Chapter 2

Let it all go

"Wendy," teriak Irene mengejar Wendy yang sudah menuju kelas.

"kau menjatuhkan ini," Wendy mengambil buku yang diberikan Irene padanya. 

"Terima kasih," ujar Wendy sambil tersenyum kecil pada Irene. Mendapatkan ucapan terima kasih dan sebuah senyuman dari Wendy membuat Irene terpana dan lama ia berdiri di tempatnya sampai akhirnya Seulgi datang dan menyadarkan Irene yang masih tak percaya Wendy mengucapkan terima kasih padanya.

 

"Hai Wen, mau bergabung di tim kami?" pelajaran olah raga adalah pelajaran yang paling Wendy tidak sukai, karena hal itu membuat tubuhnya semakin sakit. Namun ia tidak punya pilihan lain, karena ia takut nilainya akan turun dan akan memicu kemarah sang ayah. Wendy berlari sekuat tenaga dengan tubuhnya yang terasa sangat sakit. Dengan kesungguhan yang Wendy lakukan tim mereka mendapatkan kemenangan.Semua anggota team saling berpelukan dan beberapa orang di dalam kelompok itu merakannya dengan menepuk punggung Wendy dan membuat gadis itu meringis namun ia cukup senang, karena ia sudah lama tidak merasa selepas dan bahagia seperti ini. Ada terbersit dalam hatinya untuk kembali bergabung bersama Seulgi dan sahabat yang lainnya namun hal itu memudar saat Irene sadar bahwa ada sebuah bercak merah di punggung Wendy yang awalnya tidak ada di pakaian putih gadis itu. Sadar akan hal itu, Irene segera menarik Wendy ke ruang ganti yang Irene rasa cukup sepi. 

"Kau berdarah?" tanya Irene dengan wajah yang serius pada Wendy. Wendy membalikkan tubuhnya melihat pakaiannya di cermin.

"Ini bukan apa-apa, hanya noda saja." namun Irene tidak percaya dengan perkataan Wendy, karena ia sangat sering melihat gadis itu meringis menahan rasa sakitnya. Ia memberanikan membuak pakaian Wendy dengan paksa, ia tahu ini salah namun ia tidak bisa diam saja. Ia terkejut melihat luka-luka yang ada di tubuh Wendy. Wendy yang kaget segera merapikan pakaiannya, 

"Beranai sekali kau." tatap Wendy dengan sangat marah.

"Maafkan aku tapi tubuhmu."

"Bukan urusanmu, dan awas saja sampai ada yang tahu mengenai hal ini, aku tidak akan membiarkanmu bicara sembarangan mengenai apa yang baru saja kau lihat." Wendy langsung keluar dari ruang ganti itu dan menuju kelas. Irene masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tak ada yang tahu tentang hal itu, bahkan Irene yakin Seulgi juga tidak mengetahui akan hal itu.Irene tak bisa melakukan apapun karena Wendy memintanya untuk tidak membicarakan mengenai luka-luka yang ia dapat pada siapapun. Irene hanya bisa menghela nafas panjang dan dengan wajah sediih ia keluar dari ruang ganti. Mungkin ia tidak akan memandang Wendy sebagai anak aneh lagi. 

 

Jae In masuk dengan ragu ke dalam sebuah toko yang menjual kerajinan dari perak yang telah diinformasikan oleh seorang detektif swasta yang ia sewa tanpa sepengetahuan ayahnya. Ia meremas pakaiannya karena keraguan menjalar di seluruh tubuhnya, ingin ia keluar dari toko itu, namun mungkin ini adalah satu-satunya cara agar ia bisa lepas dari sang ayah. 

"Permisi," ujar Jae In parau.

"Oh, silahkan." seorang pria berusia 38 tahun keluar dari balik pintu.

"Ada yang bisa saya bantu?" Pria itu menangkap rasa takut dan insecure dari tatapan gadis di hadapannya itu.

"Silahkan duduk nona, aku akan mengambilkan minuman untukmu." Jae In duduk sambil melepas tasnya dan mengeluarkan sebuah foto dari dalam tasnya. ia memperhatikan sekelingnya dan tidak lama. pria itu keluar dengan membawa senampan teh hijau. Jae in menyesap teh itu dan membuatnya sedikit lebih relaks. Ia tak memliki banyak waktu, karena ia membolos dari latihan matematikanya. Hanya guru Park yang tidak akan melaporkan kalau ia bolos kepada ayahnya. Jadi ia tidak ingin membuang waktu dan langsung menanyakan apa yang sudah sejak kemaren ada di pikirannya.

"Apa anda mengenal wanita ini?" Pria itu mengambil photo yang diberikan Jae In padanya.

"Dari mana kau mendapatkan photo ini?"

