The Story I Didn't Know (Bahasa Indonesia)

Description


|Author| Vania Akari |Casts|Hwang Minhyun x OC|Genre|Angst, Psychology |Length|Ficlet|Rating|PG-15
Notes : Dihimbau menonton MV IU – Only I didn’t Know supaya lebih tergambarkan scene-nya

 

Its better for me to die than don’t remember anything.
 

Foreword

“Nama?”
“................”
“Malam itu anda berada di tempat seperti apa?”
“................”
“Anda ingat sesuatu di malam itu?”
“...............”
“Apakah anda....mengingat wanita ini?”
........
........
........
........
“Dia...........aku....aku.....tidak tahu”


Tubuh pria pucat berambut hitam pekat itu bergetar hebat. Peluh mengalir dari seluruh tubuhnya. Air mata mengalir dari sudut mata almodnya. Isakan yang tadiya hanya terdengar sayup-sayup semakin lama semakin mengeras menjadi erangan. Tangan yang penuh bekas luka itu berusaha mencari apa saja yang dapat ia raih. Ia meraih sebuah bolpoint yang dipegang oleh seorang berseragam putih di depannya, kemudian menusukkannya pada telapak tangan kirinya. Darah mengalir deras bersamaan dengan air matanya. Ia kembali mencoba menusukkannya pada tubuhnya, kali ini pada pergelangan tangannya. 
“Perawat hentikan dia!!!! Bawa dia kembali ke kamarnya!”
Beberapa orang berseragam putih dengan segera memegang kedua tangannya sehingga ia tidak dapat kembali melukai dirinya sendiri. 
“Lepaskan aku!!!”
“Ayo pasien Minhyun anda harus kembali ke kamar anda!”
“Lepaskan aku!!! Biarkan aku mati!!!! Lepaskan aku!!! ARGHHHHH!!!!


---#---


Minhyun terbaring di sebuah ranjang di tengah sebuah ruangan putih kosong yang tidak terdapat apapun di sana kecuali sebuah ranjang serta dirinya yang terbaring tidak berdaya. Perban di tangan kirinya mengingatkannya pada kejadian hari itu, saat ia kembali di bawa ke sebuah ruangan gelap itu di hadapan orang-orang berpakaian putih yang tidak dikenalnya. Matanya terasa memanas saat ia mengingat foto wanita itu, yang sama sekali tidak dia tahu siapa. Yang ia tahu, hatinya terasa sakit saat melihat wanita itu kemudian kesedihan yang tidak tergambarkan meluap dari hatinya yang digambarkan dengan tangisan dan erangan keras yang ia sendiri tidak tahu penyebabnya. Hatinya terasa sangat perih, bagaikan ada ribuan pisau yang menyayat-nyayat jantungnya secara perlahan. Rasa sakit itu sangat hebat, sampai-sampai demi menghilangkannya ia lebih memilih untuk menyakiti dirinya sendiri yang anehnya dapat menghilangkan rasa perih di hatinya. Bahkan, ia lebih memilih untuk mati daripada harus menahan rasa sakit itu lebih lama. Ya...lebih baik mati dibandingkan menjalani kehidupan dari seseorang bernama Hwang Minhyun. Ia merasa hari itu berbeda dari hari-hari sebelumnya, ia ingat semua kejadian yang barusan dialaminya. Menurut perawat-perawat di sana, ia akan melupakan semuanya saat ia melihat foto wanita itu. Hal itu membuatnya harus belajar dari awal lagi segala sesuatunya bahkan, tentang dirinya yang adalah seorang pria berusia 23 tahun bernama Hwang Minhyun.   

                             
Suara jam dinding dapat terdengar jelas di telinganya. Ia berusaha menyamakan suara detak jam dinding dengan detak jantungnya yang ia sesali masih berdetak sampai saat ini. Tidak ada yang spesial dari pagi itu. Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, pada pukul 7 perawat akan masuk ke ruangannya, membuka tirai jendelanya kemudian berusaha menyuapi makanan yang tentunya tidak ingin ia makan. Dia berulang kali menolak suapan perawat itu, hingga akhirnya ia melemparkan piring itu ke lantai kemudian berusaha mencari pecahan kaca atau apapaun yang nampak tajam, agar ia bisa mencoba membunuh dirinya lagi. Sayangnya, ia kembali gagal mengakhiri hidupnya, dan berakhir tertidur dengan tangan dan kaki terikat di tempat tidurnya setelah dokter menyuntikkan obat penenang ke tubuhnya.                                         

Minhyun kembali membuka mataya. Ia tidak ingat sudah berapa lama ia tertidur. Ia berusaha menggerakkan tangan dan kakinya yang sepertinya sudah tidak terikat. Ia menatap kosong ke langit-langit berwarna putih bersih yanghanya dihiasi sebuah lampu LED. Ia memandang iri ke langit-langit yang paling tidak, tidak hidup sendirian di sana. Ia masih ditemani sebuah lampu, dibandingkan dengan dirinya yang hidup tanpa siapa-siapa, lebih tepatnya tanpa mengenal siapapun, tanpa ingatan apapun. Ia memusatkan pendengarannya pada suara detak jam yang paling tidak menandakan kalau ia masih bernyawa, masih dapat mendengar. Suara detak jam itu, semakin lama semakin mengeras. Semakin lama ia dengar, suara itu tidak lagi seperti suara jam melainkan langkah sepatu. Ia mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang terbuka secara perlahan. Samar-samar ia melihat sesosok wanita dengan mantel berwarna coklat pastel dan rambut coklat bergelombang. Matanya berwana coklat pekat sebening bola kristal. Kedua mata itu memandang tepat ke mata Minhyun. Begitu pandangan mereka bertemu, jantungnya berdetak sangat kencang, lebih cepat dari detak jam yang sering ia dengar. Ia seperti sangat mengenal kedua mata indah itu. Semakin lama wajah wanita itu terlihat semakin jelas. Mata itu, hidung mancung itu, rambut indah itu sangat mirip dengan wanita yang ada di foto yang sering diperlihatkan padanya. Sekita itu juga, tangisannya pecah. Tubuhnya kembali bergetar, hatinya terasa sangat sakit.  Ia meraung kesakitan sambil memegang kepalanya yang terasa berputar-putar. 


“Hwang Minhyun............”

Suara lembut wanita itu terdengar sangat dekat di telinganya. Tubuhnya yang bergetar semakin lama menjadi semakin tenang. Rasa sakit di kepalanya juga semakin mereda. Tanpa disadarinya wanita itu memperangkap tubuh kurusnya dalam pelukannya. Kehangatan seketika menjalar di seluruh tubuhnya yang selalu diliputi kedinginan. Aroma liliy menyerbak dari tubuh wanita itu, yang anehnya membuat Minhyun sangat tenang. Aroma itu, kehangatan itu sangat dikenalnya....ia mengenal sosok itu ia merindukan kehangatan itu. Air mata tidak berhenti mengalir dari matanya tapi kali ini bukan kesedihan tetapi kelegaan, karena untuk pertama kalinya ia bertemu dengan seseorang yang sangat dikenal oleh tubuhnya.                                         

“Hwang Minhyun, aku sangat merindukanmu.....apa kau tidak merindukanku?”

“Aku.......sangat merindukanmu”


                      ---#---

Hwang Minhyun tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wanita yang sedang merangkai bunga di hadapannya. Meskipun ia masih tidak ingat siapa wanita itu, hatinya merasa sangat bahagia. Untuk pertama kalinya, sejauh yang ia ingat bibirnya dapat membentuk sebuah senyuman. Untuk pertama kalinya juga ia merasa udara di sekitarnya terasa hangat dan segar. Sekali lagi dalam hidupnya, ia kembali memiliki keinginan untuk hidup sedikit lebih lama, ia ingin lebih lama bersama dengan wanita itu. 


“Minhyun, apakah bunga ini cantik?”tanya wanita itu sambil menunjukkan senyumannya yang indah. Minhyun menjawabnya dengan anggukan sambil tetap melekatkan pandangannya ke wanita itu. Wanita itu melangkah mengambil sebuah pot, kemudian meletakkan bunga itu di atas meja yang seingatnya sebelumnya tidak ada di sana. Wanita itu kembali duduk di sampingnya. Minhyun menjulurkan tangannya, ia ingin sekali lagi menyentuh wanita yang sangat dirindukannya itu. Sebelum tangan Minhyun mencapai wajah wanita itu, wanita itu menggenggam erat tangan Minhyun. 
“Mengapa tanganmu dingin sekali? Aku akan menghangatkannya.” Wanita itu meraih tangan Minhyun yang satunya kemudian meniupkan angin hangat ke tangan Minhyun yang dingin. Kemudian ia meletakkan kedua tangan Minhyun di pipinya yang seketika bersemu merah. 
“Kalau begini, sudah terasa lebih hangat, kan? Kau tahu, tanganmu sangat besar dibandingkan tanganku. Lihat jemarimu panjang sekali meskipun sekarang jadi sangat kurus.” Wanita itu memandangi tangan Minhyun yang ia letakkan di atas telapak tangannya. 
“Tapi sayang, sekarang ada banyak luka di sini. Ini pasti terasa sangat sakit.” Kataya sambil menyentuh dengan lembut luka yang masih ditutupi perban. Mata wanita itu kembali memandang dalam kedua mata hitam Minhyun. Air mata wanita itu tiba-tiba mengalir dari ujung matanya. Melihat wanita itu menangis, Minhyun juga ikut menetaskan air matanya. 

“Jangan menangis.....aku tidak mau kau menangis.......”

“Minhyun, kau harus cepat pulih sehingga kau bisa mengingatku......” 

---#---

 “Minhyun, bangun....... apa kau ingin berjalan-jalan? Cuaca di luar sangat cerah.” 

Minhyun terkejut mendengar suara wanita itu lagi di pagi itu. Ia pikir wanita itu hanya muncul dalam mimpinya. Ia sangat sedih ketika mengira jika ia membuka matanya di pagi itu, ia akan kembali sendirian. Hatinya terasa sangat bahagia begitu ia tahu bahwa pagi itu wanita itu kembali datang menemuinya, yang berarti semua yang dialaminya kemarin bukanlah mimpi. Tanpa menunggu reaksi Minhyun, wanita itu membantu Minhyun berdiri, menggandeng tangannya, kemudian menuntunnya keluar dari kamar yang bagaikan penjara baginya. Mereka berjalan ke taman yang ada di belakang gedung itu. Ia terpena melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Sebuah padang rumput berwana kekuningan terbentang luas di sana. Pohon-pohon pinus berdiri dengan gagah di sekitar padang yang luas itu seolah berusaha menampakkan keperkasaannya diantara tumbuhan-tumbuhan lain yang terlihat kecil di sekelilingnya. Minhyun tidak pernah tahu ada taman seindah itu di sana. Ia pikir yang ada di belakang rumah sakit jiwa itu adalah kompleks pemakaman, karena pasien-pasien di sana banyak sekali yang berkali-kali mencoba bunuh diri. Yang dulu, juga selalu ingin dia lakukan. Tapi sekarang, semuanya terasa begitu sempurna. Dia berada di sebuah taman yang sangat indah, bersama dengan seorang wanita yang ia tahu, sangat ia cintai. Bahkan cahaya matahari yang biasanya ia rasa sangat mengganggunya, saat itu bersinar cerah seakan-akan ikut berbahagia bersamanya. 

