Cinta Satu Malam

One Fateful Night

A/N

Sudah terlalu lama nggak nulis pakai bahasa Indonesia

Maafkan kesalahan EYD dan lain sebagainya awokowkokwo

.

.

.

"Assalamu'alaikum, guys."

Tiga suara ketukan meja menyusul panggilan lirih Irene (alias Joohyun tapi lebih akrab dipanggil Mamih), sang ketua kelas XII-IA 3. Panggilan itu rupanya belum mampu untuk menarik perhatian 20-an murid lain yang merupakan teman-teman satu kelasnya. Kesal, Irene mengulang kalimatnya sampai tiga kali, baru kemudian pasrah dan menatap minta tolong ke arah gadis yang berdiri dengan lengan terlipat di sebelahnya.

"WOI BOCAH INI ADA ORANG MAU NGOMONG DENGERIN NGAPA!"

Jihyo, si wakil ketua kelas yang juga toa portable pribadi Irene, berteriak kencang sambil menggedor-gedor papan tulis. Momo yang sedang santai makan di pojokan sampai keselek saking kagetnya. Barulah ketika Jihyo menggebrak meja di depannya, semua anak-anak lain mulai menaruh perhatian pada mereka berdua.

"Ya, gimana, cantik?" tanya Byulyi, yang sedetik kemudian menerima tamparan luar biasa keras dari teman sebangkunya, Hyejin.

Jihyo mengabaikan dua cowok itu dan berdeham. "Oke, guys, sekarang dengerin kita–"

Ada suara dengkuran dari dunia lain.

"–Sowon boleh tolong itu Yuju dibangunin dulu?"

Sowon mengacungkan ibu jarinya, lalu dengan jahatnya menjambak rambut Yuju sampai anaknya terbangun dan berteriak kesakitan.

Setelah keadaan kelas dirasa kondusif, Jihyo melanjutkan kalimatnya. "Jadi gini, guys, 'kan kemarin-kemarin kita ada rencana mau makrab–"

Belum selesai Jihyo bicara, sudah ada orang-orang yang menyahut asal.

"Loh, jadi?"

"Kukira cuma wacana."

"Alhamdulillah ya Allah akhirnya kita makrab juga."

"Yeee bisa berduaan sama my Jeongyeonnie ututututu."

"Idih, najis."

Jihyo menggebrak meja lagi. "OY DIAM NGGAK?!"

Semua langsung menutup mulut, kecuali Yuju yang malah menguap. Jihyo mengerang kesal dan akhirnya menyikut Irene untuk mengambil alih. Walaupun badannya lebih kecil dan suaranya jelas lebih lirih dibandingkan Jihyo, entah bagaimana caranya Irene berhasil menarik perhatian siswa-siswi barbar itu untuk mendengarkannya.

"Uhm, jadi kita ada rencana untuk makrab bulan depan. Kita udah survei tempat, sih. Pilihannya tinggal mau ke gunung apa ke pantai. Itu file laporannya udah dikirim Yongsun di grup silakan bisa diliat dulu."

"Kalau ke gunung kembar aku mau," ujar Byulyi lagi sambil menaik-naikkan alisnya, dan lagi-lagi Hyejin menampar kepala teman sebangkunya dengan keras.

"Kalau aku rekomen gunung, sih." Yongsun, sang sekretaris kelas angkat bicara. "Dunia lagi panas banget gila. Kalau ke pantai pasti lebih panas lagi udaranya. Nggak nahan, cuy."

"Tapi kalau di pantai kita bisa liat kalian pakai bikini," kata Seungwan yang langsung diamini tiga belas cowok lainnya.

Jihyo mendelik.

Seungwan nyengir.

"Fix gunung, sih, kalau gitu," Jennie tiba-tiba menyahut dengan nada datar. Di sebelahnya, terlihat sosok Jisoo yang pingsan dengan sebuah bekas tamparan di wajahnya. "Biar adem."

Terdengar suara-suara kecewa dari cowok-cowok di bagian belakang kelas, namun semuanya langsung terdiam saat Irene melirik mereka sinis.

"Oke, jadi ke gunung, ya." Irene menulis-nulis sesuatu di buku sakunya. "Rencana awal kita sih mau bulan depan, tanggal 24-25, dan kita iuran masing-masing 50 ribu ya, nambah kas buat sewa villa sama makanannya. Bayarnya ke pak bendahara Sowon. Kira-kira bisa ikut semua atau ada yang mau skip?"

Umji mengacungkan tangan. "Umm... kayaknya Umji skip dulu. Soalnya mau ada acara keluarga..."

Yuju, yang sedari tadi masih semi-teler di mejanya, seketika meloncat bangun. "Yah, Umji nggak ikut? Sedihhh..."

"...tapi nggak tau liat nanti kayaknya Umji bisa."

"Yeee!!!"

Semuanya sweatdrop melihat Umji yang merubah keputusannya sedetik setelah Yuju angkat bicara. Lebih sweatdrop lagi melihat Yuju memeluk-meluk cewek yang jelas-jelas bukan mukhrimnya. Tapi mengingat Yuju adalah cowok yang (mungkin) paling inosen seangkatan, sepertinya kali ini akan mereka biarkan saja.

"Selain Umji ada lagi yang nggak bisa?" Irene bertanya lagi. Saat tidak ada lagi yang menyatakan keberatan, Irene mengangguk dan menutup bukunya. "Oke, kalau gitu rapat selesai, ya. Nanti siapa aja cowok-cowok yang bisa bawa kendaraan konfirmasi ke Jihyo atau Yongsun. Jangan lupa bayar 50k ke Sowon maksimal seminggu sebelum berangkat, oke? Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam, ukhti."

.

.

.

Sebulan kemudian

 

"SEMUA SUDAH SIAAAPPP????"

Menggema di parkiran SMA Seoul siang itu adalah teriakan tidak lain dan tidak bukan milik Lalisa Manoban seorang. Cowok pindahan dari Thailand itu sibuk melompat-lompat di atas bak belakang mobil Chevrolet Colorado Seulgi, membuat si empunya mobil merasa khawatir kalau mobil kesayangannya akan hancur sebelum makrab dimulai. Lisa dipilih sebagai koordinator lapangan untuk makrab hari ini akibat kalah taruhan dengan cowok-cowok lainnya.

Sebenarnya kasihan, tapi dibandingkan dengan cowok lain, cewek-cewek IA-3 bersyukur karena Lisa yang terpilih menjadi koordinator.

"LISA ABSEN YAAAAA!!!" Lisa teriak lagi.

"Gausah teriak-teriak astaga kita belom budek, Lis!"

Lisa langsung diam, sakit hati setelah menerima serangan balik dari Eunbi. Tapi melihat Yerin yang segera menjitak cowok kurang ajar itu, Lisa tersenyum lagi.

Mampus lu setan.

"Ekhem, oke Lisa absen ya sekaraangg!!" ia kembali berseru senang yang mendapat berbagai macam reaksi. Mulai dari yang antusias seperti gadis-gadis sekelasnya, yang malas-malasan macam Tzuyu dan Jeongyeon, yang setengah tidur macam Yuju, dan lain sebagainya.

"Dari yang paling tua ya kak Yongsun ada??"

"Ada! Sialan lu Lis!" Yongsun membalas sambil berseru kesal karena dipanggil tua.

"Kak Byul?"

"Ku selalu ada untukmu, ganteng."

"Astaghfirullah homo– ehm, Wheein ada Wheein?"

"Di sini!"

"Hyejin?"

"Yuhuuu."

"Mamih Irene Papih Seulgi dan anak-anak lengkaaap???"

"Alhamdulillah," Irene menjawab khidmat. (Calon) suaminya Seulgi dan kedua anak angkat mereka Joy dan Yeri sibuk hore-hore. "Seungwan telat bentar tadi isi bensin dulu katanya."

"Ahsyaap! Kak Jisoo??"

"Hadir, bossqu!"

"Jendeuk?"

"Ada!"

"R-R-Ro–".

"Siapa?" anak-anak spontan teriak karena Lisa tiba-tiba gagap.

"R-Ro-Ros–" tangan Lisa yang memegang kertas absen gemetaran.

"SIAPA?!" cowok-cowok mulai kehabisan kesabaran.

"R-Rose?" akhirnya Lisa mengucapkan nama itu dengan selamat.

"Lama amat sih, buset! Ada ini di sebelah gue!" sebelum Rose sendiri sempat menjawab, Jeongyeon menyambar dengan sewot. Sementara Rose hanya tertawa kecil dan melambaikan tangannya pada Lisa.

"Yee, 'kan malu," Lisa mengutuk sambil berbisik-bisik. Setelah itu, dia berdeham lagi, dan melanjutkan kegiatan mengabsennya. "Sow– ah, nggak jadi itu udah keliatan. Eunha ada Eunha?"

"Siap!"

"Nice! Hmm... Eunbi sama Yerin ada ya tadi.. Yuju?"

"Teler itu di mobilnya Sowon!"

"Aduh, kebiasaan banget deh itu anak. Yaudah, deh. Umji? Umji? Umji ikutan nggak jadinya?"

"Jadi, Lisa." Umji mengangkat tangannya. Lisa nyaris meneteskan air mata melihat betapa imutnya Umji jinjit-jinjit saat berusaha membuat dirinya terlihat. Bukannya Umji pendek, tapi rata-rata cowok kelas IA-3 memang tingginya nggak kira-kira (kecuali si duo Son, yang sama-sama disinyalir stunting waktu kecil) jadinya dia tenggelam di antara kerumunan kaum Adam.

Lisa mengacungkan ibu jarinya. "Oke deh, next. Si cabe ada cabe?"

"Siapa pula cabe?" Nayeon bertanya.

"Kau lah siapa lagi."

"Kurang ajar!" Nayeon melempar sebongkah batu ke arah Lisa. Untung tidak kena, dan untungnya meleset jauh, karena Seulgi sudah nyaris pingsan melihat mobilnya hampir diserempet batu bata sebesar itu. "Walaupun aku suka kegatelan tapi aku rendah hati dan rajin menabung, ya!"

Tetep cabe, dong?

Batin semua anak, tapi tidak ada yang berani bertanya.

Lisa lanjut. "J–"

"Adaaaaa udah ayok ah cepetan pegel gue berdiri lama-lama."

Belum juga dipanggil, Jeongyeon sudah mengerang-ngerang sambil ngesot ke arah mobilnya. Lisa mendelik, ingin marah tapi takut kualat karena Jeongyeon lebih tua, dan akhirnya cuma bisa menarik napas panjang. Berat juga ternyata beban jadi koordinator anak-anak sinting ini.

"Iya, iya, sebentar lagi selesai, kok. Momo?"

Tampak sebuah tangan melambaikan sepotong ayam goreng dari balik kerumunan.

"Sana, Sana?"

"Hadiiir!"

Lisa melewati Jihyo karena sang wakil ketua kelas berdiri tepat di sampingnya. "Mina ada?"

"Ada."

"Mina? Mina ada nggak, Mina?"

"Aku di sini."

"HIH MINA MANA SIH DIPANGGILIN NGGAK NYAUT-NYAUT?!"

"MINA ADA ITU SAMA KAK MOMO!" Dahyun akhirnya mewakilkan melihat si gadis pindahan Jepang hanya bisa pasrah melambaikan tangan dari belakang. "DACHAETZU JUGA HADIR SEMUA! YUK CAW!"

"Bentar dulu sabar!" tampaknya Jihyo mulai kasihan dengan Lisa yang sejak tadi jadi pelampiasan teman-temannya dan mengambil alih. Lisa langsung sembah sujud berterima kasih. "Kemarin yang konfirmasi mau bawa kendaraan siapa aja, aku ulangi, ya. Yang bawa mobil Seulgi, Sowon, Jisoo sama Jeongyeon. Yang motoran Momo, Seungwan, Joy sama Byulyi, bener?"

"BETUL SEKALI, NYAI!"

Jihyo melotot mendengar panggilan anak-anak padanya, tapi memutuskan untuk bodo amat karena sudah capek meladeni mereka. "Kalau gitu sesuai yang kemarin aja, ya. Momo sama Tzuyu, Joy sama Lisa, Byul sama Hyejin, Wan sama Eunbi? Yang mobilan tinggal dibagi sendiri-sendiri aja, ya, mobil Sowon yang muat banyak jadi banyakin aja di situ."

"Barang-barang jangan lupa ditaruh di baknya Seulgi," Irene menambahkan. "Nanti diiket biar nggak susah bawanya."

Sekian menit yang diisi beres-beres dan teriakan-teriakan Jeongyeon yang nggak sabar ingin buru-buru berangkat, Eunbi dan Irene tiba-tiba datang menyambangi Jihyo.

"Ji, si Seungwan kayaknya telat banget deh," ujar Irene khawatir. "Ban motornya bocor, mau nambal dulu."

"Loh, terus mau gimana? Kenapa nggak ke sini aja, 'kan masih ada tempat?" Jihyo menunjuk-nunjuk ke arah deretan mobil-mobil yang terparkir di dekatnya. "Kalau nggak ada juga dia bisa duduk di bak belakangnya Seulgi. Jagain tas-tas."

"Nggak mau dia. Sayang uang bensinnya, katanya. 'Kan, kemarin udah kita kasih. Pasti udah dipake buat isi bensin."

"Aduh, yaudah terus maunya gimana?"

"Menurutku kamu stay di sini nunggu Seungwan," Irene menawarkan. Ia tidak menggubris ekspresi syok yang terpampang di wajah Jihyo. "Cuma kita berdua yang tahu jalan ke sana, dan kamu tahu sendiri aku gampang mabok, apalagi kalau naik motor. Yang ada kalau aku yang ikut Seungwan malah nggak nyampe. Biar Eunbi ikut mobilnya Seul. Percuma juga kalau dia yang ditinggal kalau dia sama Wan sama-sama gatau jalan. Gimana, gapapa?"

Terbersit di benak Jihyo untuk berkata, "Gimana kalau kita tinggal aja huahahahaha," tapi tidak tega dengan ekspresi memelas Irene. Apalagi, Seungwan adalah salah satu anak kesayangan Mamih Irene. Mustahil cewek itu akan membiarkan anaknya ditinggal begitu saja. Dua menit berpikir diiringi jeritan Jeongyeon yang makin menjadi-jadi, akhirnya Jihyo mengangguk pasrah.

"Iya deh, aku tunggu Seungwan. Kalian berangkat duluan aja."

.

Lima belas menit kemudian

 

Jihyo sudah hampir jadi fosil duduk menunggu di bawah pohon sampai akhirnya suara deru motor khas milik Seungwan menggema di kejauhan. Gadis itu langsung memasang wajahnya yang paling kesal, melipat tangan di depan dada ketika motor Kawasaki Ninja ZX-14R Seungwan muncul dari balik cakrawala.

"Dari mana aja?!"

Seungwan cemberut menerima bentakan Jihyo.

"Ya maaf. Dibilangin juga banku bocor."

"Yaudah, ayo!" tanpa basa-basi, Jihyo melompat ke boncengan motor Seungwan dan mencengkram pinggang jaket cowok itu. "Nanti aku kasih tahu belok-beloknya ke mana. Cus."

Seungwan diam saja.

"Ayok, buruan!" Jihyo makin kesal. "Aku nggak mau ya, kita ketinggalan acara gara-gara kamu kelamaan."

"Tas kamu ke mana? Nggak mau ditaruh di depan?" Seungwan bertanya nervous.

"Udah dibawa mobilnya Seulgi. Kenapa, sih?"

Seungwan makin nervous.

"Aduh, ayok, ah, jalan tinggal jalan!" dengan mantapnya, Jihyo menabok punggung Seungwan. Sang cowok Kanada sampai mengaduh kesakitan. "Kita ketinggalan lama, nih! Ngebut, ya!"

"Beneran mau ngebut?"

"Iya, kalau bisa kita nyampe duluan."

"Oke," Seungwan mengegas motornya pelan. "Pegangan."

.

.

.

Tadinya, Jihyo cuma berniat bercanda.

Tadinya.

Tapi ternyata Seungwan benar-benar memacu motornya dengan kecepatan diluar nalar manusia sampai-sampai mereka berhasil menyusul teman-teman lain yang telah berangkat lebih dulu. Para pengemudi motor lain kaget melihat Seungwan menerabas mereka, dan alhasil tergiur untuk membawa motornya dengan kecepatan tinggi juga. Jeongyeon yang merasa tertantang turut melajukan mobilnya dengan ugal-ugalan. Pada akhirnya, bahkan Jisoo yang selalu memegang teguh prinsip safety riding pun ikutan terpancing; takut ketinggalan.

Perjalanan yang seharusnya ditempuh dalam waktu dua jam pun berhasil ditempuh dalam waktu satu jam lebih sedikit. Sebuah rekor MURI yang luar biasa dicapai oleh siswa-siswa tidak waras XII-IA 3.

Sayang sekali, tidak semua orang mengapresiasi baik pemotongan waktu perjalanan tersebut.

.

.

.

"Akhirnya sampai jugaa!" seru Nayeon riang sambil berputar-putar di ruang tamu villa. Di belakangnya, tampak anak-anak lain sibuk mengusung barang bawaan mereka masing-masing.

"Ayok, cewek-cewek tasnya masukin kamar ya." Lisa kembali menjiwai perannya sebagai korlap dan mulai memberi instruksi. "Yang cowok-cowok bantuin bawa sama gelaran di ruang tengah, biar anget nanti pas tidur."

"Bentar, ah," sanggah Jennie, yang sudah nyaman bergelung di atas sofa. "Istirahat dulu capek habis perjalanan jauh."

Eunha mengerjapkan matanya bingung. "Kita 'kan, nggak nyetir, Jen?"

"Ya, 'kan gue nemenin Jisoo nyetir, capek juga lah." Jennie dengan santainya mencomot sebuah snack. Ia menghela napas saat Yerin ikut bersandar di sebelahnya. "Lagian, tadi pada ngebut gitu 'kan gue juga–"

"GILA KAMU YA!"

Belum selesai Jennie bicara, sebuah teriakan menggelegar membelah langit. Semua mata langsung tertuju ke arah kamar mandi, di mana terlihat Jihyo sedang bersandar di tembok, sebelah tangan menutupi mulutnya. Wajah gadis yang biasanya kecoklatan itu pucat luar biasa, menyaingi Dahyun, dengan seluruh tubuh gemetar dan tatapan sengit tertuju pada Seungwan.

Di sebelah Jihyo, terlihat sosok Irene yang tampak seperti mau mati.

Para cewek pun berebutan mendekat.

"Kak Jihyo, kenapa?" Umji bertanya khawatir.

"Kamu mual? Masuk angin?" Yongsun berniat menyentuh Jihyo yang langsung ditepis dengan lemah.

"Mau ke kamar, Ji?" Yerin menawarkan dan Jihyo menggeleng.

"Ini semua," gadis itu terengah, "Gara-gara kau, SON!"

Seungwan angkat tangan, wajahnya semi-merasa bersalah semi-nggak terima. "Aku salah apa?"

"YA BANYAKLAH!" Jihyo teriak lagi dengan background api neraka. "BAWA MOTOR KAYA SETAN KESURUPAN! KAMU PIKIR JALAN BELOK-BELOK MACAM TADI DIBAWA KECEPATAN DI ATAS 100 GABAKAL MASUK ANGIN, APA?! MASIH UNTUNG AKU NGGAK MUNTAH-MUNTAH DI JALAN!"

Semua langsung menatap Seungwan dengan mata menyalahkan, terutama para ladies.

"Kirain dihamilin," celetuk Eunbi asal. Jihyo nyaris lompat untuk mencekik cowok itu.

"Tadi, 'kan, kamu yang minta ngebut." Seungwan berusaha membela diri. "Lagian yang lain juga ikutan ngebut terus yang cewek-cewek pada nggak apa-apa."

"Oh ya?!" Jihyo melipat tangan di depan dada. Ia menunjuk sosok gadis kecil di sebelahnya yang sudah menyerupai tembok saking pucatnya. "Terus ini IRENE kaupikir kenapa kalau bukan mabok juga?!"

Seungwan meringis. Tak jauh dari Seungwan, Seulgi memasang muka bersalah.

"Dan kenapa sekarang MINA ada di dalem kamar mandi dengan background musik 'HUEEK HUEKKK'???"

Seungwan makin menyusut. Di belakang mereka, Momo melotot ke arah Jeongyeon yang pura-pura tidak dengar.

"TANGGUNG JAWAB!" raung Jihyo, disusul suara erangan Mina dari kamar mandi.

Seungwan garuk-garuk kepala. "Yaudah, kamu maunya aku kerokin apa kawinin?"

Jihyo nyaris meledak mendengarnya. "GILA!" makinya, sebelum buru-buru melesat masuk kamar mandi, menggantikan Mina yang keluar dengan wajah kusut bak penguin masuk mesin cuci.

.

.

.

Karena baik sang ketua dan wakil ketua kelas sukses jatuh sakit, acara sore dan malam itu pun dikurangi dari yang rencananya mau hura-hura menjadi acara masak bersama para cowok. Yang cewek-cewek lebih memilih untuk menjaga tiga orang dari mereka yang tewas di waktu bersamaan; Irene dijaga Yeri, Rose, dan Jennie; Jihyo diurus oleh Yongsun, Wheein, dan Nayeon; Mina dirawat oleh Dahyun, Sana, dan Umji. Yerin dan Eunha dipaksa para cowok untuk ikut masak bersama mereka karena takut ada apa-apa.

Di kamar pertama, terlihat Irene sudah nyaman dibawah tumpukan selimut bawaan Jennie. Kondisinya sudah jauh membaik dibanding tadi dan jelas lebih baik dibandingkan dua teman seperjuangannya yang lain.

"Mamih udah baikan?" sebagai anak yang berbakti, Yeri menyodorkan sepiring bubur instan ke hadapan Irene. "Makan dulu, gih, mau disuapin, nggak?"

"Nggak usah, Yer, makan sendiri aja," Irene menjawab dengan senyuman. Dibantu Rose, gadis cantik berambut hitam legam itu duduk di atas kasur dan mulai menyuap makanannya.

"Nih, minumnya." Jennie menaruh segelas air hangat di meja sebelah kasur. "Lu butuh apa lagi, gitu? Mau obat, selimut?"

Irene hanya menggeleng, berusaha untuk menghabiskan makanannya.

"Atau mau dipanggilin Kak Seulgi?" Rose menawarkan.

Irene nyaris tersedak. "Nggak usah. Buat apa."

"Ya, 'kan, suami siaga harus menjaga istrinya." Yeri mengambil piring Irene yang sudah kosong. "Lagian salah Papih juga, kenapa pake kepancing ngebut sama kak Seungwan. Udah tau istrinya mabokan. Masih dibawa kenceng juga."

Irene hanya tertawa kecil, meringsut masuk lebih dalam ke selimutnya. "Nggak apa-apa, kok. Seulgi pasti juga udah tau salahnya. Biarin, kasian dia kalau kalian marahin terus."

"Hmmm, yaudah, deh. Padahal baru mau gue tabok si Seulgi." Jennie menghela napas. "Yaudah, Rene, lu butuh apa lagi? Apa mau tidur, ditinggal ga nih?"

Si gadis yang sedang sakit tersenyum tipis. "Tinggal aja, nggak apa-apa, ya?"

"Oke, sisteur." Jennie mengacungkan ibu jarinya, Rose melambaikan tangan dan Yeri merapikan selimut Irene, sebelum ketiganya keluar dari kamar.

"Samlekum," sapa Jennie.

"Wa'alaikum salam," sapa Irene balik, dan pintu tertutup rapat.

.

Di kamar dua, ada Jihyo, dengan kondisi yang hampir sama dengan Irene: tenggelam di bawah tumpukan selimut. Hanya saja wajahnya masih seputih tembok villa dan masih ada baskom untuk muntahan di sebelah kasurnya.

"Jihyo udah mendingan belum?" tanya Yongsun. Jihyo mengerang.

"Makan mau?" Nayeon menawarkan. Jihyo menggeleng. "Minum?" Gelengan lagi.

Wheein duduk di kaki ranjang. "Kayaknya masih sakit banget, ya. Mau dikerokin atau nggak?"

"Ng-nggak suka dikerok," Jihyo bersuara lirih untuk pertama kalinya malam itu.

"Atau mau dipijetin?" Wheein masih berusaha menjajakan skill-nya.

"Nggak suka juga."

"Di-blonyoh minyak kayu putih mau?"

"Udah, tadi."

"Heran, kok si Mina sama Mamih udah mendingan tapi Jihyo kenapa masih lemes banget gini, ya?"

"Naik motor soalnya dia." Yongsun menggelengkan kepalanya. "Jadinya masuk anginnya paling parah. Yang lain naik mobil, cuma mabok doang. Mana si Seungwan tadi kaya nggak ada remnya pas nyetir."

"Lagian kamunya juga, sih." Nayeon, sebagai self-proclaimed emaknya Jihyo, mulai menyalahkan anaknya. "Naik motor nggak pakai jaket. Harusnya tadi tasmu diambil lagi buat nutupin dadamu. Seungwan, 'kan, kecil. Mau kamu peluk sekenceng apapun juga masih bakal kena angin kamunya."

Jihyo diam saja, tapi mukanya memerah.

Tiga cewek lain di ruangan itu cekikikan melihat Jihyo merona.

"Yaudah, deh, kamu istirahat aja," ujar Nayeon sambil merapikan selimut Jihyo. "Kita diluar, daripada keganggu kamunya. Kalau ada apa-apa panggil aja, kita di ruang tengah kok."

Jihyo hanya mampu mengangguk saat ketiga temannya berpamitan. Ditinggal seorang diri, Jihyo mendecak kesal mengingat segala yang terjadi siang ini.

"Sialan kau Seungwan, nggak takut mati apa, ya? Tau gitu tadi kutinggal aja," gumamnya. Benaknya membayangkan wajah menyebalkan Seungwan, sebelum tiba-tiba beralih menjadi ingatan akan tubuh langsing namun berotot cowok yang (benar kata Nayeon) tadi ia peluk dengan erat karena takut terjatuh dari motor. Rona merah yang sempat hilang dari wajah Jihyo pun muncul lagi. "Dih, apaan, sih!"

Dengan cepat, gadis itu merangsek masuk ke dalam selimutnya.

.

Ada yang sedikit berbeda di kamar tiga. Dibandingkan dengan dua kamar lain yang hanya berisi para gadis, ada seekor cowok Jepang yang ikut numpang di kamar tiga untuk merawat Mina. Momo, sahabat karib Mina yang juga diyakini semua orang akan menjadi sahabat sehidup semati seandainya salah satu dari mereka berani nembak, sudah siap sedia dengan obat-obatan herbal untuk Minanya tercinta.

"Kayaknya kita nggak perlu di sini, deh," Sana berbisik pada Dahyun. "Momo ternyata bisa juga ngurus orang sakit."

"Kukira kak Momo itu goblok, ternyata masih punya otak juga," Dahyun membalas bisikan Sana.

"Kalian kok jahat banget sama temen sendiri?" Umji ikutan berbisik.

Sana dan Dahyun nyengir.

"Mom," Sana akhirnya memanggil Momo. "Kayaknya kita keluar aja, deh, ya. Kamu bisa, 'kan, ngurus Mina sendiri?"

Momo mengangguk, tapi Mina menggeleng. "Aku sama Momo jangan ditinggal sendiri..." katanya lemah.

"Memang kenapa?" Umji menelengkan kepala bingung.

Mina diam saja, sebelum mulutnya bergerak tapi tidak bersuara, "Takut khilaf."

Sana, Dahyun, dan Umji sama-sama memicingkan mata.

"Ye, aku juga mau berduaan sama bebeb Tzuyu keleus," Sana menyergah, sedikit kesal. "Udah, lah, ya, kita tinggal aja. Bhay."

Mina merengek pelan saat ketiga temannya berjalan keluar dari kamar. Umji melemparkan seulas senyum kasihan pada Mina sesaat sebelum dia menghilang di balik pintu. Setelah pintu ditutup, Momo beralih kepada Mina, yang hanya bisa diam dan bersemu-semu saat cowok Jepang itu menuangkan minuman hangat untuknya.

"Ini obatnya diminum dulu." Momo meletakkan satu sachet obat cair di tangan Mina. "Habis itu tidur, biar besok mendingan dan bisa jalan-jalan. Sayang kalau besok masih sakit, 'kan nggak bisa menikmati pemandangan."

"Makasih, Momoring." Mina tersenyum berterima kasih.

"Aku khawatir banget, tau," kata Momo setelah Mina menghabiskan obatnya. "Sempet ngeri tadi, ngeliat Jeongyeon bawa mobil ugal-ugalan kayak begitu. Mana kamu duduk di belakang, padahal kamu, 'kan, kurang nyaman kalau duduk di belakang."

Mina hanya tersenyum simpul, membiarkan Momo berbicara.

"Harusnya tadi kamu naik motor sama aku aja, pasti aku pelan-pelan. Besok pulangnya sama aku, ya? Biar si Tzuyu nebeng Jeongyeon."

"Momoring juga tadi ngebut." Mina tertawa. Momo cemberut. "Tzuyu cerita kok, sama aku. Aku juga tau Momoring paling nggak bisa kalau diajak kebut-kebutan gitu. Pasti kebawa."

"Ya, tapi kalau sama kamu aku lebih hati-hati," sanggah Momo cepat.

"Nanti ketinggalan?"

"Yang penting kamunya sehat."

Melihat Momo yang hanya bisa menggerutu kesal, Mina tersenyum dan mengangkat tangan untuk mengelus lengan sahabatnya. "Udah, Momoring, nggak apa-apa. Lagian Jeongyeon udah minta maaf juga. Besok juga pasti sembuh kok, aku."

Momo menghembuskan napas, kesal karena merasa kalah. "Iya deh, iya. Gih, tidur. Kutungguin sampai beneran tidur."

"Momoring tidur sini aja," Mina menawarkan. "Kasurnya gede, kok."

Sang cowok Jepang langsung batuk-batuk. "Nggak nggak. Nanti dimarahin Mamih Irene. Udah, kamu tidur dulu aja, nanti aku keluar juga kamu nggak sadar."

Mina tersenyum lagi dan menutup matanya. "Selamat tidur, Momoring."

"Iya." Momo terkekeh, mengecup dahi Mina perlahan sampai Mina tertawa kecil. "Selamat tidur, Mitang."

.

.

.

Beberapa jam kemudian

           

Setelah makan malam, game UNO dan beberapa kegiatan tidak bermutu lainnya, akhirnya para siswa SMA Seoul itu semuanya menyerah pada rasa kantuk. Ruang tengah dan ruang tamu sudah seperti kapal pecah–tapi tidak ada yang peduli.

Nayeon menguasai sofa, kepalanya nyaman berbantalkan pangkuan Jeongyeon yang juga terlelap.

Jennie dan Jisoo tidur di lantai, di bawah Nayeon dan Jeongyeon, keduanya mencengkeram bantal Squirtle yang seharusnya digunakan Yeri. Sementara sang pemilik bantal sudah lebih nyaman tidur di dalam pelukan Joy di dekat kamar mandi.

Yuju bertapa di sebelah tivi, dengan Umji dan Dahyun bergelung di dekat kakinya, berbagi selimut. Chaeyoung tidur menempel ke punggung Dahyun sambil berusaha mendapat sedikit kehangatan selimut Umji untuk dirinya sendiri.

Tzuyu ngorok di bawah meja makan (entah bagaimana bisa begitu), sementara Sana tidur di kursi dengan kepala di atas meja.

Yongsun, Byulyi, Wheein, dan Hyejin keempatnya tidak tahan dingin, jadinya mereka tidur di dalam mobil Sowon yang jendelanya dibuka sedikit. Wheein dan Hyejin berbagi kursi belakang sementara Yongsun dan Byulyi saling bersandar di kursi tengah.

Sowon sendiri tidur bersandar di pintu villa. Sang penjaga malam ini tidak sendiri, karena ada Eunha yang berbaring menemani di dalam sleeping bag pink-nya. Di dekat mereka, persis sebelah tempat sampah, ada Yerin yang juga tenang di alam mimpi. Eunbi berada tidak jauh dari Yerin dan menggenggam tangan gadis itu erat.

Menatap teman-temannya yang sudah tidak sadarkan diri, Lisa tersenyum lega. Meskipun masih ada hari esok yang kemungkinan besar akan lebih kacau dibandingkan hari ini, setidaknya tugasnya sebagai korlap sudah setengah selesai. Ia sudah cukup senang kalau teman-temannya bisa tidur dengan nyaman.

Mengingat kalau masih ada tiga orang yang butuh perhatian lebih malam ini, Lisa berjalan pelan agar tidak mengganggu siapapun. Ia mengintip ke kamar yang terdekat dengan ruang tengah, tersenyum saat melihat Mina terlelap di atas kasur. Samar-samar tampak bayangan Momo yang tidur bersandar ke ranjang Mina dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya.

Semoga cepet jadian, Lisa berdoa seraya menutup pintu.

Dia berjinjit ke pintu kamar Irene, sedetik kemudian menutup pintu saat melihat keadaan dua orang di dalam sana. Merasa terenyuh karena Lisa juga ingin diperhatikan segitunya, ia berpindah ke kamar sebelah, dan buru-buru menutup pintu sebelum dia tergoda untuk menggrebek dua orang di dalamnya juga.

Ih, mereka tuh, ya, Lisa membatin sirik. Tadi aja berantem, sekarang kaya begitu. Hati orang emang gapernah ada yang tahu.

Sekali lagi menghela napas, Lisa berbalik–

"Lisa? Belum tidur?"

–dan nyaris menjerit ketika seseorang tiba-tiba menyapanya.

.

.

.

Sebelumnya, kamar satu

 

Suara pintu berderit terbuka membangunkan Irene. Dia memang orang yang mudah terganggu saat tidur, sehingga suara sekecil apapun mampu menariknya kembali dari alam mimpi. Mengerang kecil, Irene beringsut masuk lebih dalam ke selimutnya agar tidak diganggu oleh siapapun itu yang masuk.

"Hyunnie?"

Mata Irene perlahan mengerjap terbuka. Meskipun kelopaknya terasa berat bagaikan telah dilem satu sama lain, ia tidak bisa begitu saja mengabaikan suara lembut itu. Apalagi ketika nama aslinya–Joohyun–dipanggil dengan nada khawatir.

"Hhh... Seul?"

Benar saja. Segurat wajah yang dipenuhi kekhawatiran dan rasa bersalah membayang di depannya. Seulgi menghela napas lega saat Irene berbalik menghadapinya.

"Kamu... ngapain ke sini?" tanya Irene sambil menguap. Sakit kepala dan rasa mualnya sudah berkurang drastis, sehingga dia bisa meladeni kekasihnya itu tanpa harus muntah-muntah lagi. "Belum tidur?"

Seulgi menggeleng. "Mau nengokin kamu. Gimana perasaanmu, Hyun?"

"Lumayan." Irene tersenyum dan kembali memejamkan mata. "Tadi cuma pusing sama mual-mual dikit, kok. Biasa kalau mabuk. Dibawa istirahat juga baikan."

Tangan Seulgi terangkat, membelai surai kelam Irene. Sang gadis menghembuskan napasnya senang ketika jemari Seulgi perlahan memijat sisi kepalanya.

"Maafin aku, ya," Seulgi berbisik dengan penuh penyesalan. "Kamu sampai sakit begini. Harusnya tadi Seungwan aku tabrak aja dari belakang biar berhenti."

"Jangan gitu." Irene tertawa lagi. "Kamu nggak salah, kok, Seul. Dan aku juga ngerti kenapa Seungwan maunya cepet-cepet sampai. Kalau kamu jadi dia mungkin panik juga, kali."

"Kenapa memangnya?"

"Loh, kamu gatau?"

Seulgi menggeleng. Irene terkekeh.

"Ah, masak? Padahal kamu juga suka ribut sendiri kalau kita boncengan naik motor tapi gak bawa tas."

Seulgi diam, berpikir sebentar, baru kemudian tertawa sambil memutar matanya. "Astaga, itu? Iya juga, tasnya Jihyo dibawa aku padahal Seungwan barangnya dimasukin ke bagasi tambahan semua. Pantesan dia ngebut banget."

"'Kan?" Irene menggelengkan kepalanya. "Kalian cowok emang sama aja."

"Setidaknya aku nggak bakal segila Seungwan tadi." Seulgi mendengus. "Kukira blong remnya."

Irene tidak menjawab, hanya mencari tangan Seulgi dan menggenggamnya. Rupanya sang gadis berambut raven masih terlalu mengantuk untuk melanjutkan pembicaraan. Seulgi membiarkan kekasihnya memegangi tangannya sampai ia jatuh tertidur lagi. Tersenyum kecil, Seulgi mengecup bibir Irene dan turut mengistirahatkan kepalanya di sisi bantal Irene.

.

.

Sebelumnya lagi, kamar dua

 

Jihyo sudah tahu sejak awal kalau ada orang yang masuk mengendap-endap masuk kamarnya. Tapi kepalanya masih pusing tujuh keliling dan perutnya melilit setengah mati, jadi dia biarkan saja orang itu mendekatinya. Paling hanya Nayeon, atau Yongsun. Datang untuk mengecek keadaannya. Jujur saja Jihyo tidak tenang tidur karena seluruh badannya sakit semua, tapi dia juga terlalu malas untuk bangun dan mencari kenyamanan di tempat lain.

"Kiw, cewek."

Astaga, ternyata orang ini.

"Jihyo? Ji, bangun dong."

Jihyo tidak bergerak, mengabaikan panggilan-panggilan itu.

"Udah mati, ya?"

"Sembarangan."

Dengan sangat terpaksa dan sangat berberat hati, Jihyo membuka mata, menemui Seungwan yang menatapnya dengan pandangan yang tidak terdefinisikan. Jihyo menggeram pelan dan bergeser.

"Mau ngapain?" tanyanya berusaha galak. Walaupun hanya terdengar lemah karena dia sendiri pun masih tidak punya tenaga. "Berani macam-macam, besok tinggal nama."

Seungwan meringis. "Apa kabar?"

"Menurutmu?" Jihyo mendesis sebal.

"Aku bawain obat." Seungwan menunjukkan satu box obat herbal sachet yang sama dengan yang diberikan Momo untuk Mina. "Udah minum obat belum?"

"Udah."

"Oh." Seungwan menaruh box obatnya dengan nada kecewa. "Gimana sekarang, udah mendingan apa masih pusing?"

"Masih pusing."

"Mau kupijetin? Apa kukerokin?"

"Nggak mau."

"Aku serius lho, ini."

Jihyo menatap Seungwan lelah. "Aku nggak suka dikerokin apa dipijetin. Udah sana, ah, pergi. Aku mau tidur."

"Aku temenin, ya?"

"Nggak usah."

Seungwan terlihat sedih, Jihyo jadi merasa sedikit tidak tega. Tapi dendam kesumatnya karena dibawa terbang naik motor tadi siang masih tersisa, jadi dia menepis rasa tidak tega itu jauh-jauh.

"Maafin aku," Seungwan bicara lagi. Nadanya tulus sepenuh hati. "Tadi aku ngawur banget naik motornya. Niatnya pengen cepet sampai tapi ternyata kamunya malah sakit."

"Nggak dimaafin," Jihyo bergumam sambil berbalik.

Seungwan masih saja berusaha memelas walau sudah dipunggungi. "Kamu suruh aku ngapain, deh, biar kamu maafin aku."

"Kamu mau beliin aku semua merchandise Twice dari awal debut sampai pada nikah juga aku gabakal maafin."

Jihyo tahu kalau Seungwan pasti bete karena diabaikan, tapi dia tidak peduli dan memutuskan untuk berusaha tidur lagi. Udara gunung memang sedang dingin, sehingga Jihyo berusaha mencari kehangatan sebanyak mungkin dengan cara tidur melingkar. Yang ada justru punggungnya jadi sakit dan perutnya mual lagi, tapi setidaknya ia tidak akan kedinginan malam ini.

Jihyo sudah hampir terlelap saat sebuah tangan melingkari pinggangnya.

"INNALILLAHI SEUNGWAN MAU NGAPAIN–"

"Ssh, jangan teriak-teriak nanti aku dibacok sama yang lain!" Seungwan mendesis tepat di samping telinga Jihyo. Cowok itu dengan seenaknya sudah berbaring di belakang Jihyo, dengan lengannya memeluk tubuh gadis itu dan tubuhnya sendiri menempel ke punggung Jihyo. "Aku tahu kamu kedinginan, 'kan? Makanya aku peluk. Aku 'kan, udah kebiasaan di Kanada."

Belum sempat Jihyo protes, Seungwan sudah menyela lagi.

"Lagian, tadi kamu di jalan meluk aku terus. Sekarang gantian aku yang peluk," kata Seungwan sekenanya. Saat Jihyo tidak bereaksi, ia menggumam pelan dan menenggelamkan wajahnya di antara helaian rambut coklat Jihyo. "Udah, sekarang kamu tidur, ya. Aku janji gabakal ngebiarin kamu kedinginan atau tambah sakit lagi sampai besok pagi."

Merasa tidak bisa menolak dan juga tidak memungkiri perasaan nyaman serta hangat yang diberikan Seungwan, Jihyo menghembuskan napasnya keras. Jantungnya benar-benar berdegup kencang sekarang. Anehnya, rasa berputar di kepalanya dan perasaan tidak nyaman di perutnya berkurang banyak semenjak Seungwan datang ke kamarnya.

"Yaudah, terserah." Jihyo tanpa sengaja menyentuh jemari Seungwan di atas kasur, dan cowok Kanada itu langsung mengaitkan jari-jari mereka. "Awas kalau tiba-tiba minggat."

Seungwan tersenyum. "Iya. Nggak akan, kok."

.

.

Beberapa saat kemudian, kembali ke lorong

 

Lisa membeku saat berhadapan dengan sosok itu. Jantungnya berdegup kencang, keringat mengucur deras, tangan gemetar–apakah ini yang dinamakan cinta?

Sosok di depan Lisa mengerjap heran saat Lisa justru bengong dan tidak menjawab pertanyaannya. "Lisa? Kok diam saja?"

Lisa terjingkat, lalu berdeham malu. "Eh, iya, tadi habis ngecek si Mamih, Ji, sama Mina. Takut kalau-kalau tambah parah mereka."

Anggukan.

"Rose juga, kok belum tidur?" tanya Lisa, sudah tidak sekaget tadi.

Gadis di depannya, Rose, menggeleng kecil. "Kurang biasa tidur kalau seberisik ini. Mungkin nanti agak maleman kalau sudah pada diam."

Lisa mengangguk. Memang benar, sih, teman-temannya (terutama yang cowok) kalau ngorok kerasnya melebihi sound system konser artis K-Pop. Bahkan samar-samar Lisa bisa mendengar suara Tzuyu padahal cowok Taiwan itu berada paling jauh dari tempat mereka sekarang.

Luar biasa.

"Ehm, mau tidur di mobil aja, nggak?" Lisa cepat-cepat menawarkan saat Rose menguap. Dia kasihan melihat gadis Australia itu, sepertinya sudah lelah sekali namun kurang nyaman berada di sini. Rose menaikkan alisnya bingung dan Lisa segera menjelaskan, "Lisa ada pegang kunci mobilnya Seulgi. Kalau di mobil, 'kan, sepi. Lebih anget juga. Mau Lisa bukain nggak?"

Rose terdiam sebentar. "Tapi Rose takut tidur sendirian. Lisa temani, ya?"

"B-boleh deh." Tergagap, Lisa merogoh kantung celananya untuk mengeluarkan kunci mobil Seulgi. "Ambil bantal sama selimut, biar enak nanti."

"Oke." Rose tersenyum manis. Ia tiba-tiba berjinjit dan mengecup pipi Lisa sekilas, sebelum berlalu sambil tertawa. "Tunggu sebentar ya, Lisa."

Adalah sebuah keajaiban bahwa Lisa tidak jatuh pingsan saat itu juga.

__________

.

.

.

.

.

__________

"Terus berarti sekarang kalian gimana?"

"Ya, nggak gimana-gimana." Lisa mengangkat bahu, walaupun wajahnya merah merona. "Kita jadi deket aja sekarang."

"Dih, udah di-kiss gitu masih cuma deket, nggak laki kamu, Lis," cibir Seungwan seraya menyandarkan diri ke kursi.

"Kau harusnya ngomong itu ke dia," Lisa membalas sambil mendongakkan dagunya ke arah Momo. Sang cowok Jepang yang sedang menikmati sarapannya di kelas pun menoleh dengan tatapan sadis, tahu kalau sedang digosipi. "Udah bertaun-taun masih ngambang aja hubungannya kayak tai. Oh ya, ngomong-ngomong tentang 'laki'. Kemarin juga waktu makrab memang siapa yang berani-beraninya tidur sekasur berdua, hah?"

Seungwan tersedak ludah sendiri.

Lisa masih nyerocos saja. "Padahal pacar bukan, siapa bukan. Kalau gol baru tau rasa kau."

"Anjir, si geblek asal banget kalau ngomong!" Seungwan menggampar bahu Lisa, lalu menariknya dan mendesis pelan di telinga si cowok Thailand. "Kamu kok bisa tahu, sih?!"

"Ya tau, lah. 'Kan, Lisa korlapnya," Lisa menjawab kesal sambil mengelus bahunya yang sakit. Melihat Seungwan yang panik tidak karuan, Lisa ketawa-tiwi jahat. "Hayoo... kemarin ngapain ajaa??"

Seungwan tambah panik. "Orang kagak ngapa-ngapain! Cuma tidur doang! Si Jihyo juga nyawa setengah di alam barzah emang mau ngapain?!"

"Tapi mau, 'kan?"

"Astaghfirullah, nggak!"

"Hei, lagi pada apa?" Melihat percakapan yang sepertinya lumayan seru, Seulgi berjalan mendekat. "Ngomongin makrab ya?"

Seungwan menggeleng cepat sambil mencubit lengan Lisa agar tidak membeberkan apa-apa ke Seulgi. Lisa mengaduh kesakitan, tapi untung Seulgi yang memang kurang aware terhadap lingkungannya itu tidak sadar dan tetap duduk saja. "Denger-denger anak-anak cewek pada seneng kemarin makrab, terus pada minta ke Hyun sama Jihyo buat bikin makrab lagi nanti kelulusan. Kalau emang pada mau, Hyun oke-oke aja sih. Rencana mau camping tapi ganti di pantai. Nanti kalian ikut ya, biar kita bisa jalan-jalan bareng lagi, hehe."

Mendengar hal itu, Seungwan langsung memijat pelipisnya lelah sementara Lisa tertawa lebar sampai hampir menangis.

"Asiiik.. Lisa dapet tontonan baru pasti, nih, nanti!"

 

 

Fin

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
dtaylorz
#1
Chapter 2: Ngadi-ngadi wendy ngebut XD
infp23
#2
More wenhyo pls!
Momo_Jjang #3
Chapter 2: Ah~ I knew it. Author-nim never disappoints. There’s always a certain moment for every pairings. Definitely a considerate Author. I salute you! You’re the best! Welcome back to AFF~ (((o(*゚▽゚*)o)))♡
infp23
#4
Chapter 2: Are you dead?

no

XD HAHAHAHAHAHAHHA WENHYO FTW
Boiledegg #5
Chapter 1: Itu dari judulnya saya pikir (dan harap) bakal ada (yaelah otak sy kenapa) XD

Jadi kangen teman2 SMA yaoloh. Berasa baca cerpen2 di tabloid gitu thor, makasih lho yah buat yg bahasa. Sekali kali otak gak kyk lagi tes bahasa inggris. XD
RTomato
#6
Chapter 1: I'm wheezing and cringing XD
LOL
Dedek harus tetep polos ya :(
Ini MiMo siapa yg mau nembak duluan ni
Jangan ngegol dulu pak seungwan
Akwkwkwkwwk

Btw, aku doang yg baca judulnya sambil nyanyi ni XD
Cinta satu malaam~
Oh indahnya~
X_Xan_
#7
NOOOO! IT WAS OVER TOO SOON!!! >-< Thanks for this crack author ( is it ok to call u that..? Hehe.)
RTomato
#8
Auto ngakak lha baca awalnya doang
Juliani_
#9
Chapter 1: Ohh sh*t..
I can't..
I can't do this..
I'm sorry but it's to cringe for me..
I'm Indonesian but I can't read this kind of story that using my mother language..
I got goosebumps..
kimchaejigae
#10
Chapter 1: Wenhyo indo :") kupikir ada gituannya thor :( (astaghfirullah otakku). Tapi bayangin mereka jadi anak anak SMA wkwk astaga betapa bobroknya :")