Satu

Sister Complex

Hari itu cuaca cukup cerah, langit terlihat begitu biru seolah awanpun menolak untuk menutupinya. Jalanan utama kota Seoul cukup padat, ramalan cuaca yang meleset membuat orang-orang memutuskan membawa kendaraan pribadi agar tidak kehujanan. Nyatanya, cuaca cerah bahkan cenderung panas. Ini merupakan jam sibuk di akhir pekan, terbukti dari padatnya orang beralu lalang di trotoar. Pejalan kaki didominasi dengan laki-laki dan perempuan memakai pakaian rapi dan berjalan dengan cepat, beberapa di antaranya sibuk berbicara dengan ponsel pintar mereka menempel di telinga. Seorang laki-laki nampak tanpa sengaja menabrak wanita paruh baya saat sedang berjalan, laki-laki itu hanya membungkukkan badannya sekilas lalu kembali berjalan, tidak menghiraukan wanita yang ia tabrak terluka atau tidak. Hidup memang selalu seperti itu kan?

                Raekyo menghela nafasnya, gadis itu menatap semua pemandangan di hadapannya dengan minat yang sedikit. Ia mengalihkan pandang pada kedua orangtuanya yang duduk di depan. Mereka bertiga berada di dalam mobil sang ayah, menuju ke suatu tempat yang walau belum ia lihat, namun Raekyo sudah tidak menyukainya. Sejak keberangkatan mereka, tidak ada satupun yang berbicara. Tidak biasanya. Kedua orangtuanya sedari tadi hanya saling menatap, meremas tangan, lalu kembali menatap ke depan. Raekyo yang memang dasarnya tidak terlalu senang berbicara, menikmati kesunyian di sekitarnya. Kesunyian yang terasa nyaman, nyaman karena kedua orangtuanya ada bersamanya. Walau tetap saja ada yang kurang, tidak ada kakaknya di sana.

                Ingatan gadis itu melayang pada sosok sang kakak, Lee Donghae. Menjumpai suasana seperti ini pasti sang kakak tidak akan bertahan lama. Kakaknya yang benci merasa kesepian itu pasti akan langsung memecahkan kesunyian dengan ocehan polosnya yang kadang tidak sesuai dengan umurnya. Tapi kelakuan sang kakak selalu sukses membuat mereka bertiga tertawa lepas. Pandangan mata Raekyo meredup ketika mengingat tadi pagi, ketika ia bangun sang kakak sudah tidak ada di rumah, teleponnya tidak diangkat, chatting-nya pun tidak dibalas. Raekyo tahu sang kakak menghindarinya. Ah, lebih tepatnya menghindari situasi ini. Tidak muluk-muluk, gadis itu hanya berharap sang kakak setidaknya mengucapkan selamat tinggal padanya, walau hanya dalam pesan singkat.

                Tidak sadar, mobil mereka kini mulai memasuki daerah perbukitan. Pemandangan di kanan kiri begitu indah walau akses jalan menuju ke tempat yang mereka tuju terasa menanjak menyeramkan. Raekyo memandang pohon-pohon tinggi yang menjulang mengapit kanan dan kiri jalan, mereka melewati beberapa peternakan dan tempat berkuda. Raekyo ingat dulu mereka pernah ke sini karena ia dan Donghae memaksa ingin berkuda sehabis menonton film perang. Ingatan itu membuat Raekyo tersenyum.

                Akhirnya mobil mereka berbelok ke arah jalan yang khusus untuk menuju ke sebuah rumah. Dari jauh sudah terlihat rumah megah itu berdiri kokoh di tepi tebing, sekelilingnya berdiri pagar yang menjulang tinggi juga, memberi kesan mencegah orang yang tidak diundang untuk masuk ke dalam. Atau sebaliknya? Mungkin saja pagar itu didirikan untuk mencegah orang yang di dalam untuk pergi keluar. Tanpa sadar Raekyo meremat tangannya, kebiasaannya ketika ia sedang gelisah. Nyonya Lee melihat ke belekang, ia tidak melewatkan rematan tangan putrinya, ia menjulurkan tangannya ke belakang, menggenggam kedua tangan sang putri yang terasa dingin. Manik mereka berdua bertemu, hitam bertemu cokelat, sang ibu tersenyum menenangkan lalu kembali memandang ke depan.

