Empat

Lies

“… memang seperti itu keadaannya Teuki hyung. Raekyo harus segera mendapatkan donor ginjalnya, aku tidak bisa menjamin sampai kapan obat-obatan yang kuberikan sanggup mengulur waktu.” Pemuda berbadan tegap yang mengenakan jas putih berlabelkan nama Dr. Hankyung itu berdiri di sebelah Leeteuk sambil memandang pemuda yang sudah ia anggap kakak sendiri itu dengan sendu. Ia tahu diagnosa yang ia berikan bukan berita baik namun ia merasa tetap harus menyampaikannya. Di sisi lain Leeteuk termenung berusaha mencerna ucapan yang baru ia dengar sambil tangannya menggenggam tangan magnaenya yang masih belum sadarkan diri. Ingatannya kembali ke siang tadi saat tiba-tiba Raekyo meneleponnya dan memintanya untuk menjemputnya. Leeteuk pikir Raekyo hanya kelelahan biasa namun dugaannya salah ketika Raekyo pingsan begitu mereka akan masuk ke dalam mobil Leeteuk. Ia tahu tubuh adiknya itu sudah mulai memberikan sinyal yang tidak bagus. Ginjalnya yang tinggal satu sudah kewalahan.

            “Ginjalku?”

            “Hyung, kita sudah pernah membahas ini sebelumnya. Aku tidak mau berpikiran sempit seperti ahjumma. Mian hyung, tapi aku tahu aku memang benar. Ini sama saja dengan gali lubang tutup lubang. Kalau benar akhirnya kau mendonorkan ginjalmu pada Raekyo sekarang dan dia selamat, lalu bagaimana denganmu? Kalau semua baik-baik saja tidak akan jadi masalah, tapi kalau kasus ini terulang lagi? Lalu siapa yang akan mendonorkan ginjal untukmu? Donghae? Lalu donghae nanti akan didonor oleh Kibum? Kapan semua ini selesai? Sudah cukup Raekyo dan Kyuhyun saja yang mengalaminya.”

            “Tapi Raekyo bisa mati Han! Katakan padaku, beri jaminan padaku ia akan bertahan sampai pendonornya tersedia. Beri jaminan aku tidak akan kehilangan adikku!” Leeteuk berusaha mati-matian menahan amarahnya. Ia tahu Hankyung tidak salah, semua yang ia katakan memang benar. Ia juga tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti eommanya dulu, tapi saat melihat keadaan yang terpampang di hadapannya mau tidak mau Leeteuk merasa putus asa. Ia menghapus air mata yang sudah mengaburkan pandangannya dengan kasar. Leeteuk tidak mau menangis, sekarang yang dibutuhkan magnaenya bukanlah cucuran air mata.         

            “Hyung, lebih baik kau hubungi kedua orangtuamu, mereka harusnya tahu. Kau tidak harus menanggung semuanya sendirian.”

            “Ne. Kau benar, Han. Appa dan eomma seharusnya tahu, terutama eomma. Dia harus tahu akibat dari perbuatannya. Eomma harus tahu, eomma harus sadar dia telah membunuh putri bungsunya secara perlahan. Dia yang menyebabkan semua penderitaan yang Raekyo rasakan!”

            “Hyung…” Hankyung bingung harus berkata apa. Ucapan yang Leeteuk ucapkan dengan nada penuh kebencian itu terasa membekukan dirinya. Sedikit banyak ia tahu apa yang telah terjadi pada magnae keluarga Cho. Ia tahu seberapa hancur gadis yang terbaring di hadapannya itu, karena Hankyung ada di sana, ada saat dirinya ikut membantu mengumpulkan kepingan diri Raekyo bersama Leeteuk, berusaha sekuat tenaga membuat gadis itu sehat kembali baik jasmani dan rohaninya.

            “Kadang, aku merasa bersalah menyelamatkan Raekyo waktu itu. Bila waktu itu kubiarkan saja Raekyo mati di tangan eomma, ia tidak harus mengalami semua ini. Aku tidak harus bertahan melihatnya hancur. Seharusnya kubiarkan saja eomma membunuh Raekyo!”

            “Hyung!!” Brak! Suara teguran Hankyung bertepatan dengan suara pintu dibanting membuka. Sontak Hankyung dan Leeteuk menoleh ke arah pintu, wajah mereka pucat pasi. Di sana berdiri Kibum yang memandang mereka dengan tatapan yang sulit diartikan. Kedua tangan pemuda itu terkepal erat, matanya memerah menandakan Kibum sedang menahan perasaannya kuat-kuat. Di belakangnya nampak Donghae berdiri tidak kalah kakunya. Bedanya, Donghae sudah bercucuran air mata. Pemuda kekanakkan itu masih menggigit tangannya untuk menahan isakan yang akan keluar, tidak menyadari bahwa tindakannya sudah melukai dirinya sendiri.

            “Donghae-ah, Kibum-ah.” Leeteuk berasa di ambang mimpi. Ia bangkit berdiri tidak tahu harus melakukan apa. Ia tidak tahu sejauh apa ia sudah keceplosan dan sejauh apa kedua adiknya mendengarkan pembicaraannya dengan Hankyung. Leeteuk berjalan perlahan mendekati Kibum. Namun betapa kagetnya saat tangannya yang hendak memegang pundak Kibum ditepis oleh adiknya itu dengan amat keras.

            “Katakan pada kami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Katakan apa yang sudah terlalu lama kau sembunyikan dari kami.” Suara Kibum yang begitu dingin terasa menusuk hati Leeteuk. Pemuda itu bingung harus bagaimana. Apakah ini saatnya dirinya berterus terang? Leeteuk menoleh meminta bantuan Hankyung namun pemuda itu menggeleng perlahan.

            “Hyung, sudah saatnya kau mengatakan yang sebenarnya. Mereka berhak tahu, hyung. Sudah waktunya kau membagi bebanmu juga pada mereka. Mereka pasti kuat, benar kan Kibum-ah? Donghae-ah?” Hankyung tersenyum sedih saat tidak ada satupun yang menjawab pertanyaannya, “Pergilah hyung, kurasa kalian butuh waktu untuk berbicara. Biar Raekyo aku saja yang menemani, dia sudah kuanggap adikku juga.” Hankyung tersenyum menyemangati pada Leeteuk sedangkan Kibum dan Donghae sudah melangkah pergi tanpa sekalipun berkata apa-apa.

            Dan di sinilah mereka sekarang. Duduk berhadapan di sebuah ruangan persegi tertutup yang diberi label VIP oleh sang empunya cafe. Leeteuk sengaja memilih cafe yang berada di sebelah rumah sakit agar mereka leluasa berbicara. Setidaknya ruang VIP benar-benar memberikan privasi pada penyewanya.

            “Tanganmu terluka, Hae. Apakah sakit?” Leeteuk tersenyum sedih saat Donghae menarik tangannya dengan kasar, berusaha menghindari kontak fisik dengan Leeteuk. Kedua adiknya itu dari tadi hanya diam, menunggu sebuah pengakuan yang akan keluar dari bibir Leeteuk. Ia tahu sudah tidak bisa mengulur-ulur lagi, maka Leeteuk menarik nafas mempersiapkan diri.

            “Seperti yang kalian tahu, Raekyo tidak boleh terlalu lelah, ia tidak boleh ikut pelajaran olahraga selama masa ia sekolah, ia akan cepat sakit bila kelelahan, memang dikarenakan ginjalnya bermasalah. Ia menderita penyakit yang sama dengan Kyuhyun. Dulu kalian ingat kan Kyuhyun pun sama, ia tidak boleh kelelahan karena salah satu ginjalnya rusak jadi ia hanya mengandalkan kinerja ginjal satunya yang sehat. Namun Kyuhyun tidak selemah Raekyo karena kedua ginjalnya masih ada, walau yang satu bermasalah namun setidaknya masih bisa bekerja walau tidak optimal hingga keadaan Kyuhyun lebih stabil. Beda dengan Raekyo, ia hanya punya satu ginjal dan satu-satunya itulah yang bermasalah.”

            “Kenapa ginjal Raekyo hanya ada satu?” Suara Donghae tersengar parau.

            “Karena… karena eomma mendonorkan satu ginjal Raekyo yang sehat pada Kyuhyun.” Jawaban Leeteuk bagai petir di siang bolong bagi Kibum dan Donghae. Mata Donghae terbelaklak sempurna sedangkan Kibum semakin mengepalkan tangannya dengan erat.

            “Hyung bohong. Eomma tidak mungkin sejahat itu! Hyung bohong!” Donghae menggelengkan kepalanya berusaha tidak mempercayai apa yang telah ia dengar.

            “Itulah kenyataannya, Hae. Eomma tahu Raekyo memiliki masalah ginjal seperti Kyuhyun, namun eomma dengan tega mendonorkan satu-satunya harapan hidup Raekyo pada Kyuhyun, membuat putra bungsunya hidup seperti anak normal tanpa memperdulikan hidup anaknya yang lain. Bahkan appa pun tidak tahu menahu proses pencangkokan ginjal itu. Ingat saat kita bertiga dititipkan di rumah paman di Busan diantar hanya dengan appa? Saat itulah eomma melaksanakan rencananya. Eomma bahkan tidak meminta persetujuan appa untuk melakukan hal itu!”

            “Hyung bohong!!”

            “Untuk apa aku berbohong??!!” Leeteuk menggebrak meja dengan kuat, ia berusaha mengontrol perasaannya sendiri kuat-kuat, menceritakan kembali hal yang sangat ingin ia lupakan membuat pertahanannya hampir runtuh. “Saat appa pulang kembali ke rumah, semua terlihat normal seakan tidak pernah terjadi apapun. Ingat saat itu appa dengan bahagianya menelepon kita di Busan berkata bahwa keajaiban Tuhan terjadi, saat ia pulang Kyuhyun seperti sembuh, Kyuhyun sudah tidak sakit lagi. Namun kemudian appa menyadari sesuatu yang aneh dengan Raekyo, gadis itu jadi begitu lemah, saat appa bertanya Raekyo selalu menghindar ketakutan. Hingga akhirnya appa memaksa Raekyo menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Begitu mengetahui semuanya, appa marah besar, ia pun memenjarakan dokter illegal yang disewa eomma lalu menceraikan eomma dan meminta hak asuh kita berempat agar jatuh ke tangannya. Bahkan saat itu appa berniat memenjarakan eomma, namun eomma kabur dari rumah.”

            Suasana hening seketika. Leeteuk memandang kedua adiknya dengan sendu. Ia setengah mati berdoa agar kedua adiknya masih kuat mendengarkannya, sebab apa yang sebentar lagi akan ia ceritakan akan lebih menghancurkan mereka.

            “Lalu, maksud hyung eomma membunuh Raekyo?” Lagi-lagi Kibum tetap diam.

            “Itu….”

FLASHBACK

            Suasana rumah keluarga Cho nampak lengang. Tuan Cho masih berada di kantornya untuk bekerja, keempat anak lelakinya masih berada di sekolah, tersisa si bungsu yang memang diistirahatkan dari kegiatan sekolah karena tubuhnya sedang tidak sehat. Seorang wanita paruh baya masuk perlahan ke dalam rumah itu, menghembuskan nafas lega saat tidak terlihat satupun pelayan rumah itu. Dengan berlari kecil ia menuju ke arah kamar si bungsu. Tanpa mengetuk, wanita itu masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamar itu rapat-rapat.

            Langkahnya terhenti tepat di sebelah si bungsu yang sedang tertidur lelap. Dada gadis kecil itu naik turun secara teratur sesuai dengan raut wajahnya yang nampak damai. Wanita itu menyingkap kaos yang dikenakan gadis di hadapannya hingga memperlihatkan bekas operasi yang terpampang jelas. Tangannya refleks mengelus bekas operasi itu perlahan. Raut wajahnya tidak terbaca.

            “Eom-eomma?” Raekyo terbangun dari tidurnya. Rupanya sentuhan sang wanita sukses membangunkan gadis itu. Begitu Raekyo berhasil mengumpulkan kesadarannya secara penuh, ia menghambur memeluk sang eomma. “Eomma bogoshipoyo! Rae kangen eomma. Oppadeul juga kangen eomma. Kenapa eomma pergi? Apa karena Rae nakal? Apa karena oppadeul ada yang nakal?”

            Sang wanita duduk bersandar di kepala ranjang, tangannya memgangkat tubuh gadis kecil itu hingga posisi mereka setengah tertidur sambil berpelukan. Raekyo senang bukan kepalang, ini pertama kalinya sang eomma memeluknya seperti ini. Walau tidak ada senyuman dari wajah sang eomma namun pelukannya hangat sekali. Tanpa sadar Raekyo mengeratkan pelukannya pada sang eomma sambil mendesah puas.

            “Eomma jangan pergi lagi ne?”

            “Kenapa kau memberitahu appamu mengenai operasi itu? Kau tidak ingat apa yang pernah kubilang tentang tutup mulut?” Nada suara sang eomma membuat Raekyo mendongak menatap mata eommanya.

            “Eom-eomma. Mianhe. Rae tidak sengaja. Appa yang memaksa Rae, kata appa Rae tidak boleh bohong. Bohong itu dosa.” Raekyo mulai ketakutan. Ia takut eommanya memarahinya.

            “Kau sudah berjanji padaku. Kau melanggar perjanjian denganku bukankah itu juga dosa? Kemarin kau janji tidak akan cerita ke siapa-siapa ternyata kau cerita, bagaimana dengan janjimu untuk tidak cerita pada Kyuhyun juga? Apa nantinya akan kaulanggar juga?”

            “A-ani. Rae hanya cerita pada appa. Rae tidak cerita pada oppadeul. Rae juga tidak akan cerita pada Kyu oppa.”

            “Bohong! Kau sudah melanggar janjimu, pembohong sepertimu harus dihukum.”

            “Rae benar-benar tidak akan cerita pada oppadeul eomma. Maafkan Rae.” Raekyo melepaskan pelukannya dengan takut-takut.     

            “Dasar benalu! Karena kamu semua berantakan. Keluarga sempurna yang susah payah kubangun rusak karena mulutmu yang tidak bisa menjaga rahasia! Aku cerai karena ulahmu. Appamu kehilangan istrinya juga karena kamu. Semua oppa mu kehilangan ibunya karena kamu juga. Nantinya kau akan bilang semuanya pada Kyuhyun kan? Kau akan sengaja menghancurkan Kyuhyun kan? Tidak akan kubiarkan itu semua terjadi. Dasar anak sampah! Kamu harus dihukum!” Perkataan yang menusuk itu membuat Raekyo membeku seutuhnya. Ia tidak menyangka sang eomma begitu membencinya. Saat wanita itu mengeluarkan benda pipih berkilau dari kantung tasnya, Raekyo mundur ketakutan.

            “Eomma jangan.. Eomma mianhe. Rae janji tidak akan mengulang lagi. Ampun eomma.” Gadis itu tahu benda di tangan eommanya akan menyakitinya. Ia baru saja mempelajari aneka benda tajam di dapur dan yang eommanya pegang adalah salah satunya. Tubuh kecilnya bergetar sambil bersandar ke tembok. Matanya tidak luput memperhatikan sang eomma yang kini perlahan berjalan mendekat padanya.

            “Mau ke mana kau setan?!” Sang eomma tidak menghiraukan teriakan kesakitan putrid bungsunya yang rambutnya ia tarik sekuat tenaga hingga kepala gadis itu menengadah ke atas. Tangis gadis itu pecah sudah. Sekuat tenaga Raekyo menginjak kaki eommanya dan memukul-mukul dengan ganas hingga ia terlepas dari cengkraman sang eomma. Dengan kalut Raekyo berlari ke arah pintu, namun terkunci dan kuncinya entah di mana, ia yakin sang eomma yang menyembunyikannya. Dengan cepat ia menilai situasi, ia berlari ke arah jendela kamarnya yang tertutup, entah karena sial atau tangannya yang bergetar hebat, kunci jendela tidak mau terputar membuka. Raekyo mulai menggedor kaca dengan panik.

            “APPA!! OPPA!! TOLONG!! APPA!! SIAPAPUN TOLONG!!” Raekyo tidak bisa berkutik ketika sang eomma memeluknya dengan kuat dari belakang. Dengan kekuatan yang besar, sang eomma membanting tubuh kecilnya ke lantai lalu kemudian menyeretnya ke pangkuannya dan menjepit tubuh kecilnya dengan kedua kakinya erat-erat. Raekyo menggeliat berusaha membebaskan diri namun kekuatannya tidak sebanding. Ia menatap ketakutan ketika sang eomma menahan salah satu pergelangan tangannya ke lantai. Cakaran, tendangan, pukulannya sudah tidak berguna lagi. Raekyo menahan nafas saat bilah pisau mendekat ke pergelangan tangannya.

            Jeritan memilukan sarat akan kesakitan itu sama sekali tidak membuat sang eomma berjengit. Dengan santai ia terus mengiris pergelangan tangan gadis di dekapannya makin lama makin dalam. Darah segar muncrat ke mana-mana. Raekyo terus saja berteriak kesakitan sambil menangis. Tubuhnya bergetar hebat. Ketika akhirnya tubuh kecilnya dilepaskan, Raekyo sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya lemas luar biasa. Ia hanya bisa pasrah saat tubuhnya dihempaskan begitu saja ke lantai. Kesadarannya mulai timbul tenggelam. Tidak kuat lagi, Raekyo menyerahkan kesadarannya seutuhnya pada kegelapan, mencoba menyamankan dirinya di dalam genangan darah milik dirinya sendiri.

            Lagi-lagi semua terdiam begitu Leeteuk selesai bercerita. Donghae kembali menangis keras, namun kini Leeteuk dan bahkan Kibum ikut menangis. “Saat itu aku pulang ke rumah duluan, tanpa sengaja aku melihat Raekyo menggedor kaca kamarnya, ketika sampai di sana.. Raekyo.. Dia… Aku tidak ingat bagaimana aku bisa membawa Raekyo ke rumah sakit. Suasananya sangat kacau, Raekyo hampir tidak selamat. Eomma juga tidak ditemukan di mana-mana. Beberapa informan appa memberitahu eomma langsung kabur ke Jepang setelah melakukan perbuatan keji itu. Kalian bertiga langsung diungsikan ke rumah paman kembali. Kalian ingat? Hanya aku yang tidak karena aku sudah terlanjur tahu dan appa saat itu, appa sangat hancur, appa butuh seseorang untuk menemaninya. Akhirnya appa tidak membawa kasus eomma ke polisi karena hal itulah yang pertama kali Raekyo minta saat ia sadar dari komanya.”

            “Kenapa kami tidak diberi tahu?”

            “Itu… Raekyo juga yang meminta. Ia bahkan sampai berlutut di hadapanku dan appa. Ia berkata ia tidak mau melanggar perjanjian lagi dengan eomma dan membuat eomma marah lagi. Aku… Aku sangat menyesal. Mianhe. Harusnya aku memberitahu kalian, kalian berhak untuk tahu. Jeongmal mianhe.” Leeteuk kembali menangis.

            “Karena itukah Raekyo bahkan tidak pernah merindukan eomma? Karena itukah ia menjadi pribadi yang tertutup? Karena itukah Raekyo trauma dengan ruang tertutup? Karena itukah ia tidur selalu harus dengan jendela terbuka lebar? Agar bila kejadian itu terulang teriakan minta tolongnya dapat terdengar ke luar? Dasar gadis bodoh!! Kenapa menyimpan semuanya sendirian?! Dia anggap apa kita oppanya?!” Donghae menggebrak meja dengan keras. Air matanya bercucuran.

            “Kibum-ah.. Cho Kibum..” Leeteuk memanggil Kibum yang masih saja betah dengan sikap diamnya. Pemuda itu kini beranjak dari kursinya, berjalan terseok-seok menuju ke pintu ruangan, “Kibum-ah, jangan ikut hancur. Hyung mohon. Kalau bukan kita yang kuat siapa lagi? Raekyo dan Kyuhyun butuh kita. Kibum-ah?” Kibum berhenti sambil tetap memunggungi Leeteuk dan Donghae. Namun dari ketegangan di bahunya, Leeteuk tahu Kibum mendengarkan ucapannya.

            “Kibum-ah?” Leeteuk menghampiri Kibum yang masih terpaku di tempatnya. Si sulung berdiri ke hadapan Kibum, pemuda stoic itu reflek menundukkan kepalanya menghindari tatapan kakak sulungnya. “Cho Kibum, jangan ikut hancur, hyung mohon. Hyung mohon, jeballl..Ki…” Greb!! Leeteuk terkejut ketika Kibum memeluk dirinya sekuat tenaga. Pemuda itu menenggelamkan kepalanya di dada bidang si sulung dan menangis keras di sana, mengeluarkan semua sesak hatinya yang dari tadi ia tahan. Leeteuk balik memeluk Kibum dengan sama eratnya, mencoba menyalurkan kekuatan pada sang adik walau dirinya sendiri menangis. Tidak lama kemudian Donghae bergabung, merengkuh kakak dan adiknya ke dalam pelukannya. Walau bajaunya basah semua, walau tangannya pegal karena memeluk kedua adiknya begitu erat, tapi Leeteuk tidak peduli. Sejujurnya, ia malah merasa lega. Tangis kedua adiknya membuat Leeteuk yakin Donghae dan Kibum kuat menanggung semua ini. Pengalamannya dengan Raekyo membuat Leeteuk yakin tangisan memberikan kekuatan kepada orang yang bersangkutan. Tidak seperti adik bungsunya yang sama sekali tidak pernah menangis setelah bangun dari komanya, hingga membuat Leeteuk menyadari Raekyo sangat hancur di waktu yang sudah sangat terlambat. Tadi Leeteuk sempat was-was saat Kibum tidak bereaksi sama sekali. Kini, Leeteuk mengerti perkataan appanya, membagi beban dengan adik-adiknya terasa melegakan, appanya benar tentang satu hal, setidaknya tentang Donghae dan Kibum, mereka berdua sekuat dirinya juga. Leeteuk menyadari kedua adiknya ini telah benar-benar dewasa. Menyingkirkan kenangan pahit dan keadaan tidak jelas di hadapannya, Leeteuk mencoba memusatkan perhatian pada dua sosok nyata dalam dekapannya yang hingga kini masih tersedu-sedu. Leeteuk tersenyum kecil, mengeratkan kembali pelukannya.

            “Gomawo Donghae-ah, Kibum-ah. Gomawo.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Awaefkyu1311 #1
Chapter 7: please buat kyuhyun tau secepatnya.... hihiiii
Awaefkyu1311 #2
Chapter 5: ff mu yg ni jg baguussss.... aku suka... please cepet di update...