Dua

Sister Complex

“Aku pulang.” Suara berat Donghae bergema memasuki rumahnya. Kening pemuda itu berkerut, mobil ayahnya sudah terparkir rapi di garasi rumahnya namun tidak nampak satupun orangtuanya. Donghae melepas sepatunya, meletakkannya ke dalam rak sepatu lalu melangkah ke dalam rumah. Suasana rumah nampak sepi, ibu dan ayahnya tidak nampak di mana-mana, ruangan nampak gelap, orangtuanya bahkan tidak menyalakan lampu rumah. Donghae meraba-raba dinding rumahnya, berusaha mencari saklar lampu, seketika ruangan terang benderang. “Bu? Yah?”

                Langkah Donghae terhenti di depan dapur. Ia menatap dapur yang kini kosong itu dengan murung. Biasanya jam-jam sore begini, adiknya sedang menguasai dapur kecil mereka, sibuk dengan adonan kue hasil percobannya sendiri. Harum kue yang baru dipanggang pasti menguar memenuhi rumah mereka. Donghae melangkah memasuki dapur, berharap suara kesal adiknya terdengar. Gadis itu selalu marah bila salah satu dari mereka datang dan memasuki dapur ketika ia sedang menguasai di sana. Tapi kini dapur itu kosong, tidak ada suara mixer berputar, tidak ada harum kue baru dipanggang, terlebih tidak ada sosok adiknya di sana. Donghae mengambil gelas, mengisinya dengan air lalu meneguknya buru-buru. Sekarang bukan saatnya ia bernostalgia dan berharap hal yang mustahil, ada kegiatan yang lebih mendesak sekarang, di manakah keberadaan orangtuanya?

                Tiba-tiba suara isakan dan gumaman lirih terdengar sayup-sayup. Donghae tahu itu suara dari kamar orangtuanya dan pemuda itu juga tahu siapa yang menangis. Pemuda itu mendekat ke arah kamar orangtuanya, tangannya ragu-ragu untuk membuka pintu.

                “….. berhentilah menangis yeobo, nanti Donghae dengar.” Suara sang ayah terdengar dari kamar. Donghae bisa menebak mungkin ayahnya sedang merangkul sang ibu sambil menepuk-nepuk pundaknya, atau mungkin sang ibu kini tengah menangis di pelukan ayahnya.

                “Tapi, tapi… putriku… putriku… putri kita yeobo. Hiks. A-aku tidak bisa, kenapa rasanya seperti kita menjual Raekyo?”

                “Kita tidak menjualnya! Berhenti bicara omong kosong seperti itu! Kita mengembalikannya pada keluarga yang lebih berhak dari kita. Kalaupun sekarang Tuan Cho memberiku pekerjaan hingga keluarga kita sekarang lebih baik dalam keuangan, jangan anggap karena kita menjual putri kita, kita tidak pernah meminta Tuan Cho untuk melakukan itu. Kita harus bersyukur yoebo, hutang keluarga kita bisa kita lunasi perlahan, juga uang kuliah Donghae kini terjamin.”

                “T-tapi, seharusnya kita langsung pindah saja ketika Tuan Cho menemukan kita. Harusnya….”

                “Ssst, kita tidak boleh egois. Bayangkan kita di posisi mereka, kita juga pasti ingin anak kita kembali pada kita kan? Jangan menangis lagi  yeobo, kita sudah berjanji, kita harus kuat di depan Donghae. Dia… Dia yang lebih menderita dari kita.”

                Donghae tidak lagi mendengarkan pembicaraan orangtuanya. Pemuda itu lebih memilih melangkahkan kaki ke ruang tengah, terduduk di hadapan aquarium miliknya. Aquarium itu begitu indah, terdapat tanaman air, batu-batuan, figur malaikat yang mengeluarkan gelembung udara dari tongkat bintangnya, dan juga jangan lupakan ikan-ikan hias yang berenang ke sana kemari. Donghae mendekatkan wajahnya pada kaca aquarium, membuat penghuni aquarium itu berpencar ketakutan.

                “Kalian juga merindukannya kan? Orangnya atau juga kuenya?” Donghae tersenyum kecil mengingat adiknya itu selalu menyisihkan sepotong kecil kue buatannya dan mencemplungkannya begitu saja ke dalam aquarium, membuat Donghae selalu memekik panik dan menyaring potongan kue itu keluar aquarium. Gadis itu selalu beralasan bahwa ikan-ikannya juga harus mencicipi kue buatannya, tidak pernah berpikir tindakannya bisa membunuh mereka.

                Donghae menghela nafas lalu menjatuhkan dirinya di sofa, menghentikan aksinya membuat takut peliharannya. Sebutir air mata menetes dari matanya, dia merindukan sang adik. Padahal baru hari ini adiknya itu kembali ke keluarga kandungnya. Donghae selalu berpikir keluarga mereka sempurna, walau tidak dalam hal keuangan namun sisanya adalah kesempurnaan. Orangtuanya jarang bertengkar, tidak selingkuh, memberikan kasih sayang seimbang pada dia dan Raekyo, diapun tidak merasa membuat masalah yang pelik, mungkin hanya kenakalan remaja biasa seperti bolos sekolah namun tidak lebih dari itu. Adiknya? Juga sama, mereka baik-baik saja selama ini sampai pria tua yang mengaku kakek kandung Raekyo itu datang dan dengan cepat mengganggu keluarga kecilnya.

                Donghae ingin memaki ingin membentak orangtuanya yang dengan mudah melepaskan adiknya, tidak sekalipun bertanya pendapatnya, seolah Donghae akan mengikuti saja semua keputusan orangtuanya. Donghae ingin menyalahkan orangtuanya, kenapa tidak memberitahu dirinya sejak awal bahwa Raekyo bukan adik kandungnya, jadi pemuda itu sempat membatasi diri, sempat menjaga hatinya agar tidak menyayangi adiknya dengan seluruh relung hatinya. Kini ketika adiknya pergi dari hidupnya, seluruh hati Donghae terasa terbawa bersama gadis itu, menyisakan Donghae dengan tubuh kosongnya.

                Donghae merasa ponsel di kantungnya bergetar. Ia mengambil dan membuka ponselnya. Puluhan panggilan tidak terjawab juga pesan-pesan lainnya berasal dari adiknya. Memintanya untuk balik menghubunginya atau membalas pesannya. Pemuda itu mematikan ponselnya lalu melemparkannya begitu saja ke sofa di sampingnya. Donghae berusaha menahan diri, menghubungi Raekyo saat dirinya belum tenang bisa berakibat fatal. Pemuda itu takut ia tidak bisa menahan diri dan menjemput adiknya pulang saat ini juga. Pemuda kekanakkan itu menyenderkan kepalanya lalu menutup matanya, ia harus mulai membiasakan diri. Mulai saat ini tidak ada lagi Lee Donghae si anak sulung, Lee donghae si anak pertama, Lee Donghae sang oppa, ia kini hanya sendirian. Lee Donghae si anak tunggal.

 

* * *

 

                Raekyo cemberut sambil menatap ponselnya. Ponsel kakaknya tidak aktif, sesudah puluhan teleponnya tidak diangkat, pesannya tidak ada yang dibalas, kini kakaknya itu mematikan ponselnya. Apa sebegitu kesalnya sang kakak pada dirinya? Atau kakaknya itu sudah melupakan dirinya? Raekyo menghela nafasnya. Jebal jangan seperti ini oppa, kau yang seperti ini membuatku ingin menyerah saat ini juga, membuatku ingin berlari pulang ke rumah kita, bergelung nyaman dalam kehangatan kau, ayah dan juga ibu. Gadis itu menutup matanya, mencoba menekan kembali buliran air mata yang sudah siap ia tumpahkan.

                Tiba-tiba kening gadis itu berkerut, ada sesuatu familiar pada bau yang barusan tercium oleh hidungnya. Seketika matanya terbuka lebar, dan Raekyo mengerang, ia menatap adonan pancakenya di atas panci nampak menghitam di bawahnya. Raekyo mengerucutkan bibirnya kesal, dengan sekali sentakan ia membuang pancakenya yang gosong itu. Ini semua gara-gara oppa tidak menjawab teleponku! Awas saja kalau jendral ikan itu berani meminta kue buatanku!

                Suara oven berbunyi membuat Raekyo menoleh. Kue keringnya sudah matang! Gadis itu melupakan sejenak pancake gosongnya dan dengan riang beralih ke oven, dibukanya perlahan, wangi semerbak kue yang baru matang langsung menguar, dengan hati-hati gadis itu menarik loyang kuenya lalu menaruhnya di pantry. Matanya berbinar bangga, kuenya nampak cantik dan sempurna, hanya tinggal menambah sedikit hiasan lagi di atasnya.

                “Harum sekali, nona.” Seorang pelayan yang Raekyo ingat mendampingi grandpa Cho di gazebo belakang rumah ketika dirinya baru saja datang ke rumah ini tiba-tiba menghampirinya. Raekyo hampir saja mengeluarkan kekesalannya karena kegiatannya diganggu ketika ia sadar ia harus tahu diri. Ini bukan dapur rumahnya, ia belum juga sehari di rumah ini. Ia harusnya berterimakasih karena sudah diijinkan mengacak-acak dapur ini, sebab Raekyo berpikir ia harus melakukan sesuatu yang familiar agar betah berada di rumah ini. Salah satunya dengan menjalankan hobinya, membuat kue. “Seharusnya nona tidak perlu repot-repot, berikan saja resepnya pada chef di rumah ini, ia akan membuatkannya untuk nona.”

                “Ah, ne ahjumma. Aku senang membuat kue, itu hobiku.” Raekyo meringis ketika ahjumma itu tersenyum padanya lalu mulai mencuci semua peralatan memasak yang gadis itu tumpuk begitu saja di wastafel, “Maaf membuat dapur berantakan. Biar aku saja yang mencuci, tadinya kupikir akan kucuci setelah semuanya selesai.”

                “Tidak perlu sungkan, nona, Ini memang tugasku. Nona lanjutkan saja membuat kuenya.”

                “Oh, ehm, baiklah. Ah! Ahjumma, ini baru saja matang, kau mau mencicipinya?” Raekyo mengambil sepotong kue di loyang, meniupnya perlahan, lalu menyodorkan pada sang pelayan. Wanita itu terkejut lalu gugup seketika.

                “Non, saya tidak….”

                “Ayo ahjumma, kau tidak mau mencicipinya? Apa penampilannya seburuk itu? Aku tidak menaruh racun ke dalamnya. Ayolaaah, buka mulutmu, aaaaa.” Sedikit memaksa, Raekyo berhasil menyuapkan kue itu. Ia menanti dengan cemas, ketika binar nampak di mata sang ahjumma Raekyo memekik senang, gadis itu melonjak-lonjak sambil menepuk tangannya.

                “ini enak, non. Terima kasih.” Sang ahjumma mengacungkan kedua jempolnya membuat Raekyo tertawa, “Tapi maaf, bisakah nona tidak melakukan hal seperti tadi lagi? Nona tidak boleh menyuapi saya seperti tadi lagi.”

                “Wae? Apakah aku membuat ahjumma berada dalam masalah?”

                “Tidak, tidak, non. Tapi tidak sepantasnya nona menyuapi pelayan.” Sang ahjumma tersenyum melihat kepanikan gadis di hadapannya. Polos sekali, pikirnya.

                “Ah, begitu ya…”

                “Ini sudah selesai, non?” Ahjumma itu menunjuk kue yang masih berada di loyang, mencoba mengalihkan perhatian Raekyo. Melihat wajah murung gadis itu karena ucapannya membuat ahjumma itu jadi tidak enak hati.

                “Ah, benar juga, tinggal kuhias saja.” Raekyo kembali bersemangat.

                “Wah, harumnya sampai ke seluruh penjuru rumah.” Suara familiar Park ahjussi membuat Raekyo menoleh. Seolah lupa dengan peringatan ahjumma tadi, Raekyo kembali dengan bersemangat mengambil kuenya lalu menyuapkannya pada Park Ahjussi. Pria itu agak terkejut namun menerima dengan senang hati. Lagi-lagi pujian yang ia dapat membuat Raekyo bertepuk tangan gembira. Raekyo tanpa sadar terus berceloteh riang mengenai rencananya menghias kue-kuenya itu. Diam-diam ahjumma dan Park ahjussi saling memandang lalu mengulum senyum.

                “….Nah, sekarang tinggal ditambahkan cream masak.” Raekyo kini sibuk membuat penghias kue keringnya, ia mengambil sendok lalu mencicipi dua kotak putih di hadapannya. Kotak yang satu terasa seperti susu, sedangkan yang satunya ialah bahan yang ia cari. Raekyo mengangguk puas, menaruh kembali kotak pertama ke kulkas lalu membuka tutup kotak kedua dan menaruhnya ked ala mangkuk.

                “Non itu lucu sekali, untuk apa dicicipi dahulu? Kan sudah ada tulisan besar di depan masing-masing kotak non. Nona tinggal mengambil kotak bertuliskan Cream.” Ahjumma yang baru selesai mencuci tumpukan piring di wastafel terlihat memandang Raekyo dengan geli. Untungnya tidak menyadari tubuh Raekyo yang tiba-tiba membeku.

                “Ah… itu…” Park ahjussi yang sedang mengamati gadis itu ikut memandang tertarik. “Ah, anu ahjumma, itu sudah jadi kebiasaanku. Sebab… sebab ibu suka menggunakan kembali kotak bekas susu dan mengisinya dengan bahan lain biar hemat. Ya, begitu.”

                “Ooh.” Untunglah kedua orang dihadapannya percaya. Raekyo merasa alasannya sangat tidak masuk akal namun apa lagi yang bisa ia katakan?

                Suara mobil datang mengalihkan perhatian ketiganya, Park ahjussi diikuti sang ahjumma buru-buru merapikan pakaian mereka lalu berlari keluar. Raekyo tahu saat itu juga, kakak-kakaknya sudah pulang. Gadis itu mulai panik, bagaimana ia harus menyapa mereka? Apakah lebih baik ia memperkenalkan diri lebih dahulu? Raekyo melihat dirinya memakai celemek, buru-buru ia lepas celemek itu dan melipatnya. Ia rapikan baju dan rambutnya sekenanya dengan tangan. Gadis itu memandang sebentar pantulan dirinya di ponselnya, memastikan wajahnya tidak tercoreng tepung adonan. Kegiatannya membuat Rekyo tidak sadar sudah ada empat orang berdiri di depannya. Posisi mereka terpisahkan oleh meja pantry.

                Raekyo memandang keempat orang di depannya. Sang ahjumma tersenyum menyemangati lalu berlalu dari sana. Park ahjussi nampak tersenyum geli. Lalu di belakang pria itu, berdiri dua pemuda yang Raekyo lihat dalam foto yang ditunjukkan ibunya beberapa hari lalu. Kakaknya yang kembar.

                Di sebelah kanan berdiri pemuda yang tengah menatap dirinya tanpa minat. Tubuhnya tinggi dan tegap, memang harus Raekyo akui tekesan dingin dan tidak bersahabat. Dia pasti Cho Kibum, kembar yang tertua. Di sampingnya berdiri Cho Kyuhyun, adik kembarnya. Pemuda itu berkulit lebih pucat dari Kibum, matanya fokus pada PSP putih yang sedang ia pegang dengan kedua tangannya. Mulutnya sesekali bergumam tidak jelas. Tapi satu harus Raekyo akui, kedua kakak kembarnya itu sangat tampan. Tampan dalam artian berbeda, Kibum dengan dinginnya dan Kyuhyun dengan aktifnya.

                “Nah, tuan muda, kenalkan ini nona Raekyo. Kakek kalian sudah pernah membahas tentangnya kan? Mulai hari ini ia akan tinggal dengan kita. Dia adik kalian.” Raekyo bingung ketika keduanya tidak bereaksi. Kibum hanya menatap dirinya sedangkan Kyuhyun masih sibuk dengan gamenya. Ia mulai gelisah sekarang, apa yang harus ia perbuat?

                “Perkenalkan, aku… Lee Raekyo-imnida.” Raekyo membungkuk pada kedua pemuda di hadapannya. Kibum tidak menjawab sedangkan Kyuhyun bergumam tidak jelas. “Ah, K-kibum-ssi, Kyuhyun-ssi, aku membuat kue, apa kalian mau mencobanya?” Merasa harus memecah keheningan yang ada, Raekyo mengangkat loyang kuenya dan menyodorkan dengan ragu-ragu. Gadis itu mengigit bibirnya, menggumamkan doa dalam hati agar selamat dari situasi canggung ini.

                “Park ahjussi, bilang padanya untuk memperkenalkan diri dengan benar. Dia seorang Cho sekarang. Jangan sampai dia masih memperkenalkan diri dengan marga itu saat di rapat besar nanti. Dan bilang padanya untuk menghilangkan suffix –ssi itu. Grandpa mengatakan dia adik kami, bilang padanya untuk berlaku seperti itu. Mana ada adik yang memanggil kakaknya dengan formal seperti itu.” Suara dingin Kibum membuat Raekyo tersentak. Kibum kembali menatap Raekyo lalu berlalu dari sana. Menaiki tangga menuju ke kamarnya. Park ahjussi menatap Raekyo dengan pandangan seolah-olah meminta maaf. “Park ahjussi!”

                “Saya ke atas dulu, nona.” Park ahjussi buru-buru ke atas, menghampiri suara Kibum yang menanggil dirinya.

                Kini tinggal Raekyo dan Kyuhyun di sana. Pemuda itu masih saja asyik dengan gamenya sedangkan Raekyo masih berdiri mematung sambil memegang loyang kuenya. Gadis itu bingung harus bersikap bagaimana.

                “Beri aku satu.” Tiba-tiba suara merdu menerpa telinga Raekyo.

                “Ne?”

                “Itu, apapun yang kau buat beri aku satu. Cepatlah, aku harus mandi dan berganti pakaian.” Dengan kaget Raekyo menyodorkan loyang kuenya lebih dekat pada Kyuhyun.

                “Kau punya tangan?”

                “Ne?”

                “Suruh tanganmu ambil kue itu, lalu masukkan ke mulutku.”

                “Ne?”

                “Kau itu punya mata tidak sih? Kau tidak lihat kedua tanganku sedang sibuk? Bagaimana aku mengambil kuemu itu? Langsung dengan mulutku?” Kyuhyun menatap Raekyo dengan pandangan kesal yang sama sekali tidak ia sembunyikan, pipinya menggembung sempurna. Sedetik kemudian pemuda itu sudah sibuk kembali dengan gamenya. Tergagap, Raekyo langsung mengikuti perintah pemuda itu. Diambilnya satu kuenya lalu menyodorkan ragu-ragu ke mulut Kyuhyun. Pemuda itu memakannya dalam satu gigitan, mengunyah perlahan sambil fokusnya masih pada PSPnya.

                “Bagaimana, ehm, o-oppa?” Raekyo memilih memecah kesunyian diantara mereka. Memberanikan diri memanggil oppa karena teguran tidak langsung Kibum tadi.

                “Lain kali tidak usah menawarkan Bum hyung. Dia tidak suka makanan manis.” Dan dengan itu Kyuhyun melangkah lebar menuju ke kamarnya. Meninggalkan Raekyo terpaku sendirian. Sudut matanya menangkap bayangan beberapa pelayan yang nampak mencuri dengar interaksi pertama ia dan kedua kakaknya. Mereka langsung bersemunyi ketika Raekyo menoleh. Gadis itu menatap loyangnya lalu menghela nafas, lagi-lagi ia menghela nafas, dengan lesu ia letakkan kembali loyang itu lalu kembali fokus membuat cream hiasan.

                “Ini baru awal, Rae, beri mereka waktu. Ini baru awal, Rae, bukan berarti mereka membencimu.” Rekyo terus saja mengulang-ulang kalimat yang sama. Mencoba menguatkan dirinya sendiri. Pertemuan pertama dengan kakak kembarnya tidak berjalan semulus yang ia inginkan namun juga tidak seburuk pemikirannya. Setidaknya mereka tidak terang-terangan menolak dirinya walau tidak juga menerima. Raekyo menarik nafas panjang, tinggal satu orang lagi yang harus ia temui. Kakak sulungnya. Ia berharap pemuda itu lebih bisa terbuka dengannya. Tanpa bisa ia cegah Raekyo membandingkan mereka dengan kakaknya, Donghae. Pemuda kekanakkan itu begitu hangat dan mudah dekat dengan orang lain. Raekyo merasa kesepian sekarang. Dengan sedih ia menatap kue-kuenya, menghembuskan nafas sekali lagi. Ini tidak akan mudah, pikirnya.

 

 * * *

 

                Sudah tiga puluh menit Raekyo terdiam di depan lemari pakaiannya yang terbuka lebar. Sebuah handuk meilit di atas kepalanya yang basah. Ia baru mandi dan masih belum bisa memutuskan akan memakai baju apa. Seorang pelayan memberitahunya bahwa makan malam segera siap dan ia diharapkan untuk ikut makan malam bersama. Dengan sedikit memaksa, Raekyo mendapatkan informasi bahwa keluarganya selalu menyempatkan diri makan malam bersama. Raekyo bingung, ia harus berpakaian seperti apa? Ia tidak punya gambaran mengenai makan malam keluarga Cho. Mengingat status mereka yang terpandang, apakah kakak-kakaknya akan menggunakan jas formal? Haruskan ia mengenakan gaun pesta? Raekyo menggelengkan kepala menjernihkan pikriannya, dia tidak perlu mengesankan mereka kan? Mereka keluarganya, seharusnya mereka menerima dirinya apa adanya. Raekyo memutuskan menjadi dirinya sendiri saja. Gadis itu memakai kaus pink pucat lalu mengenakan celana pendeknya.

                Ketika mengeringkan rambutnya, Raekyo terkikik geli sendiri. Ia merasa sangat bodoh beberapa detik lalu. Hampir saja dia mengenakan gaun pesta. Sungguh konyol. Suara ketukan pintu dan panggilan sopan seorang pelayan membuat Raekyo tersadar. Ia menuntaskan mengeringkan rambutnya, mengoleskan lipgloss agar bibirnya tidak terlalu pucat lalu membuka pintu kamarnya. Raekyo mengikuti pelayan itu ke bawah, menuju ke meja makan. Perutnya terasa melilit melihat kedua kakak kembarnya sudah ada di sana, begitu pula sang kakek.

                Raekyo bersyukur dalam hati ketika melihat pakaian ketiga orang di sana nampak kasual. Untung saja dia tidak mengenakan gaun pesta. Grandpa Cho duduk di ujung meja. Di sebelah kirinya duduk Kibum dan Kyuhyun. Merasa akan seperti di angkot bila ia duduk di sebelah Kyuhyun, Raekyo memutuskan ia duduk berhadapan dengan Kyuhyun saja. Menyisakan satu buah kursi kosong di hadapan Kibum untuk kakak sulungnya yang belum ia lihat. Beberapa pelayan nampak mondar-mandir dari dapur membawakan makanan dan menatanya di meja. Raekyo mengangkat kedua alisnya melihat banyaknya jenis makanan yang dihidangkan. Gadis itu melirik ngeri pada kakek dan kedua kakaknya. Apa mereka food monster? Seberapa banyak porsi makan mereka? Mereka bisa menghabiskan persediaan kulkas ibu sebulan dalam sekali makan malam.

                “Kudengar kau suka sekali membuat kue?” Grandpa Cho tersenyum lembut.

                “Ne, grandpa”

                “Kalau butuh apapun untuk bahan-bahan kuemu, serahkan saja pada pelayan. Mereka akan menyediakan untukmu.”

                “Terima kasih, grandpa. Ah, bagaimana hasil check up grandpa?” Raekyo memandang ngeri ketika kakeknya tiba-tiba memukul kepala Kibum dengan sendok. Pelan namun mengagetkan.

                “Lihat, Raekyo yang baru satu hari di sini saja perhatian pada grandpa. Kalian yang sudah bersama grandpa lama sama sekali tidak berniat menanyakan?” Kibum mengelus kepalanya dengan kesal. Ia mengangkat ponselnya dan melambaikannya ke hadapan sang kakek. Mencoba memberitahu bahwa hasil check up sang kakek langsung dikirim ke ponselnya oleh pihak rumah sakit sesaat setelah hasil itu keluar.

                “Terima kasih grandpa. Ah, bagaimana hasil check up grandpa?” Di sisi lain Kyuhyun memilih mengopi perkataan Raekyo barusan. Pemuda itu menatap sang kakek dengan pandangan polosnya.

                “Aigoo. Dasar kalian sama sekali tidak manis. Rae, jangan turuti kakak-kakakmu, arra?” Raekyo hanya mengangguk kecil, takut salah menjawab. “Grandpa baik-baik saja. Hanya gula darah grandpa agak sedikit tinggi, harus membatasi makan makanan manis.”

                Raekyo mengangguk-angguk mendengar perkataan kakeknya. Tatapannya teralihkan melihat seorang pemuda berjas menghampiri meja makan diikuti park ahjussi di belakangnya. Raekyo tahu itu si sulung keluarga Cho, Cho Leeteuk. Pemuda itu melonggarkan dasinya dengan sebelah tangan, menariknya lepas dari kerah kemejanya lalu menyerahkannya bersama dengan tas yang ia pegang pada pelayan terdekat. Pelayan itu membungkuk lalu berlalu dari ruang makan. Pemuda itu mengecup pipi grandpa Cho sekilas lalu mendudukan diri di kursi kosong yang Raekyo sengaja sisihkan.

                “Maaf aku telat, grandpa. Urusan kantor.” Kemudian si sulung menghadap ke Raekyo, pemuda itu tersenyum sambil mengacak pelan rambut Raekyo. Senyumnya berlensung pipit, “Kau Raekyo? Senang bertemu denganmu.”

                “N-ne. Senang bertemu denganmu juga.”

                “Aigoo, apa-apaan bahasa formalmu itu, Rae? Kita keluarga sekarang, kami keluarga kandungmu, bicaralah dengan santai pada kami.” Grandpa Cho tiba-tiba bersuara.

                “Aku sudah memperingatinya tadi.” Perkataan Kibum membuat Raekyo menggiggit bibir bawahnya pelan.

                “Kibum-ah.” Leetuk menatap Kibum dengan pandangan menegur lalu mengalihkan lagi pada gadis di sebelahnya, “Benar kata grandpa, bicaralah dengan santai pada kami. Kami juga akan berusaha begitu. Memang tidak mudah, mengingat selama ini kita tidak saling mengetahui keberadaan masing-masing. Tapi ayo mulai lagi, kita tebus enam belas tahun ketidaktahuan itu sebagai keluarga seutuhnya. Nah ayo makan.”

                “Makan sayurmu, Kyu. Jangan pilih-pilih makanan. Dan jangan terus menukar sayur di mangkukmu dengan daging di mangkukku.” Kibum mengeluh namun tetap saja melahap sayur yang disodorkan Kyuhyun ke depan mulutnya.

                “Aku tidak suka si hijau-hijau itu, hyung. Mereka membuatku sakit. Itu! Itu! Berikan padaku! Aaaa.” Kyuhyun menunjuk daging yang sedang disumpit Kibum, membuka mulutnya dengan lebar meminta disuapi. Kibum menurut, memasukkan daging itu ke lubang mulut bibir adik kembarannya, kemudian mengelap saus yang tercecer di sudut bibir Kyuhyun dengan tangannya ketika pemuda itu mengunyah makanannya.

                Raekyo menatap interaksi keduanya dengan bengong. Benar kata Park ahjussi, Kibum menjadi sosok yang sangat hangat dan perhatian pada jika bersama dengan Kyuhyun. Pemuda dingin itu pun jadi lebih banyak bicara.

                “Dasar manja! Sayuran membuatmu sehat, Kyu.” Leeteuk nampak geleng-geleng kepala. Pemuda itu dengan cepat memasukkan sayur ke dalam mangkuk Kyuhyun ketika pemuda pucat itu tidak melihat. Kyuhyun yang hendak menyuapkan nasi menatap kaget pada sayuran hijau yang tiba-tiba sudah berada di mangkuknya. Kyuhyun mengerjap bingung membuat Raekyo tidak bisa menahan tawanya. Gadis itu buru-buru menutup mulut ketika Kyuhyun merengut kesal ke arahnya.

                “Kau menertawakanku? Kau ya yang memasukkan sayuran ke sini? Kau mau ikut-ikutan memaksaku memakan sayuran?”

                “Ani, bukan aku.” Raekyo menggoyangkan kedua tangannya memberi tanda bahwa bukan dia pelakunya.

                “Aku yang memasukkannya. Makan! Atau kupatahkan PSP-mu jadi dua!” Leeteuk mengancam Kyuhyun.

                “Yak hyung! Kau menyebalkan!” Kyuhyun takut-takut memasukkan sayuran itu ke mulutnya. Memejamkan matanya kuat-kuat sambil mengunyah lalu segera meminum air putih banyak-banyak. Grandpa Cho tertawa geli. Cucu-cucunya memang jago menghibur hatinya. “Ini sangat tidak enak, grandpa. Aku sudah selesai makan. Aku mual.”

                “Lanjutkan makanmu, Kyu. Kau baru makan sedikit. Berhenti mengganggunya, Teuki hyung!” Leeteuk meringis mendengar teguran Kibum. Raekyo mendapatkan satu hal lagi mengenai Kibum, pemuda itu protektif pada Kyuhyun.

                “Ah, bagaimana persiapan rapat besar nanti, Teuki-ah?” Grandpa Cho tiba-tiba bertanya.

                “Sudah hampir siap, grandpa. Para investor sudah menyanggupi akan datang, tinggal beberapa orang lagi yang perlu dimintai konfirmasi. Nah, sebelum aku lupa, ini Rae…” Leeteuk menyodorkan setumpuk kertas ke hadapan Raekyo yang diterima gadis itu ragu-ragu, “Ini semua profil perusahaan, sejarah singkat keluarga kita, nama-nama investor dan pengurus perusahaan beserta info-info lainnya yang sangat penting untuk rapat besar nanti. Kuharap kau bisa mempelajarinya.”

                “Rapat besar?”

                “Ya, itu rapat yang diadakan bila ada keadaan mendesak di perusahaan yang membutuhkan keputusan bersama dengan para investor pemegang saham. Tapi kali ini rapat diadakan untuk memperkenalkanmu, kau juga salah satu penerus keluarga Cho. Suatu hari kau juga akan memegang perusahaan keluarga kita. Bersama-sama, kita berempat. Jadi kuharap kau mempelajarinya dengan baik. Kuharap tidak ada kesalahan. Semua harus sempurna. Kau mengerti?” Gadis itu mengangguk. Sesaat Raekyo melihat sisi lain dari kakak sulungnya. Bukan pemuda dengan senyum malaikat yang menyapa dirinya dengan mengelus kepalanya tadi namun inilah Cho Leeteuk, pewaris utama keluarga Cho. Seorang direktur di perusahaan keluarga mereka. Jujur Raekyo merasa respek dan kagum. Namun kini menatap lembaran kertas di tangannya, semua makanan yang sudah ia telan terasa naik kembali ke tenggorokan. Semua sususan huruf-huruf di sana berlompatan membuat kata yang sama sekali ia tidak mengerti. Raekyo menelan ludah dengan susah payah.

                “Nah, coba kau lihat kertas dengan judul Pemegang Saham. Carilah dan lihat.” Raekyo menatap Leeteuk dengan diam. Ia bingung harus berbuat apa. Leeteuk menatap balik Raekyo dengan alis terangkat, mungkin bertanya-tanya kenapa gadis itu malah terdiam memandanginya. Haruskah aku mengaku sekarang? Di depan semua orang termasuk pelayan-pelayan yang ada di sini?

                “Teuki-ah, hentikan, urusan perusahaan bisa menyusul. Ini hari pertama Raekyo kembali pada kita, dan kita sedang makan malam kalau kau lupa. Kudengar Raekyo itu pintar, ia pasti bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Benar kan?”

                “Ya, grandpa. O-oppa percayalah padaku.” Leeteuk mengamati Raekyo lalu mengangguk dan tersenyum. Pemuda itu melanjutkan makannya kembali. Raekyo diam-diam menghela nafas lega. Ia tersenyum pada kakeknya, Raekyo bersyukur Kibum memilih bersikap tidak peduli pada yang barusan terjadi, pemuda itu tetap makan seolah tidak terjadi apa-apa. Berbeda dengan Kyuhyun, pemuda pucat itu menatap Raekyo dengan pandangan tajam, keningnya berkerut. Raekyo menundukkan kepala menghindari tatapan mata kakak termudanya itu. Berdoa sepenuh hati agar dirinya tidak ketahuan. Raekyo merasa bila ia membalas tatapan mata Kyuhyun, kakaknya itu dapat membaca semua hal yang ia sembunyikan. Raekyo melepaskan nafasnya yang ternyata selama ini ia tahan ketika Kyuhyun kembali melanjutkan makannya. Perlahan, Raekyo juga menggerakkan sumpitnya kembali, memasukkan nasi dan lauk ke dalam mulutnya. Mengunyah, Raekyo merasa rasa makanan itu sudah tidak seenak beberapa saat lalu.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
LMoria
#1
Please read my story if you have time <3
LMoria
#2
I hope you will continue this asap <3
LMoria
#3
I love your story omgggg
Awaefkyu1311 #4
Chapter 7: yeayyy cepat skali updatenya... makin kecanduan baca ff ini,. jd sikap Rae dan kyu itu 11:12 ya,. apa jd nya mreka klo kerja sama jahilin kakak mreka..hehee,. aku penasaran sama masing masing rahasia yg mereka,.. smoga bisa update cpet lg heheee...
Awaefkyu1311 #5
Chapter 6: yeaayy update..!!, btw alur'a cepet banget udah 8 bulan kemudian aja..pdahal aku pengen liat interaksi kyu stelah bangun dr pingsannya sma ryaekyo,. terus rahasia mereka masing" gimana? sudah saling terus terang kah??,. lanjut pleasee
Awaefkyu1311 #6
Chapter 5: aduh aku suka bgt smaa ceritanya... tp aku agak kesusahan untuk komen disini, setelah sekian lama akhirnya tau jg cara komen disini,.. knpa gak coba pub di watpadd aja? lebih mudah baca dan kasih komentar'a,.. *saran aja hehehe... ttep smangat lanjut yaaaa... sangat ditunggu...