                Tidak butuh waktu lama pintu gerbang pun terbuka, Tuan Lee menghela nafas lalu kembali menjalankan mobilnya. Sebuah taman yang indah terlihat, butuh beberapa menit hingga mereka sampai di depan rumah itu. Terlihat beberapa mobil mewah terparkir di sana, Tuan Lee memarkir mobilnya di tempat yang seolah sudah disediakan untuk mereka. Belum juga mesin mobil dimatikan, pintu depan rumah terbuka, dari sana keluar seorang pria dengan balutan jas hitam didampingi dua orang wanita yang Raekyo yakin adalah pelayan di rumah itu.

                Mesin mobil sudah dimatikan, namun tidak ada satupun dari mereka bertiga yang ingin beranjak. Seolah mereka ingin menunda moment ini lebih lama dan menikmati kebersamaan yang sebentar lagi akan hilang ini.

                “Ayo kita turun. Tidak baik membuat mereka menunggu lama.” Tuan Lee akhirnya memecah keheningan yang ada. Ia ingin saat itu berlangsung selamanya namun tuan Lee yakin menunda lebih lama ia akan berubah pikiran, menyalakan kembali mobilnya dan membawa Raekyo pergi jauh-jauh dari rumah beserta penghuni-penghuninya itu. Tuan Lee meremas pundak istrinya lalu keluar dari mobil. Nyonya Lee dan Raekyo mengikuti kemudian. Tuan Lee mengeluarkan dua buah koper besar berisi barang-barang milik Raekyo, tangannya yang mulai berkeriput itu nampak bergetar. Pria itu berusaha menguatkan hatinya, ia tidak boleh ragu-ragu sekarang, ia harus kuat agar istrinya juga kuat.

                Nyonya Lee ikut berjalan mengikuti sang suami yang sudah berjalan lebih dahulu ke pintu depan sambil menarik dua koper bersamanya ketika ia merasakan bajunya ditarik pelan oleh seseorang.

                “Bagaimana bila mereka membenciku, Bu?” Nyonya Lee berbalik dan menatap Raekyo yang sedang menundukkan kepalanya, “Baimana kalau mereka tahu dan membenciku? Nanti siapa yang akan membantuku bila aku kesulitan, Bu?”

                Nyonya Lee mengangkat dagu Raekyo membuat gadis itu menatap matanya. Hatinya hancur ketika melihat putri bungsunya sudah berlinang air mata. Setetes jatuh tanpa bisa Raekyo tahan, membuat jalur di pipi putihnya. Nyonya Lee menangkup wajah Raekyo lalu menghapus buliran air mata sang putri, “Tidak akan ada yang membencimu, Rae. Mereka semua sayang padamu. Kalau pun mereka jahat padamu, bilang pada Ibu, akan ibu jewer mereka semua sampai berteriak kesakitan. Atau perlu ibu kerahkan pasukan ikan Donghae ke sini untuk membelamu?” Raekyo tertawa pelan membayangkan perkataan ibunya. Hatinya agak sedikit sedih teringat akan kakaknya.

                “Oppa tidak akan mengijinkan ikan-ikannya membelaku, Bu. Jendral ikan itu menghindariku. Teleponku tidak diangkat, bahkan ia mengirim pesan pun tidak. Dia sengaja pergi pagi-pagi dari rumah agar tidak bertemu denganku.” Raekyo tidak sadar menggembungkan pipinya, “Apa oppa sekarang membenciku?”

                “Tidak sayang,” Nyonya Lee menyentuh pipi Raekyo hingga kembali mengempis, “Kakakmu hanya butuh waktu. Bersabarlah, nanti dia akan kembali membuatmu pusing dengan ocehan khas anak umur lima tahunnya. Ayo kita masuk, seperti kata ayahmu, tidak sopan membuat mereka menunggu lama.”

                “Mereka bisa menunggu selama enam belas tahun, menunggu beberapa menit lebih lama tidak akan membunuh mereka, Bu.” Gumaman Raekyo tidak ditanggapi oleh sang ibu. Nyonya Lee menggandeng Rekyo untuk kembali berjalan. Mereka bertiga kini berdiri di hadapan pria berjas hitam yang sudah menunggu mereka dari tadi.

                “Selamat datang Tuan dan Nyonya Lee, juga nona Raekyo.” Pria itu membungkuk diikuti kedua pelayan wanita di belakangnya, “Saya Park John, kepala pelayan di rumah ini.”

                “Ah, ne Park John-ssi. Kami sudah membuat janji dengan Tuan Cho.”

                “Ya, tuan besar sudah menunggu dari tadi. Beliau nampak bersemangat sekali pagi ini.” Pria itu tersenyum lebar lalu berdiri ke hadapan Raekyo, “Kami semua senang kau kembali, nona.”

                “N-ne….”

                “Park ahjussi. Kau bisa memanggilku Park ahjussi. Semua tuan muda juga terbiasa memanggilku dengan sebutan itu.” Park ahjussi tersenyum hangat pada Raekyo. Gadis itu mengangguk lalu balas tersenyum. Raekyo langsung menyukai pria itu, begitu hangat dan ramah. Ia berharap semua penghuni rumah ini akan seperti pria itu, maka segalanya akan lebih mudah bukan? “Nah, ayo mari ke dalam. Perjalanan kalian panjang dan melelahkan, tuan besar sudah menunggu kalian di taman belakang. Mari ikuti saya. Ah letakkan saja koper itu di sana tuan, para pelayan akan mengurusnya. Mari.”

                Mereka bertiga masuk semakin dalam ke rumah, rumah itu ternyata lebih mewah lagi di dalamnya. Beberapa perabotan mahal ditata dengan rapi dan menarik di berbagai tempat, guci-guci yang Raekyo yakin harganya selangit itu berjajar rapi, terlihat bersih dan terawat. Terlihat seorang pelayan wanita sedang membersihkan pajangan yang ada di lemari kaca, pelayan itu membungkuk hormat ketika mereka lewat.

                Sebuah dinding polos menarik perhatian Raekyo. Gadis itu yakin sebuah pigura foto berukuran besar baru saja dicopot dari sana, terlihat dari bekasnya. Namun kini dinding itu dibiarkan polos tanpa ada foto apapun di sana.

                “Foto keluarga biasa dipajang di situ.” Suara Park ahjussi membuat Raekyo terlonjak kaget, Raekyo tidak sadar pria itu sudah berdiri di sampingnya, “Tapi tuan besar ingin mengganti foto di sana dengan foto keluarga yang baru, dengan dirimu di dalamnya, nona. Ayo, kakekmu sudah menunggu.”

                Rombongan kecil itu kembali berjalan. Raekyo mengamati dengan kekaguman yang terlihat jelas, orang kaya memang berbeda. Sebuah tangga melingkar menuju ke lantai dua, Raekyo mengalihkan pandangan ke atas, terdapat beberapa pintu yang tertutup rapat, Raekyo menduga-duga kamar siapa sajakah itu. Perasaannya kembali gelisah ketika mengingat orang-orang yang pernah disebut ibunya yang menghuni rumah ini. Raekyo menggelengkan kepalanya mencoba mengenyahkan kekhawatirannya, ia kembali mengikuti langkah Park ahjussi.

                Mereka keluar dari rumah melalui pintu belakang yang ternyata langsung menuju ke sebuah taman. Beberapa petak bunga cantik ada di sana, terlihat terawat dan samar-samar mengeluarkan aroma harumnya. Dengan kaget Raekyo melihat bahwa ujung taman tidak ada pagar sedikitpun, ujung taman itu langsung berada di ujung tebing, bunyi debur ombak terdengar memecah bebatuan di bawah tebing. Raekyo menarik nafas dalam dan mengecap rasa asin angin laut di lidahnya. Di ujung kanan terlihat sebuah gazebo berwarna serba putih. Di sana berdiri seorang pria yang sudah lanjut usia namun masih nampak gagah. Pria itu nampak sedang berdiri menghadap ke tebing didampingi seorang pelayan wanita berseragam. Raekyo menghitung, sejauh ini sudah empat pelayan yang dilihatnya, berapa pelayan lagi yang dimiliki rumah ini?

                “Tamu yang kau tunggu sudah datang, Tuan. Ini Tuan Lee, Nyonya Lee dan nona Raekyo.” Perkataan Park ahjussi membuat sang tuan besar menoleh. Ia mengangguk sekilas lalu tersenyum. Pria tua itu menjabat tangan Tuan Lee dengan hangat, tersenyum lebar pada Nyonya Lee. Ketika pandangannya menyapu Raekyo, senyum di wajahnya memudar. Tangannya terulur pelan ke kepala gadis itu, matanya berair.

                “Ini… Raekyo? Benarkah ini Raekyo-ku? Kau tumbuh dengan baik, kau sangat cantik. Kemarilah dan peluk grandpa.” Raekyo menatap kedua orangtuanya yang mengangguk lalu ragu-ragu memeluk pria tua yang ia ketahui adalah kakeknya. “Aigoo, cucu kecilku sudah sebesar ini. Mianhe, maafkan grandpa yang baru berhasil menemukanmu. Terima kasih, terima kasih sudah merawat cucuku selama ini. Aku berhutang budi pada kalian.”

                “Tidak perlu sungkan, tuan Cho. Raekyo sudah kami anggap putri kami sendiri. Kami tidak terpaksa merawatnya. Kami sangat menyayanginya.” Tuan Lee berbicara sambil tersenyum pada Raekyo.

                “Ya, bisa kulihat itu. Ah, di mana sopan santunku, ayo duduklah. John-ssi, tolong keluarkan minuman dan kudapan untuk tamu kita. Mereka pasti lelah.” Park ahjussi mengangguk lalu agak menyingkir dari sana, terlihat berbicara menggunakan walkie talkienya, “Sini Rae, duduklah di sebelah grandpa.”

                Tidak butuh waktu lama, minuman dan makanan ringan pun disajikan. Raekyo menyesap minumannya perlahan, menikmati manisnya coeklat hangat itu di mulutnya. Mencicipi kue yang dihidangkan, Raekyo terkejut mendapati rasanya yang langsung lumer di dalam mulutnya. Ia memang menyukai kegiatan membuat kue, hingga ia berharap siapapun yang membuat kue ini mau mengajarinya.

                “Kalian pasti bertanya-tanya di mana yang lainnya. Cucuku yang lain. Apa Rekyo sudah mengetahuinya?”

                “Ne. Ibu memberitahuku aku memiliki tiga orang kakak laki-laki. Yang kedua dan ketiga itu kembar.” Tanpa sadar tubuh Raekyo menegang. Ketiga orang inilah yang selalu ada di pikirannya. Orang-orang yang paling ia takuti. Ia takut mereka akan membencinya, membenci kondisinya.

                “Benar. Kakak pertamamu, Leeteuk adalah penerus usaha keluarga kita. Ia kini menyandang jabatan direktur utama di perusahaan keluarga kita. Kedua kakak kembarmu, Kibum dan Kyuhyun mereka masih menginjak bangku kuliah. Sama sepertimu. Kau baru masuk kuliah kan? Ah akan kuminta John-ssi mengurus dokumen kepindahan kuliahmu, kau lebih baik berkuliah di tempat yang sama dengan kakak-kakakmu, bagaimana?”

                “Ah, bolehkah aku tetap di tempat kuliahku yang sekarang, anu, emh, tuan…”

                “Grandpa, panggil aku grandpa. Aku kakekmu, masa kau panggil tuan?” Grandpa Cho tertawa renyah, pria tua itu menepuk-nepuk tangan Raekyo lalu terdiam mengamati tangan gadis itu yang kini kembali saling meremat, “Kau sedang gelisah? Kebiasaanmu sama dengan Kyuhyun, bocah nakal itu juga akan terus meremat tangannya hingga memerah bila sedang gelisah. Jadi, ada alasan tertentu kau tidak mau pindah kuliah?”

                “A-aku sudah terbiasa di sana, sejujurnya aku tidak mudah bergaul, dan sahabatku ada di sana, em, grandpa.” Raekyo menatap kedua orangtuanya, berharap mereka mendukung perkataanya. Sejujurnya Raekyo merasa bersalah karena berbohong pada kakeknya, tapi hanya di tempat kuliahnya sekaranglah kesempatan terbesar Raekyo agar bisa bersama dengan kakaknya. Karena Donghae berkuliah di tempat yang sama dengannya.

                “Begitukah? Baiklah, grandpa akan mengijinkanmu. Hanya biarkan supir mengantar jemputmu, bagaimana?” Merasa tidak enak meminta lebih banyak, Raekyo hanya mengangguk dan tersenyum.

                “Permisi, tuan…” Park ahjussi mencondongkan tubuhnya berbisik di telinga tuan besarnya. Grandpa Cho mengangguk-angguk lalu tersenyum meminta maaf kepada tamu-tamunya.

                “Maafkan aku, aku sudah ada janji dengan dokter. Kalian beristirahatlah, John-ssi akan menunjukkan kamar untuk kalian.”

                “Grandpa sakit?” Pertanyaan Raekyo diiringi pandangan khawatir gadis itu membuat hati grandpa Cho menghangat. Pria tua itu tertawa.

                “Inilah makanya orang-orang berkata bahwa kau harus memiliki setidaknya satu anak perempuan. Agar di masa tua ada yang merawatmu atau setidaknya perhatian padamu. Anakku pria semua, tiga orang cucu yang selama ini tinggal bersamaku juga laki-laki, aku sangat senang kau ditemukan kembali. Jangan khawatir Rae, grandpa hanya check-up rutin biasa, ini rutinitas biasa untuk orang tua sepertiku kan?” Grandpa Cho kini beralih pada pasangan Lee, “Sekali lagi terima kasih. Mari kita menjaga hubungan kita seperti keluarga. Jangan sungkan padaku, kalian butuh apapun, bilang padaku. Nah, istirahatlah, anggap rumahmu sendiri. Aku pergi dulu.”

                Grandpa Cho pun pergi. Park ahjussi kemudian mengantarkan Raekyo beserta kedua orangtuanya ke kamar yang mulai hari ini akan ditempati gadis itu. Tuan dan Nyonya Lee menolak diberikan kamar terpisah, mereka ingin dekat dengan gadis itu.

                Raekyo melihat ke sekeliling kamar barunya. Kamar itu didominasi warna biru muda, warna kesukaannya. Terdapat meja belajar di sana, di sebelah nya terdapat lemari pakaian dan nyonya Lee sedang berkutat di sana. Membongkar koper Raekyo dan menata pakaiannya di sana. Sementara Tuan Lee sedang berdiri di balkon kamarnya, memandang pemandangan di sana. Pemandangan kamar Raekyo menghadap langsung ke taman belakang tempat mereka duduk-duduk tadi. Raekyo sadar kamarnya begitu besar dan mewah.

                “Kau pasti senang, Rae. Kamarmu besar sekali. Bahkan ukurannya dua kali lipat kamarmu di rumah.” Nyonya Lee berkata sambil menata baju di gantungan. Raekyo mendekat perlahan lalu memeluk sang ibu dari belakang. Menyenderkan kepalanya pada bahu sang ibu.

                “Bu, tidak bisakah aku tinggal bersama ayah ibu dan Hae oppa saja?”

                “Kita sudah membahas ini, Rae. Ini rumahmu, kau bersama dengan keluarga aslimu sekarang. Kau selalu mengeluh hanya punya satu kakak, sekarang kau punya tiga. Tidakkah kau merasa senang?” Nyonya Lee menepuk tangan Raekyo yang melingkar di pinggangnya lalu kembali melanjutkan membereskan lemari. Membiarkan Raekyo tetap bersandar padanya.

                “Tapi aku tidak kenal mereka, Bu. Apa ayah dan ibu menyadari aku merepotkan? Aku membebani kalian? Jadi kalian mengembalikanku ke sini?”

                “Dengar ibu, kau adalah harta terindah yang pernah ibu dapatkan. Ibu tidak pernah ragu-ragu untuk merawatmu sejak pertama kali kita bertemu. Kau tetap putri kecil ibu, camkan itu. Walau jauh, aku dan ayahmu tetap orangtuamu. Begitupun Donghae, dia tetap kakakmu. Tidak akan ada yang hilang, Rae. Keluargamu hanya bertambah. Itu saja.” Nyonya Lee berbalik menghadap Raekyo dan memegang pundak gadis itu dengan kedua tangannya.

                “Tapi ketiga orang itu… Bagaimana kalau mereka tidak mau menerimaku yang seperti ini, Bu?”

                “Rae, kau itu punya kekuatan special, kau tahu itu? Kau punya kekuatan untuk membuat siapapun yang kenal denganmu menyayangimu tanpa syarat. Mereka bertiga pun akan begitu. Beri mereka waktu.”

                “Kalau mereka menyalahkanku atas kematian orangtua mereka?”

                “Orangtua-mu. Itu orangtua kandungmu, Rae. Saat itu kau masih baby, bagaimana bisa kau yang menyebabkan mereka kecelakaan? Bisa apa seorang baby umur tiga bulan menyebabkan kecelakaan?”

                “Tapi Ibu bilang mereka kecelakaan dalam perjalanan ke rumah sakit. Saat itu aku kejang dan muntah-muntah sesampainya di Korea, maka mereka langsung ke rumah sakit. Berarti itu gara-gara aku, Bu. Kalau aku tidak sakit mereka tidak akan kecelakaan.”

                “Ne, kakekmu yang menceritakan pada Ibu dan ayah. Saat itu pertama kalinya kau dibawa ke Korea sebab ibumu melahirkanmu di Jepang. Mereka bermaksud memberi kejutan pada ketiga kakakmu, lagipula mereka memang harus mengurus perusahaan di jepang selama setahun, jadi mereka tidak diberitahu saat ibumu mengandung dan melahirkanmu. Saat itu hanya kakekmu yang tahu, dan benar kau sakit sesampainya di bandara. Namun itu bukan salahmu, Rae. Kau pun tidak mengharapkan dirimu sakit kan? Saat itu kau dibawa lari dari tempat kecelakaan oleh seseorang, yang kemudian meninggalkanmu di depan pintu rumah kami. Ibu tidak pernah tahu motif orang itu tapi ibu bersyukur karenanya ibu bisa bertemu denganmu. Kau menambah kebahagiaan di keluarga kita, kau tahu itu kan?”

                “Ya, tapi sekarang aku menyakiti hati ayah ibu dan terutama Hae oppa.”

                “Kau tidak menyakiti kami, Rae. Memang sudah seharusnya seperti ini. Kakekmu mencari-cari dirimu selama ini tanpa cucu-cucunya yang lain tahu, menyimpan kekhawatirannya padamu seorang diri, ibu yakin itu sangat berat. Kau sudah menjadi kebahagiaan bagi kami, kini kau juga harus jadi kebahagiaan untuk keluarga kandungmu.” Nyonya Lee mengelus kepala Raekyo dengan sayang.

                “Tapi kalau aku tinggal di sini, aku bukan lagi Lee Raekyo, Bu. Aku akan menjadi Cho Raekyo.” Nyonya Lee menghela nafasnya. Ia menuntun anak gadisnya untuk duduk di ranjang.

                “Kau tidak perlu memilih jadi Lee atau Cho, Rae. Kau adalah seorang Cho, tapi kau juga adalah seorang Lee. Itulah dirimu. Kau putri ibu dan ayah, adik dari Lee Donghae. Tapi kau juga cucu grandpa Cho, adik dari Cho Leeteuk, Cho Kibum dan Cho Kyuhyun. Seperti yang ibu bilang, kau tidak harus memilih di antara kami. Kau hanya menambah orang-orang yang perlu kau sayangi saja.”

                “Ibu membuatnya terdengar seperti sangat mudah.” Raekyo mengeluh.

                “Itu memang mudah, kau saja yang terlalu berpikiran yang tidak-tidak.” Tuan Cho menyentil ujung hidung putrinya sambil tersenyum. Pria itu ikut duduk di sebelah Raekyo, membuat gadis itu terapit kedua orangtuanya.  “Baik-baiklah di sini, Rae. Jangan nakal. Dengar, mereka keluargamu, jangan pernah sungkan meminta tolong bila kau kesulitan. Atau kau lebih senang meminta tolong pada ayah dan ibu? Kami akan langsung ngebut menuju ke sini untuk membantumu.”

                “Jangan!” Raekyo menggelengkan kepala kuat-kuat, “Jalanan ke sini berbahaya, juga minim penerangan. Ayah kan rabun senja. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengan kalian hanya karena aku tidak bisa membedakan mana kotak susu dan kotak cream? Aku bisa menyalahkan diriku seumur hidup nanti.” Perkataan Raekyo membuat kedua orangtuanya tertawa. Memang beginilah putri mereka, selalu mengkhawatirkan orang lain disbanding dirinya sendiri.

                “Ngomong-ngomong, ini sudah menjelang malam. Ayah dan ibu harus pulang.” Raut kecewa nampak di wajah Raekyo, “Ingat, ayah rabun senja?”

                “Kalian tidak menginap saja?”

                “Keluargamu juga ingin menghabiskan waktu denganmu, Rae. Nikmati akhir pekanmu bersama mereka. Telepon ayah dan ibu, oke?” Raekyo hanya mengangguk kecil. Dengan langkah berat, ia ikut mengantar orangtuanya sampai ke pintu depan. DI sana mereka bertiga berpelukan dengan erat, tidak ada air mata yang tertumpah. Masing-masing bertekad tidak akan menangis, toh ini bukan perpisahan selamanya, mereka masih bisa saling bertemu.

                “Kami pulang dulu. CD Playermu kau bawa juga kan?”

                “Ya, Bu. Ada di dalam tasku. Kalian hati-hatilah. Kabari aku bila sudah sampai rumah. Dan, dan katakan pada Hae oppa untuk mengangkat teleponku. Aku janji tidak akan menangis atau merengek meminta pulang padanya.” Lagi-lagi Tuan dan Nyonya Lee tertawa. Mereka mengacak rambut Raekyo lalu masuk ke dalam mobil. Raekyo menatap kepergian orangtuanya sampai mereka menghilang dari pandangannya. Park ahjussi yang ikut mengantar tetap berdiri diam di belakang Raekyo. Gadis itu bukannya tidak sadar akan kehadiran kepala pelayan yang ikut melambai bersamanya mengiringi kepergian orangtuanya.

                “Ehm, Park ahjussi, anu itu, mereka…”

                “Nona menanyakan keberadaan tuan muda yang lain?” Park ahjussi tersenyum ketika Raekyo mengangguk pelan. Gadis itu masih merasa sungkan rupanya, “Tuan muda Leeteuk masih sejam lagi baru pulang dari kantor. Sementara tuan muda Kibum sedang sibuk mempersiapkan dirinya untuk olimpiade sains. Lalu terakhir tuan muda Kyuhyun, dia pasti sedang ke game center bersama tiang listriknya.”

                “Tiang listrik?” Raekyo mengerjap bingung.

                “Ah itu panggilan untuk sahabat tuan muda Kyuhyun. Shim Changmin, dia sahabat dekat tuan muda. Dia tinggi sih jadi seperti tiang listrik. Ah, jangan bilang-bilang pada tuan muda Changmin ya non, dia bisa marah dan berakibat menghabiskan persediaan kulkas kita.” Park ahjussi meringis ngeri membuat Raekyo tertawa.

                “Rae saja. Jangan panggil nona, Park ahjussi bisa memanggilku Raekyo saja.”

                “Mana bisa begitu, non. Tuan besar bisa marah pada saya.”

                “Hanya diantara kita saja. Saat kita hanya berdua seperti saat ini, panggil nama saja. Lebih nyaman untukku juga, Park ahjussi,” Raekyo mengedipkan matanya. “Kalau ahjussi tidak mau, akan kuberitahu Changjin? Changkin? Chang ah Chang siapapun itu kalau ia disebut tiang listrik sama ahjussi.”

                “Changmin. Namanya Changmin, non, ah, Rae. Baik-baiklah. Ternyata kamu pintar mengancam juga. Sifatmu benar-benar mirip dengan tuan muda Kyuhyun. Kalian akan segera cocok.” Park ahjussi menuntun Raekyo kembali ke dalam rumah. Pria itu membawa Raekyo ke meja dapur karena gadis itu berkata haus. Raekyo menegak habis air yang disodorkan padanya.

                “Grandpa dan ahjussi selalu bercerita tentang mereka bertiga dengan bangga. Bisa ahjussi ceritakan bagaimana mereka bertiga itu?” Raekyo sengaja menyebut dengan mereka bertiga. Menyebut dengan kakak-kakaku masih terasa asing di lidahnya. Lagipula mereka belum pernah sekalipun bertemu.

                “Mereka memang mengagumkan! Tuan muda Leeteuk diusianya yang masih muda sudah berbakat memimpin perusahaan berskala internasional, dia orang yang disiplin namun penuh kelemah lembutan. Dia sangat sayang pada tuan besar dan kedua adiknya. Dia sukses berperan sebagai seorang kakak, ayah sekaligus ibu untuk tuan muda Kibum dan tuan muda Kyuhyun. Dia terkenal dengan senyum malaikatnya. Berbeda dengan si sulung, tuan muda Kibum lebih pendiam dan dingin. Dia tidak mudah dekat dengan orang lain namun dibalik sikap dinginnya, tuan muda Kibum itu sangat perhatian. Dia yang biasanya diam bisa menjadi sangat cerewet pada saudara kembarnya. Bila nanti kau bertemu dengannya, jangan salah paham dengan sikapnya, sebenarnya ia pemuda yang hangat. Yang terakhir tuan muda Kyuhyun, dia itu pemuda yang penuh semangat namun agak keras kepala. Kerjaanya selalu bermain game. Sifatnya manja dan kekanak-kanakkan. Tapi dia lah sumber keceriaan keluarga ini. Kadang kelemahan tubuhnya tidak sejalan dengan semangatnya, namun dia juga pemuda yang hangat. Keduanya terkenal dengan kegeniusan mereka. Tuan muda Kibum di bidang sains, tuan muda Kyuhyun di bidang Matematika.”

                “Kelemahan tubuh?”

                “Pssst! Jangan keras-keras, Rae. Ah, saya keceplosan.” Park Ahjussi menengok ke kanan dan kiri memastikan tidak ada siapapun selain mereka di sana, “Tuan muda Kyuhyun mudah sakit sejak kecil. Hal yang biasa terjadi pada kelahiran kembar yang premature. Daya tahan tubuhnya lemah dan ia juga menderita pneumotrax sejak bayi. Walau sering kambuh, namun dia tetap ceria dan lincah berlari ke sana kemari. Membuat tuan muda Kibum mencak-mencak karena khawatir. Tapi kuharap kau tidak membahas hal ini di depan mereka. Juga para pelayan. Para tuan muda adalah orang yang perfeksionis, mereka tidak menyukai kelemahan mereka dietahui orang. Aku saja kadang tidak tahu tuan muda Kyuhyun baru kambuh, karena ia dan tuan muda Kibum begitu rapi menyembunyikannya. Kekurangan adalah kelemahan fatal bagi keluarga Cho, kita punya banyak musuh di luar sana yang dengan senang hati mempergunakan kelemahan kita jadi senjata untuk menghancurkan kita. Kau juga mulai sekarang harus hati-hati, Rae. Ah aku tidak sabar melihat interaksi kalian berempat terutama dengan tuan muda Kyuhyun. Dia terbiasa jadi maknae di sini, aku ingin lihat bagaimana ia memperlakukan adiknya. Rae,  tuan besar bahkan aku benar-benar senang kau sudah ditemukan dan kembali pada keluarga ini. Kau cantik, dan kudengar kau juga pintar, kau sehat, benar-benar sosok sempurna tuan putri keluarga Cho.”

                Raekyo terdiam seketika. Ia meremat tangannya di atas pangkuan, tertutupi meja. Raekyo gelisah sekarang. Mimpi buruknya seolah jadi nyata. Perfeksionis? Tidak boleh ada kekurangan? Jangan menunjukkan kelemahan? Raekyo menelan ludahnya dengan susah payah. Kakek, ketiga kakaknya, bahkan para pelayan pun berharap tinggi padanya. Dia diharapkan mewujudkan sosok tuan putri keluarga Cho, keluarga yang terpandang di Korea. Bagaimana bila mereka kecewa padanya? Bagaimana bila mereka membencinya? Yang terutama bagaimana cara dirinya menjelaskan pada keluarga barunya, keluarga kandungnya bahwa ia, sang putri yang seharusnya sangat sempurna itu, menderita disleksia?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
LMoria
#1
Please read my story if you have time <3
LMoria
#2
I hope you will continue this asap <3
LMoria
#3
I love your story omgggg
Awaefkyu1311 #4
Chapter 7: yeayyy cepat skali updatenya... makin kecanduan baca ff ini,. jd sikap Rae dan kyu itu 11:12 ya,. apa jd nya mreka klo kerja sama jahilin kakak mreka..hehee,. aku penasaran sama masing masing rahasia yg mereka,.. smoga bisa update cpet lg heheee...
Awaefkyu1311 #5
Chapter 6: yeaayy update..!!, btw alur'a cepet banget udah 8 bulan kemudian aja..pdahal aku pengen liat interaksi kyu stelah bangun dr pingsannya sma ryaekyo,. terus rahasia mereka masing" gimana? sudah saling terus terang kah??,. lanjut pleasee
Awaefkyu1311 #6
Chapter 5: aduh aku suka bgt smaa ceritanya... tp aku agak kesusahan untuk komen disini, setelah sekian lama akhirnya tau jg cara komen disini,.. knpa gak coba pub di watpadd aja? lebih mudah baca dan kasih komentar'a,.. *saran aja hehehe... ttep smangat lanjut yaaaa... sangat ditunggu...