambut membuat rengkuhannya semakin erat, menyisakan rasa nyaman dari usapan lembut di punggung Jongin.

“What’s wrong?”

“Please,” bisik Jongin lirih. “promise me you won’t leave.”

Tidak ada balasan yang Jongin terima untuk jangka waktu yang cukup lama hingga akhirnya, “I won’t.”

Namun hati Jongin mencecap sebuah keraguan.

 

---o---
 

“Berhenti memandangiku seperti CCTV dan makan.”

Jongin berkedip dan pandangannya sempat menangkap rona merah samar ketika Kyungsoo memalingkan wajah darinya. Ia bergerak mundur dan menyadari bahwa semangkuk sup di hadapannya telah dingin.

Jongin meraih sendok di samping mangkuknya.

Sembari menyendokkan makanan ke dalam mulutnya, Jongin diam-diam mengawasi setiap gerik Kyungsoo hanya untuk memastikan bahwa lelaki itu masih disana dan sedang baik-baik saja. Jongin nyaris berteriak saat Kyungsoo mengambil pisau untuk memotong daging di piringnya.

Jongin tidak ingin melepaskan semuanya dengan mudah.

Jongin ingin memastikan bahwa lelaki itu menghindari segala hal yang dapat mencelakainya.

Sebab, terdapat ketakutan sekaligus ketidakyakinan luar biasa yang kini bersarang di hatinya.

Bayangan akan mobil limo yang menabrak pembatas jalan, pecahan kaca, roda yang lepas, garis polisi, bisik iba, serta darah yang mengalir dari kepala Kyungsoo memenuhi setiap ruang di kepalanya. Jongin buru-buru mengangkat kepalanya, berusaha memastikan bahwa Kyungsoo sedang baik-baik saja.

Namun sontak Jongin terlonjak, lalu tersedak oleh makanan di mulutnya.

“Ya Tuhan!” Kyungsoo buru-buru menghampiri kursi Jongin dan menyodorkan segelas air. Tangan kecilnya menepuk-nepuk pelan punggung Jongin yang kini sedikit basah oleh keringat. “Are you okay?”

Jongin menggeleng.

Sebab, ketika matanya bertumbukan dengan manik Kyungsoo, ia kembali melihat sosok lelaki itu dengan darah mengalir di kepalanya.

Namun, kali ini bukan dalam kecelakaan mobil.

 

---o---

 

TO BE CONTINUED!

Hai! Terima kasih banyak sudah baca hehehe walaupun aku gatau apa yang aku tulis T^T

Udah cukup lama ga nulis, tapi kuharap ini bisa mengobati kerinduan kai pada d.o yang baru selesai wamil kkkk. Kalau berkenan, silakan tinggalkan komentar juseyo! Anyway, cek aku di wattpad (sama aja sih isinya wkwkkw), https://www.wattpad.com/user/kyungsoolit

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet