Our Secret

Secret Romance in Paris
Please Subscribe to read the full chapter

Buruknya cuaca, guncangan di pesawat, serta pendaratan yang tidak mulus nyaris meremukkan setiap inci tulang Chanyeol. Ia bukanlah seseorang yang menyukai perjalanan jauh. Park Chanyeol adalah orang yang cukup apatis akan segala hal di sekelilingnya. Entah apa yang telah ia lakukan di kehidupan lampau hingga mendapatkan sebuah kemujuran seperti ini.

 

Menikah tak pernah sekali pun menjadi prioritas dalam hidup. Ia menyukai sebuah keleluasaan tanpa komitmen. Well, tidak sampai ia menemukan wanita yang beberapa jam lalu tengah melepas kepergiannya dengan hati berat. wanita yang mengisi harinya dengan ribuan warna hingga tak mengijinkan sekelumit kejenuhan mengambil alih. Ialah yang telah mengenalkan Chanyeol pada sesuatu seperti cinta; perasaan tak terdefinisi yang memiliki banyak makna di balik susunan lima huruf.

 

Chanyeol mendambakan sesuatu yang luar biasa untuk pernikahan mereka. Ia percaya bahwa sesuatu yang sakral takkan datang untuk yang kedua kali. Biar bagaimanapun, pernikahan mereka harus berakhir dengan sebuah impresi mendalam. Sesuatu yang takkan terseka oleh waktu, pun selalu dikenang oleh orang-orang di sekitar mereka.

 

Sungguh, Park Chanyeol bukanlah seseorang yang seperti ini sebelum ia berjumpa dengan si Calon Istri. Lelaki itu selalu menyebutnya belahan jiwa. Well, calon istrinyaya muak mendengar dua kata tersebut, tetapi Chanyeol terlampau menggemarinya.

 

Tujuan utama dari ketibaannya di Paris adalah untuk menimba inspirasi bagi tema pernikahan mereka kelak. Ia sejatinya hanya memiliki waktu dua bulan dan tak cukup mudah baginya untuk mendapatkan ijin dari sang Calon Istri. Alasan Chanyeol tak membawanya ikut serta adalah lantaran ia ingin menyimpan momentum tersebut untuk masa bulan madu mereka. Ia telah membeli dua lembar tiket keberangkatan ke London untuk hadiah pernikahan.

 

Dengan satu kopor mungil, ia melangkah terseret menuju gerbang keluar bandara. Kantong hitam mendekorasi mata letihnya. Kulit wajah Chanyeol nampak kucam, seakan-akan seluruh tenaganya terkuras tandas. Ia kemudian meletakkan kopor di atas alat x-ray dan berjalan memasuki alat sensor tubuh. Bunyi bising lantas meringking hingga Chanyeol terperanjat. Ia meneleng ke kanan dan ke kiri, mendapati salah seorang petugas bertubuh pendek tengah merapat ke arahnya. Ia tidak tersenyum, tidak pula bertampang ramah.

 

“W-what’s wrong?” tanya lelaki itu sembari merentangkan kedua lengan. Keningnya mengernyit linglung tatkala si Petugas memeriksanya sekali lagi dengan alat sensor yang ia pegang.

 

Alat tersebut mengeluarkan bunyi yang sama ketika melewati bagian pinggang Chanyeol.

 

“Please remove your belt, Sir.” ujarnya datar. Suaranya terdengar normal. Jika saja ia menunjukkan sedikit keramahan.

 

“Oh, sure.” Ujarnya cepat, menuruti perintah si Petugas.

 

“Now would you stand in the middle of the detector again?”

 

Chanyeol memutar kedua bola mata, namun masih mendengarkan ucapan gadis tersebut. Nyatanya, alat itu tetap berbunyi hingga sebuah umpatan tanpa sengaja meluncur dari celah kedua bibirnya. Ia melirik gadis di hadapannya sembari mendelik. Papan nama yang tersemat menciptakan tiga susunan kata. Dalam kejengahan lelaki itu sempat terkejut bahwa si Petugas adalah orang Korea, sama seperti dirinya.

 

“Can you speak Korean, Miss Ha?” tanya Chanyeol, dengan kemampuan berbahasa Inggris terbatas. Sekadar berkeladar, ia pula membawa dua macam kamus di dalam tas ranselnya.

 

“Tentu saja,” jawab Yeonmi sembari mengangguk acuh tak acuh. Ia meminta Chanyeol kembali menghampirinya dan mengulangi ritual sebelumnya. Alat sensor dalam tangannya berbunyi tepat di saku celana kanan Chanyeol. Ia tak berpikir panjang untuk segera meraba bagian tersebut.

 

“Hei, apa yang kaulakukan? Apa kau sudah gila?”

 

Yeonmi menghentikan kegiatannya dan menatap Chanyeol dengan pandangan menikam. “Apakah ini perjalanan pertama anda menggunakan transportasi udara, Tuan?”

 

Semburat merah mendekorasi kedua sisi wajah. Chanyeol lantas berpaling guna menudungi malu. “Te-tentu saja tidak.”

 

“Kalau begitu ini pertama kalinya anda melakukan perjalanan internasional?”

 

Itu bukan sebuah pertanyaan. Chanyeol tahu bahwa Yeonmi tengah mencibirnya. Tak keliru memang ucapannya, namun bisakah ia tidak memaparkan hal tersebut di depan banyak orang?

 

“Maaf, Tuan, bisakah anda mengikuti saya ke sudut ruangan agar tidak menghalangi proses yang lain?”

 

Chanyeol tak membuka suara. Ia hanya membuntuti Yeonmi yang menuntun jalan ke siku ruangan. Tak bersenggang jauh dari tempat semula sehingga beberapa orang masih dapat menyaksikan insiden memalukan tersebut. Dan demi Tuhan, Chanyeol berharap bahwa pijakan di bawahnya segera membelah dan menelan dirinya hidup-hidup. Ia tak tahu jika perjalanan pertamanya ke Paris akan bersalin menjadi sesuatu yang sangat memalukan.

 

Yeonmi kemudian kembali menyentuh saku celana Chanyeol tanpa aba-aba. Sementara lelaki tersebut berusaha menghindar dengan mengambil langkah mundur.

 

“Tuan, bisakah anda mengeluarkan benda di dalam saku celana?” pinta Yeonmi sembari menegakkan tubuh.

 

“Benda apa? Aku tak membawa apapun, sungguh!”

 

“Lakukan saja sesuai dengan ucapanku. Jika anda menolak maka itu akan semakin memancing kecurigaan.”

 

Kini lelaki tersebut meletakkan kedua tangan di sisi pinggang. Ia menatap Yeonmi dengan pandangan menantang sembari berdecak kesal. Dagunya mencongak tinggi, seolah-olah ia hendak melahap tubuh mungil di hadapannya dalam sekali usaha.

 

“Dengar, Nona Ha, kupikir kau tidak cukup profesional dalam melakukan tugas. Atau apakah kau seorang cabul dan hanya ingin meraba-raba tubuhku?”

 

Giliran Yeonmi yang memutar kedua bola mata. Ia mulai habis kesabaran hingga nyaris melayangkan sebuah pukulan di kepala Chanyeol. Well, ia tak mungkin melakukannya jika tidak ingin mendapatkan sangsi berat dari atasan.

 

“Tuan yang terhormat, apa yang sedang saya lakukan di sini sesuai prosedur. Jika anda tidak berkenan dalam proses pemeriksaan maka dengan terpaksa kami akan membawa anda ke ruang interogasi.”

 

Intonasi yang digunakan kian lantang. Kedua mata Chanyeol membeliak lebar oleh keterperangahan. Ia tak pernah mengira bahwa orang seperti Yeonmi mampu membentaknya dengan tubuh mungil seperti itu. Apakah ini salah satu bakat tersembunyi? Dengan membuatnya tuli oleh bentakan tersebut?

 

“A-aku—”

 

“Keluarkan benda di dalam saku celana anda.” Sela Yeonmi.

 

Chanyeol hendak melakukan sesuai perintah ketika salah seorang petugas lainnya datang menghampiri. Ia bertanya kepada Yeonmi menggunakan Bahasa Prancis dan dibalas olehnya pula dengan bahasa yang sama. Petugas tersebut melirik ke arahnya dengan pandangan tajam sebelum akhirnya beranjak menjauh untuk melanjutkan pekerjaan sebelumnya. Sebuah embusan napas lega lantas meluncur dari mulut Chanyeol.

 

“Tuan, keluarkan benda itu.” Titahnya, penuh aksentuasi.

 

Chanyeol terkesiap. Ia segera menceluk saku celana dengan alis menyatu, yakin bahwa tak ada benda apapun di dalam sana. Namun kemudian sesuatu bertekstur padat menyentuh ujung jemarinya. Ia lantas menariknya keluar untuk memastikan.

 

“I-ini…” matanya menatap jari manis polosnya, menyadari bahwa cincin pertunangan mereka tak tersemat di sana. “Astaga, aku lupa.”

 

Decakan Yeonmi menarik atensinya kembali. Ia mulai mengembangkan senyum tolol sembari menggaruk tengkorak kepala. “Maafkan aku, Nona Ha, kupikir aku melepasnya saat di pesawat tadi dan lupa mengenakannya kembali.”

 

Gelengan pelan diberikan Yeonmi. Ia menatap Chanyeol dengan pandangan tak percaya. Tentu ia telah menghadapi berbagai macam wisatawan dengan sikap langka mereka. Tetapi hanya Chanyeol-lah yang kini menarik atensi gadis tersebut. Entah karena senyum tololnya atau karena sikap keras kepalanya guna mempertahankan harga diri. Sesuatu seakan menariknya begitu kuat. Semacam medan magnet berbeda yang saling bertemu. Ia ingin mengenal lelaki ini dengan lebih dekat lagi.

 

“Lain kali anda harus menuruti seluruh prosedur yang kami lakukan atau semuanya akan berakhir pelik, Tuan.” Ujarnya, merubah intonasi suara.

 

Chanyeol tertegun. Yeonmi tak lagi bersikap dingin. Sebuah kurva tipis terukir pada bibir merahnya.

 

“Nona Ha, apa anda baru saja tersenyum?” tanya lelaki itu, polos.

 

Yeonmi lantas berdeham kikuk. Ia mengusap tengkuk sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling guna berkelit dari tilikan Chanyeol.

 

“Sudah kuduga, kau akan tampak lebih ramah dengan senyuman.” Ia menepuk pundak Yeonmi, tanpa sadar melepas segala formalitas.

 

Napasnya tertangguh di tenggorokan. Jantungnya seolah-olah melesat naik dan menyumbat saluran pernapasan. Ia tak paham reaksi apa yang kini dialami oleh tubuhnya, namun sentuhan Chanyeol bak kejutan listrik yang memasung sekujur persendian.

 

“We-well, Tuan—”

 

“Park Chanyeol.” Selanya cepat. “Panggil aku Park Chanyeol.”

 

Yeonmi mengangguk. “Park Chanyeol, nikmati waktu anda di Prancis.”

 

“Terima kasih. Kuharap kita bisa bertemu lagi. Barangkali kau bersedia menjadi pemandu tur untukku?” Chanyeol terkekeh, lalu melambaikan tangan. “Sampai jumpa, Yeonmi.”

 

Ia segera memutar tumit, hendak beranjak pergi dari sana. Namun entah apa yang tengah merasuki Yeonmi hingga ia mencekal pergelangan tangan lelaki tersebut. Jantungnya menghantam dinding dada dengan begitu kencang hingga napasnya memendek. Ia merasa begitu tolol ketika Chanyeol berbalik dan menatapnya dengan kedua alis berjingkat.

 

“Aku bisa menjadi pemandu turmu untuk sepekan kedepan. Well, aku bisa mengambil cuti.”

 

Bodoh. Sungguh, bodoh! Pikir Yeonmi. Kini ia kehilangan waktu cuti sepekan. Sejatinya, lelaki itu ingin menggunakannya untuk liburan musim dingin nanti. Ia tengah menabung agar dapat melancong keliling Asia. Tentu satu pekan terlampau berharga baginya. Tapi apa yang sedang ia lakukan kini?

 

Senyum tolol itu kembali terukir. Mata bulat Chanyeol kian melebar dan ia pun mencengkram kedua bahu Yeonmi penuh antusias. “Kau yakin? A-aku—”

 

Kalimatnya tak tuntas ketika ia memutuskan untuk memeluk Yeonmi. Beberapa pasang mata memandang aneh ke arah mereka, namun keduanya tak peduli. Pertama, Chanyeol tak dapat membendung kebehagiaan yang kini nyaris meluah. Dan kedua, Yeonmi rasa ia akan tewas dalam hitungan detik akibat serangan jantung mendadak. Demi Tuhan, apakah aroma tubuh Chanyeol selalu begitu memabukkan?

 

 

^~^~^~^

 

 

Yeonmi tak memahami dirinya lagi. Pagi ini ia terjaga pada pukul enam pagi kendati gadis tersebut menyetel alarm untuk meringking pukul tujuh tepat. Kerisauan menyergap hati tatkala ia memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke balkon rumah. Well, matahari sudah nampak, namun tak sepenuhnya terbit. Ia merasakan sesuatu yang meletup-letup di balik dada, namun begitu sukar untuk dipahami.

 

Kedua lengannya terlipat. Ia menatap sang Tata Surya yang perlahan-lahan mulai menanjak membias kirana. Matanya memicing ketika ia menyadari bahwa tiga puluh menit telah terlampaui dengan begitu pesat. Yeonmi larut dalam kontemplasi mengenai presensi Park Chanyeol. Sungguh, mereka baru berjumpa dua hari yang lalu, tetapi mengapa situasi dapat berubah begitu drastis?

 

Lelaki itu hanyalah orang asing yang sekonyong-konyong mengacaukan kehidupan prosaisnya. Bekerja adalah prioritas utama Yeonmi. Selama lima hari dalam sepekan, waktu Yeonmi hanya dihabiskan di bandara. Membiayai hidup di kota besar seperti Paris bukanlah sesuatu yang mudah. Sementara akhir pekan akan ia gunakan sebijak mungkin. Jika tak menjadi sukarelawan di panti asuhan, maka Yeonmi akan melalap hari dengan mengonyah-anyih di rumah. Tidak menghibur memang, namun ia tak pernah merasa semua itu menjenuhkan. Barangkali lantaran Yeonmi belum sempat mengetahui betapa menyenangkannya hidup dalam antusiasme tinggi setiap kali kau bangun pagi. Atau ketika jantungmu berdengap kencang akibat kehadiran seorang laki-laki dengan senyum tolol.

 

Kegugupan jelas dialami Yeonmi sembari tangannya sibuk mengacaukan isi lemari, memilah-milah pakaian mana yang dirasa pantas untuk dikenakan. Bukannya ia tak memiliki pakaian bermerk, gadis itu hanya bingung mengambil keputusan.

 

“Ugh, aku bisa gila.” racaunya sembari mengacak-acak rambutnya. “Apa yang harus kupakai? Aku tidak mungkin memakai pakaian biasa, bisa-bisa Chanyeol—tunggu! Kenapa aku harus bingung? Dan kenapa aku harus repot-repot menentukan pakaian apa yang akan kukenakan? Ini bukan kencan, Yeonmi. Ayolah, ada apa denganmu?”

 

Pukul delapan kurang sepuluh, ia tengah mematut diri di depan cermin sembari membenarkan kerah dress putih yang melekat di tubuh mungilnya. Sebuah senyum puas tersungging ketika maniknya tak menemukan sekelumit cela pada penampilan. Surai kelam tersebut tergerai indah, dan sepasang clogs membingkai tungkainya. Sebagai sentuhan terakhir, ia mencurat Daisy dari Marc Jacob ke beberapa bagian tubuh. Sejatinya wewangian tersebut adalah hadiah ulang tahun yang diberikan oleh temannya tiga bulan lampau. Yeonmi tak pernah mengenakannya lantaran memiliki aroma campuran buah dan bunga. Terlebih, botolnya terkesan begitu kekanak-kanakan. Tentu dalam artian positif, namun ia memiliki pemahaman berbeda. Entah bagaimana awalnya hingga di detik-detik terakhir gadis itu justru memutuskan untuk mengenakan wewangian mahal yang selama ini menganggur di dalam laci kamar.

 

Setelah merasa yakin, ia pun beranjak keluar dari rumah, berjalan selama sepuluh menit menuju halte bis dan tiba di tempat tujuan empat puluh lima menit kemudian. Well, gadis itu terlambat lima menit. Tentu karena ia memiliki banyak pertimbangan selama bersiap-siap tadi. Yeonmi berharap Chanyeol takkan membencinya setelah ini.

 

Sesuai dengan kesepakatan, kafe Angelina adalah lokasi pertemuan. Yeonmi sengaja memilihnya karena berdekatan dengan hotel yang disewa Chanyeol. Terlebih, Yeonmi sangat menyukai hidangan di sana. Harganya terjangkau, pun dengan desain klasik yang mungkin akan masuk ke dalam daftar tema pernikahan Chanyeol kelak. Sekadar informasi, Yeonmi merasakan sesuatu yang menngganjal setiap kali ia teringat bahwa tujuan Chanyeol kemari adalah untuk persiapan pernikahan.

 

Ia masuk ke dalam bangunan indah tersebut. Seluruh meja agaknya telah terisi. Ia mengedarkan pandangan, berharap Chanyeol menduduki salah satu meja kosong. Kecemasan sempat menyergap tatkala sebuah pikiran terbersit bahwa Chanyeol sama sekali tak mendapatkan tempat. Namun kemudian lambaian tangan menarik atensinya. Yeonmi lantas tersenyum sumringah dengan degupan jantung menggila.

 

Chanyeol tengah menyeringai lebar ke arahnya. Secangkir kopi dengan asap mengepul terhidang di atas meja. Yeonmi pun tak berpikir panjang untuk menyambangi.

 

“Maaf, aku terlambat.” Ujarnya dengan wajah menyesal.

 

Chanyeol menggeleng cepat. “Tidak apa-apa. Aku sangat menikmati kopi dan suasana di sini. Aku bahkan tidak tahu kalau kau terlambat.”

 

gadis itu menarik bangku di hadapan Chanyeol. “Aku terlambat lima—tidak, tujuh menit.”

 

“Tidak masalah. Aku sama sekali tidak tahu bahwa ada tempat seperti ini di sekitar hotelku. Sebelumnya aku tak pernah mencicipi kopi selezat ini. Sungguh, tidak bohong!” ia mengacungkan kedua jari di hadapan Yeonmi dengan tampang serius. Butuh perjuangan keras untuk menahan gelak tawa ketika Chanyeol kembali melanjutkan, “Kupikir akan bagus jika kami memiliki tema klasik seperti ini. Kau lihat kandil di atas dan beberapa lukisan raksasa di dinding? Oh, aku dapat membayangkan betapa mewahnya pernikahanku nanti.”

 

Selama Chanyeol mengoceh, Yeonmi berusaha menyembunyikan kekecewaan. Lelaki itu sangat antusias untuk menyusun rencana pernikahan. Sementara ia di sini justru berharap bahwa perjalanan mereka nanti bukan untuk hal tersebut.

 

“Kau tentu ingin melihat-lihat yang lainnya sebelum memutuskan tema apa yang akan kaugunakan.”

 

“Apa kau punya rekomendasi tempat yang bagus?”

 

“Aku punya beberpa, hanya saja aku tidak yakin kau akan menyukainya. Karena, well, kau tentu tahu Paris seperti apa.”

 

“Tak masalah, yang jelas saat ini aku membutuhkan banyak rekomendasi.”

 

“Ngomong-ngomong, kenapa kau memilih Paris? Sementara banyak kota yang bisa kaukunjungi. Venice di Italia, barangkali.”

 

Kekehan kecil pun meluncur dari bibir Chanyeol ketika mendengar pertanyaan Yeonmi. Sementara yang bertanya hanya mengernyitkan alis merasa tidak ada yang lucu dengan pertanyaannya.

 

“Apakah ada yang lucu dari pertanyaanku, Chanyeol?”

 

“Tidak, hanya saja aku merasa seperti déja vu. Karena pertanyaanmu pernah dilontarkan temanku semasa kuliah dulu.”

 

“Lalu apa jawabanmu?”

 

“Mungkin ini terdengar lucu tapi dunia tahu bahwa Paris adalah kota teromantis di dunia. Setiap pasangan pasti ingin mengunjungi tempat ini walau cuma sekali dengan harapan bahwa cinta mereka tak akan terpisahkan.”

 

“Jadi atas dasar itu kau memilih Paris?”

 

Hanya gumaman yang diberikan Chanyeol, pandangannya lurus ke depan seperti sedang menerawang. Sementara Chanyeol sibuk dengan pikirannya, di sisi lain Yeonmi terus memperhatikan wajah Chanyeol, seakan menebak apa yang tengah dipikirkan lelaki canggung tersebut. Mungkinkah Chanyeol juga berharap bahwa cinta yang dirasakan bersama calon istrinya akan abadi? Well, apapun itu yang jelas Yeonmi merasa sesuatu menusuk hatinya, membuatnya seakan sulit bernapas dan itu memberi perubahan pada raut wajahnya. Namun sayangnya, Chanyeol terlalu bodoh untuk menyadari perubahan tersebut

 

“Baiklah, ke mana tujuan pertama kita, Nona Ha?” tanyanya jenaka.

 

Tak ada jawaban dari Yeonmi, pandangannya kosong. Entah sedang memikirkan tempat mana yang akan mereka kunjungi pertama kali ataukah ada hal lain. Dan Chanyeol nyaris mengira Yeonmi tengah kesurupan jika tidak mendengar gumaman rendah gadis tersebut

 

 

^~^~^~^

 

The Musée Carnavalet didedikasikan untuk mengabadikan sejarah perkembangan kota Paris mulai dari 400 tahun sebelum Masehi hingga masa modern abad ke-21. Bangunan ini terbagi dua; Hotel Carnavalet dan Hotel le Peletier de Saint Fargeau. Kedua hotel dibangun sekitar abad ke 16 dan memiliki arsitektur Renaissance yang sangat kental.

Yeonmi menjelaskan koleksi yang tersimpan di museum tersebut sementara Chanyeol menyimak dengan teliti. Diam-diam ia terkagum-kagum akan pengetahuan Yeonmi, tak menyangka bahwa di balik tubuh mungilnya tersimpan wawasan yang luar biasa. Andai Chanyeol bertemu Yeonmi lebih dulu, barangkali ialah orang yang akan dinikahinya. Sejatinya, Yeonmi dapat dikategorikan sebagai kekasih idaman Chanyeol; Berparas rupawan serta memiliki senyum manis pada bibir tipisnya, dan jangan lupakan pengetahuan akan sejarah Paris yang Chanyeol yakin penduduk asli negara ini pun mungkin tidak mengetahui sejarah negaranya dengan baik seperti Yeonmi.

“Tunggu, Yeonmi!” sela Chanyeol kala ia melihat ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

“Ya?” sahut yang lebih kecil

“Kau bilang bahwa bangunan ini sebenarnya memiliki dua mansion, lantas kenapa hanya satu? Mana yang lainnya?”

“Karena Koleksi yang dimiliki Hotel Carnavalet sudah terlalu penuh maka Hotel Le Petelier de Saint-Fargeau yang ada tepat di sebelahnya dibeli oleh pemerintah dan disatukan untuk menjadi perpanjangan bangunan Musée Carnavalet.”

“Wah, luar biasa.”

“Apanya?”

“Bangunan ini tentu saja” kilah Chanyeol, kendati kalimat itu ditujukan untuk Yeonmi karena kecakapannya. Hanya saja Chanyeol kepalang malu mengakuinya.

“Kau tahu, di sini kau bisa menikmati koleksi museum dalam kelompok yang saling berhubungan serta cerita yang terurut dari masa ke masa. Oh ya, di belakang bangunan ada taman yang cukup luas, sangat cocok untuk berkencan ataupun makan siang. Dan satu lagi, masuknya pun gratis.” Ujar Yeonmi sambil terkikik kala mengucapkan kata gratis.

“Benarkah masih ada kata gratis di kota ini?”

“Tidak semua hal di dunia ini bisa dibeli dengan uang, Tuan Park. Kurasa untuk orang sepertimu bisa memahaminya.”

“Bukan begitu, Yeonmi. Bukankah Paris salah satu kota politik terutama fesyen dunia? Apa benar masih ada yang gratis di kota ini? Bisa saja itu hanya taktik agar menarik minat wisatawan.”

“Pikiranmu terlalu dangkal,”

“Tapi di luar itu, aku tertarik dengan arsitekturnya. Sangat klasik, kurasa ini akan menjadi salah satu daftar inspirasi pernikahanku nanti.”

Seketika itu antusiasme Yeonmi menguap entah ke mana. Gadis itu pun bingung mengapa reaksinya menjadi seperti ini, seperti tidak terima jika Chanyeol akan menikah dengan wanita lain. Mungkinkah Yeonmi mencintai Chanyeol? Ataukah hanya efek kurang tidurnya mengingat tadi malam lelaki tersebut sibuk mencatat daftar tempat-tempat yang akan dikunjunginya bersama Chanyeol?

“Yeonmi? Kau tidak apa-apa?” Tanyanya khawatir. Pasalnya Yeonmi tiba-tiba langsung terdiam sesaat setelah Chanyeol mengucapkan kalimat itu.

“A-aku tidak apa-apa, hanya sedikit kelelahan.” Kilahnya

“Baiklah kita istirahat dulu di suatu tempat. Hmm, bagaimana dengan taman di belakang museum?”

“Tentu saja. Lagipula taman itu cocok untuk berkencan dan makan siang.”

 Entah apa maksud dari kata kencan yang dilontarkan Yeonmi, yang jelas gadis itu itu tampak bersemangat dan Chanyeol pun tak terusik dengan kata kencannya.

“Benar juga, kebetulan sudah waktunya makan siang. Ayo.”

 

^~^~^~^

 

Suasana yang asri dengan bentangan rumput hijau serta berbagai macam tanaman bunga lantas menyambut keduanya ketika mereka tiba di taman belakang mansion. Sesuai dengan penjelasan Yeonmi bahwa taman ini cocok untuk makan siang dan berkencan, itu terlihat dari banyaknya pasangan yang menikmati kebersamaan mereka ataupun berkumpul bersama keluarga.

“Padat sekali.”

“Itu hal wajar. Setiap akhir pekan atau masa liburan, tempat ini ramai dikunjungi.”

“Atau karena masuknya gratis,” Timpal Chanyeol dan Yeonmi pun tertawa menanggapinya.

“Oh ya, kita duduk di sana saja.”

Keduanya pun berjalan menuju bangku yang terletak di bawah pohon palm.

“Kau bawa bekal?”

“Tidak, aku tidak sempat menyiapkannya.”

“Kalau begitu kita makan bersama, kebetulan aku membawa bekal yang cukup untuk kita berdua. Ini makanlah!”

“Wah Kimbap, sudah lama aku tidak memakannya.” Seru Yeonmi girang dan mengambil satu kimbap untuk di masukan ke dalam mulutnya. “Ini Kimbap terlezat yang pernah kumakan.”

Chanyeol yang melihat sikap Yeonmi hanya tersenyum. Sungguh jauh dari ekspetasi bahwa Yeonmi yang ditemuinya dua hari yang lalu di bandara berbanding terbalik dengan Yeonmi yang berada di hadapanya.

“Pelan-pelan, nanti tersedak.”

“Kau tidak tahu betapa rindunya aku dengan masakan Korea.”

“Jika kau mau aku bisa memasakanmu makanan Korea setiap harinya selama aku di Paris.”

“Ah, tidak usah, aku tidak ingin merepotkan. Ini pun sudah cukup, tapi kalau kau memaksa aku terima.”

Entah dorongan dari mana tiba-tiba tangan Chanyeol menyentuh sisi kiri mulut Yeonmi guna menyeka nasi yang tertinggal dan itu membuat Yeonmi tertegun dengan debaran jantung yang menggila. Tak berbeda jauh dengan pria di sisinya, Chanyeol pun merasakan debaran yang sama. Sadar akan perbuatannya, ia segera menarik tangan dan berdeham kikuk. Hening dan canggung sempat memayungi selama beberapa sekon hingga akhirnya Chanyeol memutuskan untuk mencairkan suasana.

“Jadi, bisakah kau ceritakan padaku kenapa kau bisa sampai ke Paris?”

“Aku tidak yakin kau mau mendengranya.”

“Aku pendengar yang baik, asal kau tahu.” Ujar Chanyeol sembari membenarkan posisi duduk.

“Singkat cerita, sejak lahir hingga berumur delapan tahun aku menghabiskan waktu di panti asuhan di salah satu sudut kota Seoul. Kata ibu pengasuh, ibu kandungku hanya meninggalkan selimut dengan jahitan nama ‘Ha Yeonmi’ serta tanggal lahirku ketika ia menemukanku di depan gerbang panti asuhan. Lalu sepasang suami-istri Prancis datang dan mengadopsiku. Mereka lantas membawaku kemari dan merawat serta membiayai seluruh kebutuhanku. Sampai sekarang hubungan kami masih baik. Aku mengunjungi mereka setiap dua pekan.”

“Oh, maafkan aku, Yeonmi, aku tak—”

“Tidak apa-apa, aku bahagia dengan kehidupanku sekarang.”

“Lalu bagaimana caranya kau bisa menjadi petugas bandara?”

“Kau meragukan kemampuanku, Tuan Park?”

“Bu-bukan begitu. Setahuku petugas keamanan itu bertuh jangkung dan tegap.”

“Kenapa ukuran tubuh seseorang selalu menjadi tolak ukur?”

“Aku tidak—”

“Mungkin karena kemampuan hapkido yang membuatku lolos seleksi.”

“Kau bisa bela diri?”

“Memiliki tubuh kecil justru mendorongku untuk menguasai bela diri agar tidak dianggap remeh oleh orang lain.”

Intonasi yang diucapkan memang biasa tapi di telinga Chanyeol itu terdengar seperti; jangan-main-main-denganku-jika-kau-tidak-ingin-sekarat-di-rumah-sakit. Membayangkannya saja sudah membuat Chanyeol bergedik ngeri.

“Tempat ini indah.” ujar Chanyeol mengalihan topik pembicaraan.

“Calon pengantinmu penyuka bunga?” ada kegetiran dalam suara Yeonmi ketika mengucapkannya.

“Tidak juga. Hanya saja aku merasa tema taman seperti ini juga cocok. Kau pernah mendengar istilah garden wedding?” tanyanya retoris.

“Kalau kau ingin tema seperti itu, akan kuajak kau ke sebuah tempat yang bisa kaujadikan inspirasi.”

 

^~^~^~^

 

“Kau mengajakku ke taman bunga? Kau bercanda?”

“Kita ada di sini sekarang, apa itu artinya aku bercanda, Yoda?”

Sontak kepala Chanyeol meneleng dengan alis menyatu. Ia tahu bahwa telinganya kepalang lebar. Dan tak jarang pula teman-temannya mencibir dengan berbagai julukan. Tetapi ketika Yeonmi menyebutnya Yoda, justru debaranlah yang dirasakan Chanyeol. Terasa asing namun begitu nyata. Seperti sesuatu yang tak mampu kaugapai, tetapi sejatinya tanganmu tengah menggenggamnya.

Segera ia menepis seluruh keanomalian yang beberapa jam terakhir dirasakan. Agaknya ia tahu jenis perasaan seperti apa itu, namun Chanyeol tak ingin mengakuinya. Seorang tunangan tengah menanti kedatangannya dengan penuh cemas, dan kehadirannya di Paris hanya untuk kepentingan pernikahan.

Jadi, di sinilah Chanyeol dan Yeonmi berada. Taman mawar—atau dalam bahasa Prancisnya; Roseraie du Val de Marne—yang berlokasi di Rue Albert Watel, merupakan taman bunga lapang dengan 8.000 ragam mawar dan juga adalah taman mawar terlengkap pertama di dunia.

“Indah, bukan? Di sini, selain kau bisa menikmati indahnya bunga mawar juga bisa membuatmu merasa dekat dengan alam. Membuat pikiranmu tenang dengan berbagai macam aroma menenangkan. Terkadang jika aku ingin menenangkan diri dari hiruk pikuk kota, aku akan ke tempat ini.”

“Dan sejauh ini aku belum menemukan hal yang bisa memunculkan inspirasi di tema pernikahanku kelak.”

“Ikut aku!”

Yeonmi segera menarik tangan Chanyeol dan membawanya ke tempat dengan desain taman klasik. Disadari atau tidak, sentuhan kecil tersebut memberi kejutan ke sekujur tubuh mereka. Dan sepertinya Yeonmi maupun Chanyeol sama sekali tidak berminat untuk melepasnya.

“Di sini, kau bisa mengambil tema dari desain taman yang ada. Coba lihat yang di ujung sana, taman mawar yang berbentuk gazebo, kau bisa menjadikannya  sebagai tempat resepsi pernikahan, dan yang disana mawar yang diberi pagar kecil sebagai tiang penyangga dan di depannya terdapat sebuah bangku atau yang di sebelah sana susunan tanaman mawar dengan papan yang berbentuk seperti lorong. Bisa kaugunakan sebagai jalan bagi para undangan yang hendak masuk ke lokasi resepsi, bahasa kerennya adalah red carpet. Intinya banyak desain taman ini yang bisa kau jadikan inspirasi jika memang kau menggunakan tema garden wedding.”

“Ternyata selain cerdas kau juga romantis.”

“Hidup selama belasan tahun di Paris membuatku mau tidak mau mengikuti perkembangan jaman kalau tidak mau dianggap sebelah mata. Apalagi aku hidup sendiri. Tentu aku harus bisa menempatkan diri.”

Sempurna. Satu kata yang mampu menggambarkan seorang Yeonmi. Hidup sendiri di negeri orang dengan segala modernisasi yang ada dan kerasnya hidup namun tidak merubah jati dirinya sebagai orang Asia, setidaknya itulah yang ada dalam pikiran Chanyeol. Untuk sesaat lelaki itu lupa akan sosok tunangannya di Korea. Persetan dengan statusnya, yang jelas saat ini Chanyeol hanya ingin bersama Yeonmi menikmati momen berharga mereka. Diam-diam, Chanyeol pun melucut cincin yang tersemat di jari manisnya dan menyelipkannya ke dalam saku celana.

Wajarkah Yeonmi berharap jika pertemuan mereka ini dapat membuat Chanyeol berpaling padanya? Klise memang, tapi bukankah setiap orang menginginkan akhir yang bahagia?

Tidak, jangan egois, Yeonmi. Chanyeol sudah menemukan wanita pilihannya, tak sepantasny

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet