Tiga

Sister Complex

Raekyo berdiri di depan kamar kakak sulungnya. Terlihat jelas dari bahasa tubuhnya, ia merasa bimbang. Sejak makan malam tadi, gadis itu terus berpikir apa yang harus dia lakukan. Dan semua pemikirannya berujung pada satu kesimpulan, ia harus memberi tahu seseorang. Raekyo merasa tidak bijak menyembunyikan kelemahannya, sebab ia tahu seberapa keras usahanya pasti nanti akan ketahuan juga. Lebih baik mengaku sekarang daripada ketahuan di saat-saat yang tidak tepat dan membuat keluarganya malu. Dari sekian banyak pilihan, Raekyo memilih untuk memberitahu Leeteuk, selain karena Leeteuk itu anak sulung, dia juga yang Raekyo percaya. Bukan berarti dia tidak percaya pada grandpa Cho, namun saat ini Leeteuklah yang bertanggung jawab di perusahaan, lebih baik memberitahu pemuda itu. Ini juga menyangkut tugas yang ia berikan saat makan malam tadi.

                Tangan Raekyo terangkat untuk mengetuk pintu ketika sebuah suara mengagetkannya dari belakang.

                “Jangan lakukan itu.” Raekyo berbalik dengan cepat dan menemukan Kyuhyun di sana. “Teuki hyung tidak suka diganggu bila ia sudah masuk kamar. Jadi urungkan saja niatmu.”

                “Oh.” Raekyo mengangguk-angguk. Gadis itu membungkuk sekilas lalu berjalan untuk kembali ke kamarnya.

                “Kau.” Mata Kyuhyun menyipit, “Kau menyembunyikan sesuatu dari kami kan? Apa itu? Kau bisa bilang padaku. Aku jago menjaga rahasia.”

                Memberanikan diri, Raekyo menatap mata sang kakak. “Oppa juga.”

                “Aku ,apa?”

                “Menyembunyikan sesuatu. Mau bercerita padaku? Aku jago menjaga rahasia.” Raekyo sedikit bergidik ketika Kyuhyun menatapnya tajam.

                “Lupakan.” Kyuhyun memutuskan untuk menghentikan pembicaraan dengan adiknya. Ia sedikit kaget adik barunya itu menimpali perkataannya.

                “Kyu oppa. Kita keluarga kan? Seharusnya tidak ada rahasia antara kita kan? Kita harus saling menjaga. Park ahjussi bilang bahwa di luar sana banyak yang mengincar kelemahan kita, banyak yang menginginkan kita jatuh, tapi kalau bersama kita akan kuat. Mungkin terbuka adalah langkah awal.”

                “Kau tadi memanggilku dengan sebutan apa?”

                “Huh?” Raekyo mengerjap bingung.

                “Itu tadi kau memanggilku apa?”

                “Kyu oppa.”

                “Kyu oppa ya, aku suka.” Kyuhyun tersenyum, kemudian ia menatap mata adiknya. Raekyo sadar kini bukan hitam melawan cokelat, tapi cokelat melawan cokelat. Mata ia dan kakaknya sama persis. “Memang banyak yang ingin menjatuhkan kita di luar sana. Lalu bagaimana denganmu? Apa kau sudah menganggap kami keluargamu? Itu juga berlaku untukmu kau tahu, mungkin terbuka adalah langkah awal.”

                Selesai mengatakan itu, Kyuhyun berlalu melewati Raekyo begitu saja. Melewati kamar Kibum lalu masuk ke kamarnya sendiri. Raekyo menatap punggung kakak termudanya diam. Dengan ngeri ia mengakui bahwa sifat dirinya mirip dengan Kyuhyun. Bahkan cara mereka mengalihkan pembicaraan maupun keadaan sama. Raekyo meremat kedua tangannya, sebuah kesadaran merasuki benaknya. Bodoh bodoh bodoh!

                Raekyo duduk di kasurnya merenung. Mengulang kembali percakapannya dengan Kyuhyun. Pemuda itu mencurigai dirinya menyembunyikan sesuatu. Raekyo hanya tidak menyangka Kyuhyun ternyata tidak secuek kelihatannya. Ditambah otak geniusnya pasti bisa menebak suatu situasi dengan mudah. Dan dengan bodohnya Raekyo tadi secara tidak langsung mengatakan bahwa ia juga tahu rahasia pemuda itu. Padahal Park ahjussi sudah memperingatinya untuk tidak membahasnya. Raekyo mengeluh. Ia masuk ke dalam perangkap pemuda itu. Apakah dari awal Kyuhyun tahu dia bersifat sama dengannya hingga dengan mudah masuk perangkapnya? Raekyo mengacak rambutnya frustasi. Belum juga masalah rapat besar itu selesai dia sudah kena masalah baru. Sungguh cara pintar untuk bisa dekat dengan kakak-kakakmu, Rae.

                Raekyo menoleh ketika ponselnya bergetar. Menampilkan ID pemanggil di sana, My Fishy. Raut wajah gadis itu cerah seketika. Sedikit bersemangat, ia mengangkat video-call itu.

                “Oppa!!! Yak! Kenapa baru meneleponku sekarang?!” Raekyo melihat wajah kakaknya tertawa. Gadis itu cemberut seketika.

                “Adik ikanku marah, eoh?”

                “Sedikit.” Raekyo memberikan gesture dengan tangannya. Gadis itu berbaring tengkurap, menyandarkan ponselnya pada bantal sehingga ia tidak perlu pegal memegangnya.

                “Woah, kamarmu besar juga. Wajar sih, ya tidak tuan putri?”

                “Ya, tapi tidak ada ayah, ibu atau oppa di sini. Oppa ke mana saja? Kau menghindariku kan?”

                “Tidak, tidak. Serius. Aku tadi ada urusan mendesak bersama Eunhyuk. Jadi ya begitulah.”

                “Jadi oppa lebih memilih Eunhyuk oppa daripadaku? Hebat sekali kau Lee Donghae!” Raekyo menunjuk-nunjuk wajah sang kakak di layar ponsel. Pemuda itu kembali tertawa.

                “Bagaimana di sana? Semua baik padamu kan?”

                “Hm.” Raekyo mengangguk, menolak berkomentar lebih jauh. Donghae mengerutkan keningnya, ia melihat keraguan adiknya bukan anggukannya.

                “Hei, semua baik-baik saja?”

                “Ya, oppa. Kau tidak usah khawatir. Adikmu ini masih sanggup mengatasinya.”

                “Ya itu baru adikku! Terus semangat seperti itu. Sekali lagi kau menunjukkan wajah ragu-ragu lagi padaku akan kujemput pulang saat ini juga!”

                “Pulang ke mana oppa? Ini rumahku sekarang. Tempatku pulang ya ke rumah ini.” Raekyo tersenyum ketika melihat wajah kakaknya nampak kesal. Menggoda jendral ikan itu lumayan juga.

                “Yah, walau begitu kau itu tetap adikku satu-satunya, mau bagaimanapun kau itu Lee Raekyo. Setidaknya bagiku.”

                “Ne. Bagiku kau juga oppa satu-satunya. Kau satu-satunya oppa yang kusayang. Saranghae Donghae oppa.” Raekyo membuat tanda hati diatas kepalanya. Tawanya meledak ketika melihat Donghae tersipu malu. Kakaknya tidak berubah, selalu seperti itu. Ya oppa, hanya kau satu-satunya oppa  yang kusayang, oppa Cho-ku ada tiga jadi mereka terpaksa berbagi, tapi oppa Lee ku hanya ada satu.

                “Kau sudah makan?”

                “Ne. Oppa sudah? Ayah dan ibu?”

                “Ya. Mereka baik-baik saja. Ibu memasak masakan andalannya. Ayah sampai nambah 2 mangkuk nasi. Aku juga.” Donghae tersenyum. Mereka tidak baik-baik saja. Ibu menangisimu setiap waktu, ayah juga walau tidak ada air mata yang keluar. Jangankan untuk makan, duduk di meja makan tanpa kehadiranmu saja kami tidak sanggup. Kami di sini tidak baik-baik saja. Kembalilah, Rae.

                “Benarkah? Aku kangen masakan ibu. Padahal belum juga sehari aku di sini. Ah, oppa, Senin nanti kau kuliah kan? Kita bertemu di tempat biasa? Aku ingin meminta bantuanmu.” Raekyo memandang kesal tumpukan kertas yang kini berceceran di kasur tertendang kakinya.

                “Mereka belum tahu? Kenapa kau tidak memberitahu mereka?”

                “Nanti oppa. Aku hanya belum siap. Kau mau membantuku kan? Jeball oppa, sekali ini saja. Tidak apa-apa ini yang terakhir.”

                “Jangan bilang begitu. Aku akan siap membantumu kapanpun. Baiklah. Bawa saja alat perekamnya bersamamu.” Raekyo berbinar senang. Ia melanjutkan obrolannya dengan sang kakak. Sama sekali tidak menyadari seseorang baru saja berlalu dari depan pintu kamarnya dengan tangan terkepal kuat.

 

* * *

 

                Keesokan harinya cahaya pagi menerobos masuk ke dalam kamar serba biru itu. Namun tidak sedikitpun membuat sang empunya kamar terbangun. Gadis itu masih saja terlelap dalam mimpi indahnya, tidak juga tersadar pintu kamarnya dibuka seseorang.

                “Non, nona Raekyo. Bangun non.” Seorang pelayan menggerakan tubuh gadis itu perlahan. Usahanya sedikit memberikan hasil,

                “Ehm? Nanti bu, lima menit lagi. Ibu bangunkan Hae oppa dulu saja.” Gumaman itu terdengar jelas dari balik selimut.

                “Nona? Bangun non, tuan besar ingin sarapan bersama.” Raekyo berusaha keras memproses kalimat yang masuk ke pendengarannya. Nona? Tuan besar? Sarapan bersama? Seketika matanya terbuka. Gadis itu duduk dalam sekejap mata membuat sang pelayan mundur karena kaget.

                “Ah, mianhe.” Raekyo meringis malu. Ia menyangka masih berada di kamarnya sendiri di keluarga Lee bersama dengan ibunya yang biasa membangunkan. Pelayan itu tersenyum maklum, membungkuk sekilas lalu keluar kamar. Raekyo segera bangun dan berjalan ke kamar mandi, tidak lupa menyambar handuknya yang tergantung. Ia menggeleng perlahan, akan jadi catatan sejarah dan ejekan ibunya bila ibunya tahu ia langsung mandi tidak sampai lima menit setelah membuka mata. Ini hidup barunya dan Raekyo tidak mau ambil resiko dicap sebagai pemalas.

                Raekyo keluar kamar tidak lama kemudian, melewati ketiga kamar kakaknya yang berjajar di sebelah pintu kamarnya. Memutuskan tidak peduli, gadis itu turun ke bawah menuju meja makan. Hanya ada tiga orang di sana. Bahkan para pelayan yang biasanya sedikit-sedikit terlihat keberadaannya tidak ada sama sekali. Park ahjussi juga tidak terlihat di mana-mana. Begitu pun dengan Kyuhyun, pemuda itu tidak ada di sana. Ah, dia pasukan bangun siang juga rupanya. Raekyo tersenyum berpikir mendapatkan teman.

                “Pagi.” Grandpa Cho tersenyum padanya, Leeteuk membalas sapaannya mengangguk, tatapan matanya masih terdapat pada koran ditangannya sementara tangan satunya memegang setangkup roti yang terus ia sodorkan ke dalam mulutnya. Kibum? Pemuda itu menoleh pun tidak. Ia sibuk mengaduk susunya di gelas dengan gerakan berulang yang konstan. Nampak sedang banyak pikiran. Sedikit terkejut, Raekyo melihat kantung mata Kibum menghitam. Ia kurang tidur dan nampak kelelahan, apa yang dilakukannya semalaman?

                Raekyo kembali duduk di sebelah Leeteuk, memandang ke depan, ke kursi kosong yang harusnya ditempati Kyuhyun. Ia mengambil jatah sarapannya dan memakan dalam diam. Mataya lagi-lagi mengamati kursi Kyuhyun.

                “Kau mencari Kyuhyun?” sontak Raekyo merasa pipinya panas, ia malu karena ketahuan kakeknya.

                “Ah, ke mana Kyuhyun oppa?”

                “Dia sedang tidak….”

                “Dia terbiasa bangun siang.” Kibum memotong begitu saja ucapan grandpa Cho, bukannya marah, pria tua itu malah terlihat sedikit merasa bersalah, “Untuk apa kau peduli?”

                “Kibum-ah.” Perhatian Leeteuk teralih mendengar ucapan adiknya yang kurang sopan itu. Tegurannya hanya dijawab dengusan oleh Kibum.

                “Dia tidak perduli pada kita hyung. Bahkan sepertinya menganggap kita pun tidak.”

                “Cho Kibum! Jaga bicaramu!” Kibum sadar bila kakaknya sudah menyerukan nama lengkapnya berarti ia sudah keterlaluan. Tapi, dirinya sudah terlanjur marah untuk peduli.

                “A-aku tidak bermaksud begitu.” Raekyo bingung sendiri. Dia mengingat-ingat kelakuannya kemarin. Seingatnya tidak ada yang menunjukkan perlawanan atau penolakan pada keluarga barunya.

                “Diam saja. Jangan berusaha mencari alasan. Kalau kau memang muak di sini dikelilingi kami para Cho, kembalilah pada Lee-mu!! Aku selesai!” Kibum beranjak begitu cepat, tidak menghiraukan panggilan Leeteuk atau kakeknya. Leeteuk sudah berdiri siap menyusul adiknya bersamaan dengan Raekyo juga yang berdiri.

                “O-oppa bolehkah aku saja yang menyusulnya?”

                “Ya, kau boleh Rae.” Grandpa Cho menginterupsi tiba-tiba. “Teuki-ah, lebih baik kita segera berangkat. Kau ada meeting pagi ini bersamaku juga kan?” Grandpa Cho menggeleng ketika Leeteuk akan menyanggah. Walau terlihat terpaksa pemuda itu mengangguk pasrah. Leeteuk memberikan tatapan khawatir pada Raekyo lalu menyusul sang kakek yang sudah berjalan ke pintu. Menghela nafas, Raekyo menyusul Kibum.

                Kibum tidak ditemukan di kamarnya. Raekyo menatap rumahnya, ada beberapa pintu lagi yang bisa ia buka namun ia ragu. Ia tidak tahu ruangan-ruangan itu milik siapa dan Raekyo tidak mau terlihat lancang. Memutar pandangannya, dan Bingo, Raekyo menemukan siluet kakaknya di taman belakang. Tanpa membuang waktu Raekyo menyusul ke sana.

                “Bum oppa, kau baik-baik saja?”

                “Kau.” Kibum sedikit terkejut melihat Raekyo menyusulnya, “Untuk apa kau ke sini? Pergilah aku sedang tidak ingin meilhatmu.”

                “Ani, aku tidak akan pergi sebelum oppa memberitahuku apa kesalahan yang sudah kuperbuat padamu.” Raekyo tidak ragu membalas tatapan pemuda es di depannya. Lama mereka bertatapan hingga Kibum memutuskan kontak mata mereka. Pemuda itu kembali memunggunginya. “Oppa, aku tidak pernah merasa tidak menganggap kalian. Aku juga tidak pernah mengatakan hal semacam itu. Kenapa oppa menuduhku? Oppa yang paling dingin padaku ketika Park ahjussi mengenalkanku. Dari kalian bertiga oppa yang paling tidak mengindahkan keberadaanku, oppa tidak suka padaku. Jadi ini caramu menyingkirkanku?”

                “Aku mendengarmu. Semalam. Kau bicara dengan satu-satunya oppa yang paling kau sayang. Satu-satunya oppa yang kau miliki. Tidak mengindahkanmu? Tidak menghiarukan keberadaanmu? Bukankah dirimu juga begitu? Kau adik kami bertiga tapi kau juga tidak mengakui keberadaan kami.” Suara dingin Kibum menyentak Raekyo.

                “Kau menguping? Kau memata-matai semua kegiatanku di kamarku?” Suara Raekyo meninggi.

                “Untuk apa kami memata-mataimu?! Jangan asal bicara! Grandpa meminta tolong padaku untuk memberitahumu bahwa tanggal pasti rapat besar sudah ditentukan. Dan aku mendengar semuanya. Mendengar ucapan gombalmu dengan kakakmu!!” Kibum berbalik dengan cepat. Raut wajahnya marah. Raekyo ketakutan namun ia tidak suka kesalahpahaman ini terus berlanjut. Ya, Raekyo menyadari ini semua hanya salah paham. Raekyo menghembuskan nafasnya, raut wajahnya melunak.

                “Ajari aku oppa.” Kibum mengernyit mendengar nada pelan gadis di hadapannya, “Bagaimana cara aku menyayangi kalian hanya dalam satu malam? Aku berkata begitu pada Hae oppa karena selama enam belas tahun ini hanya dia satu-satunya kakak yang aku tahu, yang keberadaannya sungguh nyata dan terjangkau olehku. Dia yang selama ini menjagaku, menyayangiku, bertindak sebagai layaknya seorang kakak. Sedangkan kalian, belum genap seminggu aku mengetahui keberadaan kalian, kita kenal pun baru sehari. Dan sejujurnya kalian juga tidak memberikan usaha untuk mengenalku lebih jauh. Perkenalan kita hanya sebatas memberikan nama masing-masing, bertatap muka, makan malam dan sarapan bersama. Tapi kalian tidak berusaha dekat denganku, berusaha mengenalku. Walau kalian baik, walau kalian menjawab pertanyaanku namun hanya sebatas itu. Bagaimana bisa aku mengakui kalian sebagai kakakku bila sikap kalian saja tidak seperti itu terhadapku. Apa itu adil? Kau marah karena aku menganggap Hae oppa satu-satunya kakakku padahal kami tidak berhubungan darah, tapi dia memang satu-satunya kakak yang aku tahu saat ini. Sadarkah oppa interaksi kita dari kemarin hanya sebatas kenalan bukan saudara? Jadi tolong ajari aku, ajari aku langsung menganggap kalian bertiga kakak yang paling aku sayang di dunia hanya dalam semalam. Karena aku tidak bisa.”

                Kibum tertegun. Gadis ini, gadis di hadapannya, tidak takut pada tatapan dinginnya. Pada ucapan pedasnya. Raekyo, gadis itu tahu Kibum hanya salah paham padanya dan dengan berani menjabarkan akar permasalahan dengan penjelasan paling masuk akal yang tidak pernah Kibum pikirkan sebelumnya. Dia dengan berani membalas tatapan mata Kibum walau pemuda itu tahu sebenarnya Raekyo ketakutan setengah mati. Terbukti dari kedua tangan gadis itu yang saling meremat. Kibum jadi teringat kembarannya, Kyuhyunnya. Grandpa memang pernah bilang kebiasaan Raekyo sama dengan Kyuhyun namun baru kali ini Kibum percaya.

                “O-oppa mianhe. A-aku tidak bermaksud kurang ajar atau lancang. A-aku hanya…” Raekyo menunduk ketakutan, seolah baru tersadar dengan semua ucapannya. Dirinya sendiri tidak tahu ia punya keberanian dari mana mengutarakan semua itu. Yang ia tahu ia tidak mau membiarkan kakaknya, kakak yang paling tidak menerimanya itu semakin terlarut dalam salah paham yang mengakibatkan hubungan mereka ujungnya menjadi semakin tidak baik.

                “Tuan muda, Tuan Hangeng sudah datang.” Tiba-tiba suara seorang pelayan menginterupsi keduanya. Kibum memandang Raekyo sedikit lebih lama lalu berlalu masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Raekyo terpaku di sana sendirian merutuki dirinya sendiri. Dia pasti membenciku sekarang.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
LMoria
#1
Please read my story if you have time <3
LMoria
#2
I hope you will continue this asap <3
LMoria
#3
I love your story omgggg
Awaefkyu1311 #4
Chapter 7: yeayyy cepat skali updatenya... makin kecanduan baca ff ini,. jd sikap Rae dan kyu itu 11:12 ya,. apa jd nya mreka klo kerja sama jahilin kakak mreka..hehee,. aku penasaran sama masing masing rahasia yg mereka,.. smoga bisa update cpet lg heheee...
Awaefkyu1311 #5
Chapter 6: yeaayy update..!!, btw alur'a cepet banget udah 8 bulan kemudian aja..pdahal aku pengen liat interaksi kyu stelah bangun dr pingsannya sma ryaekyo,. terus rahasia mereka masing" gimana? sudah saling terus terang kah??,. lanjut pleasee
Awaefkyu1311 #6
Chapter 5: aduh aku suka bgt smaa ceritanya... tp aku agak kesusahan untuk komen disini, setelah sekian lama akhirnya tau jg cara komen disini,.. knpa gak coba pub di watpadd aja? lebih mudah baca dan kasih komentar'a,.. *saran aja hehehe... ttep smangat lanjut yaaaa... sangat ditunggu...