“Minhyun, jangan cuma bengong begitu......ayo coba tangkap aku!” seru wanita itu sambil berlarian di tengah rumput setinggi mata kaki yang terasa sangat lembut. Minhyun megikuti wanita itu, awalnya ia hanya berjalan. Tubuhnya yang sudah lama tidak digerakkan itu, terasa sakit ketika tiba-tiba dipaksa untuk digerakkan dengan cepat. Lama kelamaan ia dapat memperlebar langkahnya dan mengejar wanita itu. Minhyun dapat mengeluarkan tawanya tanpa beban apapun. Senyumnya dapat terukir dengan sempurna. Wajahnya yang selama ini sangat pucat, terlihat jauh lebih segar sehingga ketampanannya terpancar dengan jelas.   
“Aku akan menangkapmu Jeon Sukyung!!!” nama itu terucap begitu saja dari bibirnya. Setelah ia berhasil menangkap wanita itu dalam pelukannya, ia baru sadar kalau ia dapat mengingat nama wanita itu, ya nama wanita itu adalah Jeon Sukyung. 

“Kau sudah mengingatku?” 

Seketika itu ingatanya kembali padanya. Padang rumput itu, pohon pinus itu, terasa tidak asing baginya, ia pernah berada di sana bersama Jeon Sukyung, tunangannya. Momen-momen indah bersama dengan satu-satunya wanita yang sangat dicintainya berdatangan bagaikan sebuah film. Sekarang ia dapat mengingat dengan jelas siapa dirinya dan siapa wanita itu. Akan tetapi, seperti sebuah puzzle yang belum lengkap, masih tersisa ingatan yang belum kembali padanya, dan ingatan itu terasa merupakan ingatan terpentingnya. Tetapi saat itu, ia tidak ingin mempermasalahkan hal itu. Yang penting sekarang ia sudah mengingat siapa wanita itu, dan menurutnya itulah yang terpenting. Mereka berdua terjatuh di atas rerumputan dengan posisi Sungkyung berada di pelukan Minhyun. Minhyun memandangi wajah Sungkyung yang hanya terpisah beberapa inchi saja darinya dengan penuh cinta. Degup kencang jantung wanita itu terdengar bagaikan alunan musik yang sangat indah di telinganya. Air mata haru mengalir dari matanya, ia sangat bahagia akhirnya ia kembali bisa mengingat wanita yang paling berarti dalam hidupnya. 

“Jeon Sukyung....aku sudah mengingatmu...terima kasih sudah kembali dalam hidupku.” Minhyun mempererat pelukannya pada wanita itu yang membuat jarak di antara mereka semakin menipis. Minhyun memandang kedua mata indah Sukyung kemudian mengalihkan pandangannya pada bibir indah Sukyung. Ia mendekatkan bibirnya ke bibir Sukyung, kemudian menciumnya. Ia melumat lembut bibir Sukyung, menikmati setiap detik kebahagian yang akhirnya dapat kembali dalam hidupnya. 
                          --#--

“Minhyun, aku ingin menunjukkan suatu tempat padamu.” Sukyung mengakhiri ciumannya kemudian berdiri dan berusah menarik tangan Minhyun untuk mengikutinya ke tempat yang ingin ditunjukkannya. Langkah mereka menjauh dari padang rumput yang hangat itu menuju ke tengah hutan pinus yang gelap dan dingin. Sukyung terus menuntun Minhyun jauh ke dalam hutan itu. Langkah mereka terhenti di sebuah rumah tua terbuat dari kayu yang terlihat sudah sangat tua dan rapuh. 
“Mengapa kau mengajakku ke sini? Apa yang ingin kau perlihatkan padaku, Sukyung?”
Sukyung tidak menjawab pertanyaan Minhyun, ia melepaskan genggaman tangannya kemudian berlari masuk ke dalam rumah itu. Dengan ragu, Minhyun mengikuti Sukyung masuk ke rumah itu. Keadaan dalam rumah itu lebih buruk dari luarnya. Seluruh rumah itu ditutupi oleh debu dan sarang laba-laba menggantung di langit-langitnya. 
“Sukyung kamu di mana?” Sukyung tiba-tiba menghilang begitu saja saat ia masuk ke rumah itu. 
“Maafkan aku......maafkan aku.....” Minhyun mendengar suara tangisan seorang pria dari sebuah kamar yang ada di sana. Minhyun segera menuju ke kamar itu berharap dapat menemukan Sukyung di sana. Apa yang ia lihat di dalam kamar itu mengejutkannya. Ia melihat tubuh Sukyung terbaring di lantai yang dipenuhi darah. Gaun putih Sukyung sekarang sudah berubah menjadi merah dipenuhi darah yang terus mengalir dari tubuhnya. Seketika itu juga, hati Minhyun hancur. Air mata dan erangan kembali memenuhi wajahnya. Ia tidak menyangka ia harus kembali kehilangan orang yang sangat dicintainya, tepat saat ia menemukannya. Ia merasa saat itu ia benar-benar akan menyerah pada hidupnya. 
“SUKYUNG!!!!” Minhyun mendekap tubuh tak bernyawa itu dengan erat. Bajunya sekarang juga sudah dipenuhi dengan darah. 
“Sukyung...jangan mati!!! Kenapa kau meninggalkanku lagi Sukyung??? Jangan tinggalkan aku Sukyung....Bawalah aku bersamamu...Sukyung!!!!!” Ia baru menyadari sesosok pria yang ada di sampingnya. Pria itu memegang sebilah pisau di tangannya. Pria itu terlihat sedang menangis. Minhyun yakin pria itulah yang telah membunuh Sukyung. Ia tidak akan mengampuni pria itu, ia akan membunuh pria itu jutaan kali lebih kejam dari yang ia lakukan pada tunangannya. Ia akan membuat hidup pria itu menderita. 

“Kau......apa yang kau lakukan pada Sukyungku? Kenapa kau membunuhnya?? Aku akan membunuhmu!!!! Aku tidak akan mengampunimu!!!!!”

DEG

Minhyun terperanggah begitu melihat wajah pria itu. 
Pria itu.....
Pria itu....
Adalah dirinya, Hwang Minhyun.
Seketika itu juga, semua ingatannya kembali padanya. Ia mengingat semua yang ia lakukan pada Sukyung. Semua yang terjadi sebelum ia akhirnya melakukan hal yang mengerikan pada tunangannya sendiri yang sangat dicintainya. 
“Tidak.....tidak mungkin...Itu bukan aku.... Apa yang telah aku lakukan? ITU BUKAANNNN AKUUUU!!!! AKUUU TIDAKK MUNGKIN MEMBUNUH SUKYUNGGG!!!!SUKYUUUUNGGGG!!!!!!” 
Minhyun menangis dan mengerang sejadi-jadinya. Rasa perih itu, rasa sakit yang sangat menyiksa itu,  kembali ia rasakan. Sekarang ia mengerti kenapa ia selalu mengalami kesedihan itu saat ia melihat foto Sukyung. Sekarang ia tahu alasan mengapa ia menjadi seperti itu, semua itu terjadi padanya karena ia membunuh Sukyung. Ia benar-benar membenci dirinya. Ia tidak bisa mengampuni seseorang yang tega membunuh orang yang paling dicintainya dengan kedua tangannya sendiri. Minhyun tidak dapat menyebut dirinya lagi manusia.Ia tidak dapat kembali meneruskan hidupnya sebagai manusia. Saat itu ia benar-benar ingin membunuh dirinya sendiri dan menebus segala dosanya pada Sukyung di neraka. Minhyun menyadari dirinya sekarang sudah tidak lagi berada di tengah hutan tetapi kembali di kamarnya. Ia melihat sebuah tapi yang digunakan untuk mengikat tangan dan kakinya sebelumnya. 
“Aku harus mati sekarang.”


--#--


“Nama?”
“................”
“Malam itu anda berada di tempat seperti apa?”
“................”
“Anda ingat sesuatu di malam itu?”
“...............”
“Apakah anda....mengingat wanita ini?”
 “Dia...........aku....aku.....tidak tahu”

TAMAT

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet