Chapter 22

With You
Please Subscribe to read the full chapter

Ruang persegi empat dengan sebuah tanda bertuliskan ruangan psikiatri yang tertempel di pintu bewarna putih itu terlihat cukup sunyi. Seorang wanita muda yang menjadi pasien dari dokter pemilik ruangan yang empat tahun terakhir menjalani terapi dengannya itu nampak menunduk setelah dia selesai memaparkan kondisinya dua minggu ini.

Dokter itu menghela napas, ada sedikit kerisauan karena sang pasien yang sebelumnya sudah jarang mengkonsumsi obat penenangnya itu kini malah seakan kembali seperti keadaan semula. Dia kembali menjadi orang yang dengan mudahnya merubah perasaan senang menjadi buruk, juga sebaliknya.

"Tolong resepkan obat untukku lagi."

"Maaf Jessica, bukan itu yang kau butuhkan."

"Lantas apa yang harus kulakukan? Aku sudah melawannya selama empat tahun tapi hasilnya sama saja. Berikan aku obat yang bisa membuatku seperti orang normal lainnya. Aku sudah lelah."

"Obat bukanlah solusi utamanya. Kita jadwalkan terapi seperti semula. Minggu depan kau datanglah lagi. Apa yang terjadi? Selama beberapa bulan terakhir kau sudah membaik. Ceritalah, siapa tahu itu bisa meringankan stress yang kau alami saat ini."

Jessica menggeleng dengan lemas. Dia tak tahu apakah dengan menceritakan kerisauannya itu bisa membuat perasaannya membaik dan bebas dari obat-obatan di dalam tasnya.

Kelas yang baru saja diakhiri seorang pria paruh baya itu nampak sedikit riuh. Amber dan teman kelasnya mengepak buku-buku mereka untuk segera keluar dan melanjutkan jadwal lainnya.

Amber mengirimkan sebuah pesan kepada teman sekaligus wakilnya di kafe Jackson kalau malam ini dia akan sedikit terlambat untuk sampai karena ada sedikit urusan di kampus. Setelah itu Amber ganti mengirim pesan pada Jessica karena sejak pagi wanita itu sama sekali tidak membalas pesannya.

Belum sempat Amber mengirim pesan itu ponselnya malah berdering. Dia tersenyum karena wanita yang ia risaukan seharian itu akhirnya menghubungi dirinya.

"Dimana?"

"Kampus. Kenapa Noona tidak membalas pesanku? Noona ada dimana?"

"Aku? Tentu saja di rumah. Memangnya dimana lagi." Jessica mengedarkan pandangannya keluar jendela rumah sakit tempatnya berdiri.

"Ada yang salah? Kenapa suara Noona lemas sekali? Noona sakit?"

"Tidak, mungkin karena aku baru saja bangun dari tidur."

"Ah~ Aku kira kenapa."

"Amber."

"Iya?"

"Bisakah kau datang kemari? Aku ingin bertemu denganmu."

Amber bingung pada permintaan Jessica. Seharian ini dia memiliki janji yang tak bisa dibatalkan dengan seorang dosen. Namun, dia juga tak ingin menolak permintaan kekasihnya itu. Amber pun mencoba menjelaskan dengan sehalus mungkin tentang dia yang tak bisa menemui Jessica hari ini. Setelah selesai dengan urusan kampus dia juga harus ke kafe untuk mendiskusikan laporan bulanan dengan Jackson.

"Maaf Noona,"

"Tidak apa, lakukan saja kegiatanmu. Kita bisa bertemu lain hari. Semoga harimu lancar."

Belum sempat Amber membalas salam Jessica, wanita itu malah memutuskan telfonnya secara sepihak. Hal tersebut berhasil membuat Amber risau, entah mengapa dia merasakan jika ada sesuatu dengan Jessica. Tapi mau tidak mau dia harus menunggu sampai esok untuk memastikan keadaan Jessica karena hari ini dia memang tidak bisa bertemu dengannya.

~

Pagi-pagi sekali Amber nampak duduk di halte menunggu datangnya bus. Jam baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Tapi pria itu sudah nampak rapi hendak pergi ke sebuah tempat yang sudah ia rencanakan semalam.

Amber berjalan sambil menenteng beberapa makanan yang ia beli di jalan. Dia semakin mempercepat langkahnya agar segera sampai dan bisa sarapan dengan Jessica yang mungkin saat ini masih tertidur di rumahnya. Selain itu dia juga ingin memastikan keadaan Jessica setelah mendengar suara lemas tak bersemangat yang sangat jarang ia dengar.

Suara bel terdengar nyaring diseluruh sisi rumah Jessica.

Jessica sempat penasaran dan kesal dengan sosok orang yang menekan bel rumahnya itu. Karena menurutnya itu terlalu pagi bagi seseorang untuk bertamu. Namun, rasa penasaran Jessica seketika hilang menjadi rasa terkejut ketika melihat Amber berdiri di depannya sambil menyunggingkan senyum yang lebar seraya menucapkan salam.

"Apa yang kau lakukan disini?"

"Sarapan." singkat Amber kemudian menyelonong masuk menuju dapur padahal Jessica belum mempersilahkannya.

Jessica duduk di meja ruang makan sambil melihat Amber yang sedang menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Kekecewaan yang sempat memenuhi dirinya kemarin karena tak bisa bertemu dan bersandar pada Amber pagi itu seketika menghilang.

Selama sarapan tidak banyak yang mereka bicarakan. Karena keduanya sama-sama berdiam diri. Jessica ragu akan apa yang ingin dia katakan, sementara Amber takut untuk bertanya tentang keadaan Jessica yang seakan kurang bersemangat itu.

"Noona, makan yang banyak."

"Iya,"

"Noona sakit?"

"Tidak,"

"Lalu kenapa Noona lemas seperti itu? Noona bahkan tidak secerewet biasanya. Ada apa?"

Jessica diam. Alasan dibalik keadaannya saat itu adalah karena sosok dihadapannya. Rasa sedih yang entah mengapa hadir itu seakan membuatnya lemas dan tak bertenaga. Seandainya bisa, dia juga tak ingin merasa seperti itu.

"Sudah lama kau tidak mengajakku kencan."

Amber mengernyit bingung. Sesaat kemudian dia tersenyum mendengar alasan palsu yang Jessica ucapkan tadi. Seakan paham dengan maksud kekasihnya Amber pun menawarkan kencan pada hari itu juga. Jessica mengangguk setuju, awan gelap yang sejak beberapa hari yang lalu selalu menyelimutinya seketika menghilang.

"Apa hari kau tidak ada kuliah?"

"Ada, tapi aku bisa membolos. Aku bosan menjadi mahasiswa teladan, aku ingin sekali-kali menjadi bad boy."

"Kau pikir bad boy itu keren?"

"Bukankah para wanita suka bad boy? Teman wanitaku di sekolah dan kampus semuanya jatuh hati dengan bad boy."

"Aku tidak suka. Bad boy itu tidak keren. Tapi berhubung aku sedang berbaik hati maka aku akan membiarkanmu menjadi bad boy untuk hari ini."

"Noona mau pergi ke mana?"

"Entahlah. Aku juga tidak tahu."

Jessica mengangkat kedua pundaknya sambil memikirkan suatu kegiatan yang menyenangkan. Namun isi kepalanya seakan kosong.

Melihat sebuah konsol game tergeletak di samping televisi Amber pun memberikan idenya untuk bermain game, dan setiap yang kalah harus rela menerima hukuman. Sebuah hukuman, yang bebas diberikan oleh si pemenang.

Wajah serius tak pernah hilang selama Amber menekan tombol joystick di tangannya. Dia menyesal karena sudah mengajak main seorang progamer seperti Jessica, terlebih mengingat taruhan yang keduanya sepakati sesaat sebelum memulai permainan sepak bola yang sedang mereka mainkan itu.

Sorak sorai Jessica terdengar dengan jelas di telinga Amber. Ingin rasanya dia mengumpat, tapi hal itu segera ia urungkan mengingat siapa lawan mainnya. Seandainya orang yang sedang duduk disampingnya adalah Key, maka sudah dapat dipastikan semua umpatan segera meluncur dari mulutnya.

"Curang! Bagaimana bisa Noona melawan seorang amatiran sepertiku?!"

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
llamaber18 #1
Chapter 3: mntepp thorr
khezzia09 #2
Chapter 1: english version of this please
Ayanmorelos123 #3
Chapter 34: English ver. Please ?
Ayanmorelos123 #4
English version pleaseeee author?
myhh92
#5
Chapter 34: Great ending!very good job authorr~!
Aapark #6
Amazing
myhh92
#7
Chapter 27: awwww
myhh92
#8
Chapter 23: Wait wtf what?
myhh92
#9
Chapter 20: AAAAAAAAAAAAAAAAA SO CUTEEEE