"Dari dalam album photo lama ibuku, dan wanita yang ada di dalam photo itu adalah ibuku."

"Ibu mu?" 

"Anda mengenalnya kan?" 

"Ya, dia adalah kakak perempuanku, kami berpisah saat di panti asuhan, dan sampai saat ini aku tidak tahu di mana kakak perempuan ku ini berada."

"Ibuku meninggal karena kecelakaan setahun yang lalu." pria itu hanya terdiam mendapatkan informasi seperti itu, hatinya perih mengetahui bahwa ia tidak mungkin akan bertemu kakak perempuan yang selama ini ia cari-cari. 

"Setelah kepergian ibuku, ayah menjadi aneh, dan mulai memukuli ku dan adik perempuanku. Setiap ia pulang dalam keadaan mabuk, ia akan langsung memukuli kami. Menurutnya, kami lah yang menyebabkan ibu kami meninggal. Terlebih pada adik perempuanku, ia memukulnya lebih keras karena malam itu adikku yang memaksa ibu menjemputnya dari bandara setelah kami kembali berlibur bersama ayah. Dan ayah kami tak pernah berhenti menyelahkan kami mengenai kepergian ibu kami paman." Jae In tak bisa lagi menahan kesedihannya, ia menceritakan semuanya pada Kim Tae Yoen sambil menangis. Pria itu meraih tangan Jae In agar gadis itu bisa lebih tenang.

"Apa yang bisa aku lakukan untuk mengehntikan ayahmu?"

"Aku tidak tahu," Jae In menundukkan kepalanya sambil terus menangis.

"Apa kau ingin aku mengambil hak asuh kalian?" Jae In menggelengkan kepalanya. Lama ia berfikir, ia menatap pria di hadapannya itu dengan cukup yakin.

"Aku hanya ingin paman menjadi saksi, jika ayah kembali memukuli kami."

"Bagaimana caranya?" 

"JIka suatu hari aku menghubungi paman, paman bisa datang ke rumah ku kan?"

"Mengapa harus seperti itu?"

"Karena adikku, ia takut jika aku terluka lebih parah jika aku bicara pada seseorang mengenai perlakuan ayah pada kami. Jika ayah mengetahuinya, maka kami akan mendapat hukuman lebih parah. Tidak ada yang tahu kalau aku menemui paman, jadi adikku tidak akan merasa khawatir." Tae Yoen mengangguk, karena ia memahami situasi kedua keponakannya. Jae In memberikan alamat rumahnya dan mereka bertukar no handphone, Jae In menjadikan nomor pamannya itu menjadi nomor darurat, agar kapan pun ia bisa dengan mudah mengubungi pamannya. 

 

"Bolehkan aku duduk di sini?" tanya Irene yang berusaha mendekati Wendy yang duduk seorang diri di bangku taman sekolah mereka. Namun Wendy berdiri dan berusaha meninggalkan Irene. Tapi Irene tidak ingin Wendy pergi dan ia meraih tangan Wendy untuk mencegahnya. 

"Apa maumu?" tanya Wendy dingin.

"Aku hanya ingin makan siang bersamamu." namun Wendy melepaskan tangannya dari Irene dan pergi begitu saja. Irene menghela nafas panjang. Irene sendiri tidak mengerti, mengapa ia ingin sekali dekat dengan Wendy, bukan karena ia kasihan namun karena ia ingin benar-benar mendekati gadis itu. Dari semua orang yang ingin mendekatinya, bahkan Seulgi sekalipun, mengapa ia ingin mendekati Wendy, pikirnya. Irene sudah tertarik pada Wendy sejak pertama ia masuk ke sekolah ini. 

Sepertinya aku harus bersabar dan berusaha lebih keras agar Wendy mau bicara padaku - Irene kembali menghela nafas frustasinya dan memakan makan siang yang sudah ia siapkan untuknya dan Wendy, tapi sepertinya ia harus menghabiskan makanan itu seorang diri.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Dhedhe0788
Well, this is the ending..
Maaf kalau endingnya terlalu cepat.
Makasoh buat yang udah baca cerita aku dan komen di cerita ini. Bye bye enjoy the story

Comments

You must be logged in to comment
Yoyonjin
#1
Chapter 8: This is so beautiful 💗💗💗
Erichan07 #2
Chapter 8: Yeaaay akhirnya mereka bersama 🥰
Chynade #3
Chapter 5: Keren bangettt plotnya thorr, penasaran sama lanjutannya nihh 🤣 thank you for updating❤
Erichan07 #4
Chapter 4: Ini bagus, saya ingin melihat kelanjutannya.. terimakasih sudah menulis cerita. Semangat author-nim;D
Junariya #5
Chapter 1: I really like your story please continue the story 🙂
I wanna know what happen next.