Delapan

Our Little Sister

Satu bulan telah berlalu sejak malam yang mengubah hidup Raekyo. Pagi ini alarm berbunyi nyaring mencoba membangunkan gadis itu dari tidurnya. Menguap malas, tangan Raekyo menggapai-gapai ke meja di samping tempat tidurnya, berusaha mematikan sumber suara keributan.

            “Semangat pagi, Raekyo!!” Gadis itu segera bediri setelah menyuarakan sapaan pagi untuk dirinya sendiri. Kini sudah tidak ada lagi yang membangunkannya dari tidur, tidak ada yang menjahilinya sampai ia terbangun, tidak ada yang mengingatkannya untuk segera bersiap-siap agar tidak terlambat. Ia tersenyum sedih mengingat semua kenangan manis bersama kakak-kakaknya. Bagaimana dulu ia tidak pernah menikmati moment-moment pagi harinya dengan penuh syukur. Kini setelah semua hilang, ia baru sadar betapa berharganya semua itu.

            Memutuskan tidak akan merusak hari ini dengan bersedih, ya Raekyo sudah bertekad tidak akan pernah menangis lagi walau mendapat ucapan tajam dari kakak-kakaknya, walau mendapat perlakuan kejam dari Yura, Cho Raekyo yang baru sudah tidak akan menangis lagi meratapi nasibnya, gadis itu menuju kamar mandi untuk bersiap-siap. Sudah cukup air mata yang ia keluarkan, ia harus jadi pribadi yang kuat dan mandiri, demi dirinya sendiri.

            Tidak lama kemudian ia pun sudah siap dengan seragam yang telah ia setrika sendiri malam sebelumnya. Setelah memastikan penampilannya sempurna, Raekyo menyandang tasnya dan segera keluar kamar. Ia menuruni tangga dan berhenti sejenak, ia memperhatikan pemandangan di depannya. Semua kakaknya baru beres sarapan, mereka asik mengobrol, bercanda, tertawa dan saling menjahili. Raekyo ikut tersenyum, dulu ia merupakan bagian dari semua itu, kini ia hanya dapat memperhatikan dari jauh.

            “Nona? Sedang apa melamun di sana?” Lee ahjussi, kepala pelayan di rumah ini menyapa Raekyo. Membuat gadis itu tersadar dari lamunannya. Seketika itu juga meja makan yang tadinya ramai kini sunyi senyap. Raekyo tersenyum miris. Selalu seperti ini, bila ada dirinya, suasana berubah menjadi mencekam.

            “Ah, tidak apa-apa ahjussi. Aku berangkat dulu ya. Oh iya, panggil nama saja ahjussi, apa-apan nona-nona segala.” Raekyo tersenyum pamit pada Lee Ahjussi, satu-satunya orang yang masih mau berbicara padanya walau sudah dilarang oleh Leeteuk.

            “Arasso, Rae. Kamu tidak sarapan dulu?”

            “Tidak, aku tidak lapar. Dadah ahjussi.” Raekyo pun melenggang pergi. Ia tidak memelankan langkahnya saat tiba di meja makan dan pamit pergi pada kesemua oppanya. Ia tahu tidak akan ada yang menjawab dirinya. Sudah seperti itu sejak sebulan terakhir dan Raekyo berusaha untuk membiasakan diri.

            Raekyo pun berlari pelan menuju halte bus dekat rumahnya. Kini, ia sudah jago dalam menghapal rute bus ke manapun. Dengan santai ia duduk di halte dan memangku tasnya, saat tangannya mencari-cari handphone miliknya, tidak sengaja ia menemukan sekotak bekal di sana. Ia tidak ambil pusing kenapa ada bekal di tasnya, ia yakin pasti Lee ahjussi yang menaruhnya saat ia mandi. Perlahan ia memakan sarapannya penuh syukur. Sudah seminggu ini Lee ahujssinya itu menaruh bekal untuknya diam-diam, apakah ahjussi tahu minggu lalu perutnya sakit karena tidak pernah sarapan?

            Tidak terasa bus pun datang, Raekyo membereskan barang-barangnya dan menaiki bus mnuju ke sekolahnya. Dalam perjalanan ia asik menikmati pemandangan dari jendela hingga sampai di sekolahnya. Raekyo berjalan pelan, ia melihat sepintas ke parkiran mobil, rupanya ketiga oppanya sudah datang duluan.

            “Rae!!” Panggilan seseorang membuat Raekyo menoleh.

            “Woobin oppa, baru datang juga?”

            “Ne. Kau naik bus lagi? Sudah kutawari kujemput tiap pagi, kau selalu menolak.”

            “Hahaha. Tidak apa-apa oppa. Merepotkan nanti. Lagipula aku tidak mau rambutku rusak kena helm, nanti di sekolah aku tidak cantik lagi.” Raekyo menggoda pemuda di sampingnya.

            “Yak! Pede banget sih.” Woobin menjitak kepala Raekyo main-main. Keduanya pun tertawa lepas. Raekyo menikmati kebersamaannya dengan kakak kelasnya itu. Hubungan mereka kian dekat apalagi setelah Raekyo dijauhi kakak-kakaknya. Walau Raekyo tidak pernah cerita detail pada Woobin masalah yang menimpanya, namun pemuda itu nampak sangat mengerti dirinya.

            “Oppa, aku ke kelas duluan ya. Bye!” Raekyo dadah-dadah sambil berjalan ke arah kelasnya. Woobin membalas gadis itu namun pandangannya jadi meredup. Ia teringat pembicaraannya dengan noonanya.

 

FLASHBACK

            “Noona, kita hentikan saja, aku sudah lelah.” Woobin menatap wanita yang sedang duduk di hadapannya. Mereka berdua berada di sebuah cafe tidak jauh dari rumah mereka. Sang kakak menghentikan aktivitasnya di tengah jalan, ia menaruh cangkir kopinya dengan kasar.

            “Wae? Kenapa tiba-tiba kamu mau berhenti?”Wanita itu menatap Woobin dengan tatapan heran.

            “Sudah cukup noona. Kurasa kita sudah cukup meghukum mereka. Lihat keluarga mereka sekarang, sudah berantakan begitu.”

            “Apa ini karena yeoja itu? Jangan bilang kamu mulai beneran suka sama anak itu?”

            “Noona, kita sudahi saja. Aku harap kali ini saja noona mau mendengarkanku.”

            “Jadi benar kau sudah mulai terperangkap pesona anak itu. Woobin-ah, sadarlah, noona mohon, ne? Kamu tidak melupakan eomma dan appa kan?” Wanita itu membujuk dongsaeng satu-satunya.

            “Ani. Kita berhenti saja. Lagipula aku yakin bukan ini yang eomma inginkan. Bukan pembalasan dendam.” Woobin teguh pada pendiriannya. Ia sadar semua yang mereka telah lakukan adalah salah. Lagipula memang ia tidak bisa menyangkal ia kini benar-benar menyukai yeoja itu.

            “Kim Woobin!!” Gebrakan di meja membuat beberapa pengunjung melihat penasaran pada mereka. Sementara itu Woobin tetap tenang, ia memandang noonanya dengan pandangan teguh, tekadnya sudah bulat. Ia akan mengakhiri semua ini. Ia tidak ingin melihat noonanya menjadi seorang yang jahat lagipula ia juga tidak tega melihat tangisan wanita yang ia cintai. Cukup sudah, penderitaan Raekyo harus bisa ia akhiri.

            “Kalau sudah tidak ada yang mau dibicarakan lagi, aku duluan, noona.” Woobin pamit sambil bersiap-siap berdiri.

            “Baiklah kalau itu memang maumu. Cih, Cho Raekyo, kamu mau bertaruh apa yang bisa kulakukan lebih lagi padanya? Apa aku harus menyingkirkannya? Toh dia sudah dianggap tidak ada di rumahnya sendiri.”Perkataan dingin itu membuat Woobin membeku di tempat. Ia menoleh marah pada sang noona.

            “KIM YURA!! KUBILANG BERHENTI!!”Yura tersenyum sinis pada adiknya.

            “Ah, benar, apa itu kujadikan rencana berikutnya? Sekali dayung dua pulau terlampaui. Kalau Raekyo tidak ada bisa kaubayangkan bagaimana rasanya penyesalan semua keluarga Cho? Sebagai bonus tidak ada lagi yang mengganggumu dengan pikiran-pikiran tidak berguna. Kau mau berhenti hah? Coba saja hentikan kalau bisa.” Yura menatap sinis lalu segera berlalu dari sana. Meninggalkan Woobin yang mengepalkan tangannya marah.

 

FLASHBACK END

 

            PIIIPPIIIP. Suara handphonenya membuat Woobin tersadar dari lamunannya. Ia mengambil kotak pintar dari sakunya itu lalu membuka pesannya. Keningnya berkerut membaca apa yang tertulis di sana, tidak berapa lama wajahnya terlihat panik. Ia mencoba menelepon si pengirim pesan namun selalu dialihkan.

            “Sh*t!!!” Woobin berteriak kesal ketika panggilannya terus saja tidak dijawab. Membuat beberapa hakseng melihat dengan pandangan bertanya. Woobin membaca lagi pesan yang dikirim Yura.

Fr : Yura Noona

READY? IT’S SHOW TIME

Send : Today , 07.56

 

            Ia tahu maksud Yura, rasa takut mulai menggerogotinya. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan cepat ia berlari ke kelasnya.

            “Cho Kyuhyun!” Woobin berteriak begitu ia sampai di kelasnya, Kyuhyun yang sedang melamun melihat ke luar jendela kelasnya menoleh malas.

            “Wae? Pagi-pagi sudah teriak-teriak.” Woobin mengabaikan nada menyindir dari Kyuhyun, ia segera menghampiri pemuda itu.

            “Pulang sekolah, bisakah Raekyo ikut pulang bersama kalian? Naik mobil?”

            “Ne?” Kyuhyun mengurutkan keningnya bingung.

            “Aish, jawab saja, bisa tidak? Jebal hari ini saja.”

            “Aku… Tidak bisa. Kamu pasti sudah tahu kan apa yang terjadi di antara kami? Sudah sana, tinggalkan aku, jangan merusak moodku pagi-pagi.” Kyuhyun membaringkan kepalanya di meja.

            “Kyu, jebal sekali ini saja! Kyu! Yak! Cho Kyuhyun!” Woobin mengguncang-guncang tubuh Kyuhyun hingga pemuda itu merasa terganggu dan menatap kesal Woobin. Kebetulan semua teman segengnya belum ada di kelas hingga Woobin bisa leluasa berbicara dengan Kyuhyun.

            “Sudah kubilang tidak bisa! Kenapa tidak kau saja yang mengantarnya? Kalian kan terus saja menempel akhir-akhir ini. Sangat menggangu.”

            “Kyu, dengarkan aku. Ini demi keselamatan Raekyo. Aku, ada seseorang yang harus kutemui sepulang sekolah. Jebal Kyu demi Raekyo dan demi kalian sendiri.”

            “Apa maksudmu?” Kyuhyun semakin bingung. Sebenarnya apa yang dibicarakan pemuda itu?

            “Kyu? Woobin-ah? Ada apa ini?” Changmin tiba-tiba muncul diikuti Jonghyun di belakangnya. Mereka berdua menatap was-was kedua pemuda di hadapan mereka. Mereka takut keduanya berantem karena memang hubungan keduanya tidak terlalu baik.

            “Kyu, jebal. Kumohon padamu sekali ini saja.” Woobin pun kembali ke tempat duduknya. Meninggalkan Changmin dan Jonghyun yang masih menatap mereka penasaran. Di sisi lain. Kyuhyun hanya terdiam. Otak geniusnya bekerja untuk mengartikan apa maksud perkataan Woobin.

 

* * *

 

            Tidak terasa bel pulang sekolah sudah berbunyi. Ratusan siswa segera keluar dari halaman sekolah dengan raut wajah bahagia. Begitu pula dengan Raekyo. Dirinya dengan santai melenggang keluar sekolah, matanya nampak mencari-cari seseorang. Tumben Woobin tidak menghampirinya dan menawari untuk mengantarkannya pulang. Ke mana pemuda itu? Karena sudah seringnya mereka keluar sekolah bersama-sama hingga Raekyo merasa ada yang kurang tanpa kehadiran Woobin.

            “Kyu! Cepat sedikit, aku harus pulang cepat, tugasku banyak!” Deg! Suara itu. Raekyo pelan-pelan menoleh dan benar saja, berdiri di depan mobil mereka ada Ryeowook yang sedang berseru pada Kyuhyun yang dengan santainya jalan ke arah hyungnya. Kibum terlihat sudah duduk di dalam mobil. Sedikit banyak hatinya sedih, kapan Wookie oppanya akan memanggilnya juga seperti yang barusan ia lakukan? Raekyo terpaku di tempatnya ia hanya ingin melihat oppanya lebih lama. Ryeowook nampak tidak melihat ke arahnya namun tidak dengan Kyuhyun. Matanya menangkap sosok familiar seorang gadis, siapa lagi kalau bukan Raekyo. Kyuhyun teringat ucapan Woobin tadi pagi, dirinya bimbang, haruskah ia mengajak Raekyo pulang bersamanya?

            “Oppa.” Raekyo berkata tanpa suara saat pandangan mata mereka bertemu. Mereka bertatapan agak lama, tapi kemudian Raekyo memutus pandangannya begitu saja. Ia tahu ia tidak boleh berharap, ia takut untuk merasakan sakit lagi. Maka dari itu, Raekyo pun melanjutkan berjalan, menahan setengah mati keinginannya untuk berbalik.

            Kini Raekyo berjalan dalam diam, ia memilih untuk berjalan pulang daripada naik bus. Memberikannya waktu untuk berpikir dan menghindari pulang ke rumah lebih cepat. Memberikan hatinya waktu untuk bernafas sebelum merasakan sakit lagi setiap melihat semua oppanya di rumah, tidak ada salahnya kan? Raekyo tidak bisa berhenti berandai-andai. Andai ia tidak pergi duluan, akankah Kyuhyun mengajaknya bicara? Andai ia berani menghampiri oppanya, akankah kini ia duduk di mobil bersama mereka? Andai ia tidak berjalan begitu cepat, akankah ia mendengar oppanya memanggilnya untuk berbalik?

            Tidak terasa Raekyo sudah sampai di persimpangan jalan. Hari ini jalanan nampak lengang. Hanya beberapa mobil nampak lewat, selebihnya sepi, pejalan kakipun tidak ada. Raekyo menunggu sampai lampu pejalan kaki berwarna hijau, ia menendang-nendang kerikil di sekitar kakinya. Akhirnya lampu pejalan kaki berubah warna menjadi hijau, Raekyo pun berjalan pelan untuk menyeberang. Ia tidak melihat sebuah mobil berjalan ke arahnya dengan kecepatan penuh. Raekyo tersadar ketika jarak antara ia dan mobil sudah mulai mendekat. Jantungnya berdegup kencang, kakinya membeku di tempat, ia hanya bisa melihat pasrah mobil yang melaju ke arahnya. Raekyo menutup matanya ketika tiba-tiba sepasang tangan menariknya dengan kencang. Tubuhnya terjatuh ke aspal bersamaan dengan orang yang menariknya.

            “Apa.. Woobin oppa?” Raekyo terkejut ketika mendapati Woobin yang menyelamatkannya. Pemuda itu hanya menatap pada mobil yang kini berhenti tidak jauh dari mereka, pandangannya tidak terbaca. “Oppa?”

            “Rae. Kau tidak apa-apa?” Woobin tersadar ketika Raekyo memanggilnya untuk yang kedua kali. Ia segera memeriksa gadis di hadapannya dan meringis saat melihat seluruh tangan dan kaki sebelah kiri Raekyo tergores panjang dan dalam saat mereka berdua terjatuh tadi. Rupanya arah jatuh mereka salah, malah Raekyo yang menjadi alas tubuh Woobin. “Rae, mianhe.”

            “Ah, ani oppa. Aku yang malah berterima kasih. Sepertinya aku ceroboh ya, aku tidak lihat ada mobil itu. Oppa sendiri tidak apa-apa?” Giliran Raekyo yang memeriksa Woobin dengan tatapannya, ia mendesah lega melihat Woobin baik-baik saja.

            “Ne, aku baik-baik saja. Kau cepatlah pulang, Rae.” Woobin membantu Raekyo untuk bangkit berdiri. Gadis itu mengernyit sedikit, sepertinya lukanya terasa perih. “Mianhe Rae, aku tidak bisa mengantarmu. Aku masih ada urusan yang harus kuselesaikan. Kau bisa pulang sendiri kan?”

            “Tapi oppa…”

            “Wah, wah. Pertunjukkan yang mengharukan. Apa-apaan itu tadi? Kau mau jadi pahlawan tapi malah Raekyo yang menjadi alas jatuhmu?” Suara Yura membuat keduanya menoleh. Wanita itu turun dari mobil yang tadi mau menabrak Raekyo dengan gaya yang dibuat-buat.

            “Eonni?” Raekyo kaget bukan main. Apa maksudnya ini? Apakah Yura yang tadi bermaksud mencelakakannya?

            “Jadi begini caramu menghentikanku, Woobin-ah?” Yura bahkan tidak menatap sedikitpun ke arah Raekyo. Tatapannya terkunci pada Woobin yang kini juga tengah menatap tajam wanita di depannya.

            “Kubilang hentikan, noona!” Nada suara Woobin penuh ancaman.

            “Oh? Padahal aku baru saja mulai, dongsaengku sayang.” Yura tersenyum.

            “Eonni? Oppa? Kalian saling kenal?” Raekyo menatap bingung keduanya. Noona? Dongsaeng? Apa maksudnya itu? Jangan-jangan mereka..

            “Kau benar, Rae-ah. Woobin adalah adikku satu-satunya. Kim Woobin, Kim Yura, menemukan adanya persamaan?” Yura tertawa melihat ekspresi wajah Raekyo. “Kau pikir selama ini Woobin dekat padamu karena ia tulus? Naif sekali dirimu. Aku yang menyuruhnya mendekatimu, dengan begitu aku bisa mengawasimu dengan mudah. Hahaha, kaget eoh?”

            “Noona!!” Woobin berjalan ke arah kakaknya dengan gaya mengancam. Yura hanya menaikkan alisnya, pandangannya meremehkan.

            “Ini, ambil! Penerbanganmu empat jam lagi. Kau sudah kupindahkan sekolah ke Amerika. Tetap diam di sana sampai otakmu bisa berpikir dengan jernih kembali. Stop! Tidak ada bantahan.” Yura menghentikan apapun yang tadi Woobin coba ucapkan. Dua orang laki-laki bertubuh besar tiba-tiba menghampiri mereka dan mengapit Woobin. Memegang tangan pemuda itu dengan kencang hingga Woobin tidak bisa melawan.

            “Oppa, kau..” Raekyo tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Jadi selama ini, Woobin hanya memanfaatkannya. Semua waktu yang mereka habiskan bersama, semuanya palsu. Raekyo mundur perlahan, ia seharusnya tahu, hidupnya memang sudah ditakdirkan sial, kenapa ia masih berharap hadirnya Woobin merupakan hadiah dari rangkaian kesialan yang menimpanya akhir-akhir ini?

            “Rae, jangan pergi Rae. Aku bisa jelaskan semua. Rae!!” Woobin berontak sekuat tenaga melihat Raekyo menjauhi dirinya dengan pandangan dikhianati. Raekyo memutuskan pergi dari situ. Ia tidak sadar sudah menangis. Berapa kali lagi ia harus berpaling pergi tanpa menengok ke belakang, selalu meninggalkan orang yang ia kasihi menatap kepergiannya? Suara Woobin lama-lama memudar, nampaknya pemuda itu telah dipaksa masuk ke dalam mobil sebab tidak berapa lama kemudian terdengar deru mobil menjauh.

            Raekyo kini merasakan lagi sakit itu. Rasa sakit yang akhir-akhir ini sudah menjadi bagian dalam hidupnya. Tak terasa langkah kakinya membawa dirinya ke sebuah taman. Ia jadi teringat saat bertemu Sungjae dulu di taman ini, ia masih bersama semua oppa-nya. Bagaimana ia marah karena oppanya mengikutinya ke taman, berpikir bahwa ia mau berkencan. Raekyo merasa kebas, ia duduk di sebuah bangku taman, pandangannya kosong. Tes. Tes. Melengkapi penderitaanya, kini hujan pun turun. Atau langit pun akhirnya merasa iba padanya?

            Raekyo tidak tahan lagi, ia mengeluarkan semua yang sudah ia tahan selama ini. Tangisnya pecah tanpa bisa ia tahan. Ia berteriak sekencang-kencangnya tidak peduli akan ada yang merasa terganggu, toh memang tidak ada siapapun di sini. Hujan deras pun Raekyo biarkan, ia tidak peduli lagi tubuhnya basah kuyup. Ia hanya ingin mengakhiri semuanya. Semua ini sudah di luar batas kemampuannya.

            “Appaaaaa…. Eommaaaa…..” Raekyo memanggil-manggil kedua orangtuanya. Kenapa saat kejadian mengenaskan itu ia juga tidak ikut serta di dalam mobil? Kenapa orangtuanya tidak membawanya saja? Kalau hidup bisa sesakit ini, apakah kematian akan lebih menyenangkan? Ia ingin berjuang, ingin bangkit dari keterpurukan, tapi apa yang bisa ia lakukan bila semua orang menyuruhnya untuk menyerah? Untuk apa ia bangkit bila akhirnya harus terus dihempaskan kembali ke bawah?

            “Eomma, kenapa kau tidak membawaku juga? Appa, tidakkah ini waktu yang tepat untukmu menjemputku?” Raekyo berkata miris memandang langit yang masih menumpahkan hujan deras. Ia tersenyum sinis, paru-parunya kini mulai kambuh seiring tubuhnya yang menggigil kedinginan. Bakal terasa aneh bukan bila tubuhnya sendiri tidak ikut mengkhianatinya? Biasanya Raekyo berusaha untuk mengatur nafasnya agar nafasnya kembali normal, namun kali ini ia menikmati setiap rasa sakit dari dadanya. Seiring waktu nafasnya semakin pendek dan putus-putus. Kalau ini memang akhir hidupnya, Raekyo akan terima. Gadis itu menutup matanya, ia siap menyambut kegelapan di hadapannya seperti kawan lama. Tubuhnya limbung, sesaat sebelum menghantam tanah, tubuhnya ditarik masuk ke dalam dekapan seseorang. Raekyo membuka matanya namun semua nampak buram karena air hujan dan juga karena memang kesadarannya yang menipis, ia hanya dapat menangkap sesosok buram di hadapannya, sosok itu nampak panik, belum sempat mengucapkan apa-apa, Raekyo menyerahkan kesadarannya kepada kegelapan.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
putripdian #1
Chapter 10: Please update
Taeyeon_ssJH
#2
Daebak!!!!!♡♡♡♡♡