잠시만 나 행복했나봐 (I was Happy for a While)

잠시만 나 행복했나봐 (I was Happy for a While)

Author’s POV

            Matahari telah muncul dengan sempurna. Sinarnya yang hangat menelusup ke seluruh penjuru dunia. Menghangatkan setiap makhluk yang akan memulai aktifitasnya. Sebuah ruangan dengan nuansa warna putih pun tak luput dari sinarnya yang masuk melalui jendela. Di ruangan tersebut, tampak seorang pemuda tengah menulis sesuatu. Wajahnya pucat, tampak jelas bahwa ia sedang sakit. Ya, pemuda itu mengidap penyakit kanker otak yang bisa saja merenggut nyawanya kapanpun.

            “Kau sudah bangun,” terdengar suara seorang wanita.

            Pemuda itu pun mengalihkan pandangannya pada wanita tersebut. Pemuda itupun segera menyimpan lembaran kertas dan pensil yang baru saja ia gunakan untuk menuliskan sesuatu tersebut.

            “Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya wanita itu dengan senyuman yang terus terkembang dari bibir mungilnya. Senyuman yang sebenarnya menyembunyikan rasa sakit yang menyebar dalam hatinya.

            “Aku baik-baik saja…” ucap pemuda itu sambil tersenyum ringan. Senyuman yang juga sebenarnya menyembunyikan sebuah perasaan yang tak kalah menyakitkan dalam hatinya.

            “Jejooon-a, aku senang melihatmu sebaik ini,” ucap wanita itu.

            Pemuda bernama Jejoon itu hanya tersenyum mendengar pernyataan gadis yang ternyata seorang dokter dari rumah sakit tempatnya di rawat. Gadis itu merawat Jejoon dengan sangat baik. Selain karena memang itu adalah tugasnya sebagai seorang dokter, tapi juga karena Jejoon adalah sahabatnya sejak kecil.

            “Terima kasih, kau sudah merawatku dengan baik,” ucap Jejoon.

            “Aku akan memberikan yang terbaik untukmu,” ucap gadis itu.

            “Jeongmal gamsahamnida, Jihyeon-a…” ucap Jejoon sambil menggenggam tangan gadis itu.

            “Sudahlah, tidak perlu terus berterima kasih,” ucap gadis bernama Jihyeon itu.

            Jejoon hanya tersenyum sambil menatap Jihyeon.

            “Sudah tugasku untuk merawatmu dengan baik. Aku yakin kau pasti akan sembuh dan seperti dulu lagi. Aku yakin itu,” ucap Jihyeon.

            Tiba-tiba wajah Jejoon berubah menjadi murung. Jejoon merasa bahwa keyakinan Jihyeon itu tidak akan pernah terwujud. Jejoon sudah benar-benar pasrah dengan keadaannya. Karena bagi Jejoon, sebaik apapun Jihyeon merawatnya, itu hanya bagaikan menyiram dedaunan kering yang telah gugur dari pohonnya. Sebanyak apapun daun itu di siram, daun itu tidak akan kembali menjadi segar.

            “Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya Jihyeon.

            “Ani… gwaenchana…” ucap Jejoon berbohong.

            Sebenarnya Jihyeon tahu benar bahwa Jejoon tengah membohonginya. Jihyeon tahu benar bagaimana sifat dan sikap Jejoon. Sepandai apapun Jejoon menyembunyikan perasaan atau rasa sakitnya, Jihyeon bisa merasakannya.

            “Aku akan memeriksamu,” ucap Jihyeon.

            “Ne…” ucap Jejoon dengan senyuman yang dipaksakan.

            Jihyeon pun melakukan pemeriksaan rutin pada Jejoon. Jihyeon menuliskan hasil pemeriksaan Jejoon di sebuah kertas. Jihyeon pun membandingkan hasil pemeriksaan Jejoon hari ini dan hasil pemeriksaan kemarin. Raut wajah Jihyeon berubah ketika mendapati hasil pemeriksaan Jejoon yang kian memburuk.

            “Sudah selesai, aku hanya mendata beberapa hal,” ucap Jihyeon.

            “Bagaimana?” tanya Jejoon sambil menatap Jihyeon.

            “Kau baik-baik saja…” ucap Jihyeon.

            Jihyeon menyembunyikan kenyataan buruk itu dari Jejoon agar Jejoon tetap bersemangat untuk sembuh. Ini bukan pertama kalinya Jihyeon membohongi Jejoon. Karena Jihyeon benar-benar tidak ingin kehilangan Jejoon.

            “Aku akan menyerahkan hasil pemeriksaanmu ini pada Dokter Choi. Sebentar lagi suster akan mengantarkan sarapan untukmu. Makanlah dengan baik,” ucap Jihyeon sambil beranjak.

            Jihyeon pun meninggalkan ruangan tempat Jejoon di rawat. Tanpa sepengetahuan Jihyeon, ternyata Jejoon mengikuti Jihyeon yang sedang menuju ke ruangan Dokter Choi. Jihyeon masuk ke ruangan Dokter Choi, sementara Jejoon hanya mengintip dari balik jendela.

            “Euisanim, aku sudah memeriksa pasien Kim Jejoon,” ucap Jihyeon.

            Dokter Choi masih memandangi hasil rontgen yang ternyata itu adalah hasil rontgen Kim Jejoon. Jihyeon semakin tak kuasa menahan tangisnya saat melihat hasil rontgen itu. Air mata yang sedari tadi di tahannya pun perlahan keluar juga dari mata indahnya.

            “Euisanim, buthakhamnida…” ucap Jihyeon memohon.

            Dokter Choi pun mengalihkan pandangannya pada Jihyeon. Dokter Choi mengerti apa yang Jihyeon inginkan. Tapi sulit bagi Dokter Choi untuk mengabulkan permintaan Jihyeon.

            “Euisanim, ku mohon biarkan aku menjalankan operasi pada pasien Kim Jejoon,” ucap Jihyeon.

            “Operasi memang jalan satu-satunya untuk mengangkat sel-sel kanker di otak pasien Kim Jejoon, tapi hasilnya tetap 70 berbanding 30. Terlebih lagi kanker di otak pasien Kim Jejoon sudah menyebar ke seluruh jaringan otaknya. Sebuah mukjizat karena hingga saat ini Jejoon tidak menderita kelumpuhan. Tapi jikapun tetep dilaksanakan operasi, kemungkinan gagal sangat besar” ucap Dokter Choi.

            “Aku juga tahu benar akan hal itu,” ucap Jihyeon.

            “Aku juga bukan tidak mengijinkanmu menjalankan operasi,” ucap Dokter Choi.

            “Euisanim, aku sangat mencintainya, ku mohon…” ucap Jihyeon.

            “Jihyeon-a…” ucap Dokter Choi.

            “Euisanim, aku yakin Jejoon akan sembuh. Ku mohon…” ucap Jihyeon.

            Dokter Choi hanya menatap Jihyeon.

            “Euisanim, buthakhamnida…” ucap Jihyeon sambil berlutut dan memohon di kaki Dokter Choi.

            Meskipun dari balik jendela, Jejoon dapat menyaksikan Jihyeon memohon pada Dokter Choi. Hati Jejoon merasa sakit melihat Jihyeon berjuang hanya untuknya.

            ‘Seharusnya kau tak perlu melakukannya untukku,’ gumam batin Jejoon.

            Ternyata di sisi lain, ada Sungjae, seorang calon dokter bimbingan Jihyeon yang juga menyaksikan Jihyeon memohon pada Dokter Choi.

            ‘Sunbaenim, sebesar itukah cintamu pada pada pasien itu?’ batin Sungjae terus menanyakan hal itu ketika mendapati Jihyeon berjuang untuk Jejoon.

            Melihat Jihyeon keluar dari ruangan Dokter Choi, Jejoon segera kembali kekamarnya. Sementara Sungjae segera menghampiri Jihyeon.

            “Jihyeon Sunbaenim…” panggil Sungjae.

            Jihyeon pun menghentikan langkahnya.

            “Ada apa?” tanya Jihyeon.

            “Kau akan melakukan operasi pada pasien Kim Jejoon?” tanya Sungjae.

            “Iya,” jawab Jihyeon singkat.

            “Tapi Sunbaenim, kau tahu sendiri kan perbandingan kemungkinannya…” ucapan Sungjae tertahan ketika melihat mata Jihyeon yang kembali berkaca-kaca.

            “Aku tahu benar dan aku juga sangat mengerti akan hal itu,” ucap Jihyeon.

            “Dan kau akan tetap melakukannya?” tanya Sungjae.

            “Aku akan melakukan apapun untuk orang yang paling berhagda dalam hidupku,” ucap Jihyeon diiringi dengan buliran bening yang kembali mengalir dari matanya.

            “Sebesar itu kah cintamu untuknya?” tanya Sungjae secara tiba-tiba.

            “Aku akan melakukan yang terbaik untuknya,” ucap Jihyeon.

            “Sunbaenim…” ucap Sungjae.

            Jihyeon pun meninggalkan Sungjae yang masih tertegun di tempatnya. Ya, ini bukan kali pertama juga Sungjae menanyakan hal itu. Bahkan Sungjae juga berkali-kali menyatakan perasaannya pada Jihyeon. Namun Jihyeon masih juga tidak memberikan jawaban karena dihatinya benar-benar telah ada Jejoon, sejak lama.

***

 

 

            Mentari mulai memancarkan sinar kuning keemasannya. Pertanda bahwa ia akan segera kembali ke peraduannya. Di ufuk timur, bayangan bulan juga mulai tampak seolah menjemput malam yang sebentar lagi akan datang.

            Seperti biasa, Jihyeon datang ke kamar tempat Jejoon di rawat. Jihyeon mendapati Jejoon yang tengah berdiri sambil melamun di dekat jendela. Jejoon ternyata menyadari kedatangan Jihyeon. Namun Jejoon masih juga tak ingin mengalihkan pandangannya dari lembayung senja yang seolah bagaikan jembatan menuju ke surga dimatanya.

            “Berapa lama lagi aku akan hidup?” tanya Jejoon tiba-tiba.

            “Kau tidak akan mati,” ucap Jihyeon.

            “Katakan yang sebenarnya,” ucap Jejoon.

            Jihyeon terdiam. Jihyeon mengatur nafasnya yang mulai terasa sesak.

            “Kau tidak akan mati,” ucap Jihyeon.

            Jejoon pun membalikkan badannya. Jejoon menatap Jihyeon yang tengah menangis di hadapannya.

            “Kau tidak akan pernah mati, aku akan membuatmu untuk tetap hidup. Jadi jangan tanyakan hal itu lagi,” ucap Jihyeon yang tak kuasa lagi membendung cairan bening yang terus memaksa keluar dari mata indahnya.

            “Haruskah aku dioperasi?” tanya Jejoon.

            “Percayakan padaku, aku akan membuatmu tetap hidup,” ucap Jihyeon.

            Jejoon menatap Jihyeon sejenak. Kemudian tangan Jejoon merangkul Jihyeon, membenamkan Jihyeon ke dalam pelukannya dan membiarkan Jihyeon menangis. Padahal sebenarnya, ia juga sama seperti Jihyeon. Ingin menangis sekeras-kerasnya. Namun itu tak ada gunanya. Sebanyak apapun ia menangis, itu tidak akan mengubahnya untuk bisa bertahan lebih lama lagi.

            Sementara itu, ternyata dari balik pintu kamar Jejoon yang sedikit terbuka, tampak Sungjae tengah memperhatikan kejadian itu. Hatinya lagi-lagi merasa sakit. Meskipun begitu, Sungjae juga sadar bahwa sakitnya ini tak sebanding dengan sakit yang dirasakan Jihyeon dan Jejoon. Akhirnya Sungjaepun memilih meninggalkan tempat itu dan menuju ke ruangan Dokter Choi.

            “Sunbaenim, boleh aku masuk?” tanya Sungjae.

            “Masuklah…” tanya Dokter Choi yang saat itu tengah menganalisis hasil pemeriksaan Jejoon.

            “Sunbaenim, ada yang ingin aku tanyakan,” ucap Sungjae.

            “Mworago?” tanya Dokter Choi.

            “Kau mengijinkan Jihyeon Sunbaenim untuk mengoperasi pasien Kim Jejoon?” tanya Sungjae.

            Dokter Choi pun mengalihkan pandangannya pada Sungjae.

            “Kenapa kau bertanya seperti itu?” tanya Dokter Choi.

            “Aniya… Aku hanya ingin memastikan bahwa pasien Kim Jejoon akan dioperasi,” ucap Sungjae.

            “Beberapa hari lagi, aku, Jihyeon dan beberapa dokter lain akan menjalankan operasi untuk pasien Kim Jejoon,” ucap Dokter Choi.

            “Jinjjayo?” tanya Sungjae sumringah.

            Dokter Choi hanya menganggukkan kepalanya.

            “Apa Jihyeon Sunbaenim sudah mengetahuinya?” tanya Sungjae.

            “Tentu saja. Aku percaya padanya. Selama ini kinerjanya tidak pernah mengecewakanku. Aku juga percaya, dengan keyakinan kuatnya ini, operasi Kim Jejoon akan berhasil. Aku salut akan semangatnya,” ucap Dokter Choi.

            “Jeongmal gamsahamnida…” ucap Sungjae sambil membungkukkan badannya.

            “Kau bantulah dia…” ucap Dokter Choi.

            “Ye, Sunbaenim…” ucap Sungjae.

            Dokter Choi hanya tersenyum.

            “Jeongmal gamsahamnida…” ucap Sungjae lagi.

            Sungjae pun keluar dari ruangan Dokter Choi. Ada perasaan bahagia di hatinya karena ternyata Dokter Choi mengijinkan operasi untuk Jejoon. Tapi Sungjae juga hanya bisa tersenyum miris jika mengingat Jejoon sembuh dan itu artinya Jihyeon akan bersama Jejoon. Akhirnya Sungjae memutuskan untuk mengalah demi kebahagiaan Jihyeon.

***

 

 

                       

            Hari ini adalah hari dimana Jejoon akan menjalankn operasinya. Banyak orang memperkirakan operasi ini akan berhasil. Seluruh persiapan untuk operasi Jejoon telah disiapkan dengan matang. Bahkan Dokter Choi juga mendatangkan dokter dari luar negeri untuk turut membantu proses operasi ini. Sekitar 4 jam lagi, operasi akan dilaksanakan.

            Jihyeon bermaksud mengunjungi Jejoon untuk menyemangati Jejoon agar tidak takut dengan operasi ini. Tapi ternyata Jejoon tidak ada dikamarnya. Jihyeon hanya menemukan setangka bunga daisy –bunga kesukaan Jihyeon- dan sepucuk surat. Jihyeon pun membaca surat itu.

 

 

Dear, nae sesang, Jihyeon…

 

Sebelumnya, maafkan aku karena aku pergi tanpa memberitahumu terlebih dahulu.

Bahkan lebih tepatnya mungkin ini bisa di sebut melarikan diri.

Maafkan aku…

Aku sungguh tidak ingin melakukannya.

Tapi langkah kakiku membawaku untuk pergi.

 

Selama ini aku telah banyak menyusahkanmu.

Kau telah merawatku dengan baik bahkan kau selalu meyakinkanku bahwa aku bisa sembuh.

Namun aku merasa berlainan denganmu.

Maafkan aku…

 

Aku sangat bahagia, karena di saat-saat tersulir bahkan mungkin di saat-saat terakhirku, ada kau disampingku.

Aku sangat bahagia…

Aku juga sangat bahagia karena banyak cinta yang kau berikan untukku.

Aku mengetahuinya.

Karena aku juga merasakan hal yang sama denganmu.

Maafkan aku…

Karena aku tidak bisa lebih lama berada di sampingmu

Bahkan aku tak bisa bertahan lebih lama untukmu

Maafkan aku…

 

Aku membuatkan sebuah syair lagu untukmu.

Ini dia…

 

 

지우고, 버리고, 잊어도...

[Hapus, Lempar Jauh dan Lupakan]

 

하늘을 향해 모든 꽃이 자라듯 언제나 한곳에해가 저물듯

Seperti bunga yang berterbangan di langit, seperti matahari yang tetap bertahan di tempat yang sama
그렇게 나도 어쩔수가 없는것 너만을 향해 있는것

Aku tidak bisa seperti itu hanya karenamu


언제나 가장 갖고 싶은건 언제나 먼저 잃게 되나봐

Selalu, apa yang sangat aku inginkan, aku selalu kehilangan semua itudengan mudahnya
슬픈 세상에 슬픈 사랑하려 잠시만 행복했나봐

Di dunia yang menyedihkan ini, meskipun mencintai dengan menyedihkan, aku bahagia untuk sejenak
 

너무나 사랑하는데 미치게 보고 싶은데

Aku terlalu mencintaimu, dengan gila merindukanmu
아직도 울고 있는데~

Aku masih tetap menangis
너를 만나고 말하고 안고 싶어도

Meskipun aku ingin melihatmu, berbicara denganmu, memelukmu
죽을만큼 힘이 들어도 참아볼게

Aku mencoba untuk mengembalikan semua itu dengan semua kekuatanku dan mengatakannya padamu
 

퍼붓던 소나기가 멈추듯 눈물도 멈춰질수 있을까?

Seperti saat hujan deras berhenti, bisakah air mataku juga berhenti?
작은 기억이 서럽게 할땐 어디서 울어야 하는지?

Ketika bayangan kenangan yang membuatku sedih, kemanakah aku harus pergi hanya untuk menangis?
 

너무나 사랑하는데 미치게 보고 싶은데

Aku terlalu mencintaimu, dengan gila merindukanmu
아직도 울고 있는데~

Aku masih tetap menangis
너를 만나고 말하고 안고 싶어도

Meskipun aku ingin melihatmu, berbicara denganmu, memelukmu
죽을만큼 힘에 겨워도

Aku mencoba untuk mengembalikan semua itu dengan semua kekuatanku
 

한순간도 가진적 없는 나인데

Sejenakpun aku tidak pernah bisa memilikimu
어떻게 잃을수 있니 ?

Bagaimana bisa aku mengatakan bahwa aku kehilangamu?

 

나를 사랑하지마 아픈건 혼자할게

Jangan mencintaiku, aku akan mengatasi luka ini sendiri
사랑 따위 너는 하지마~

Jangan mencintaiku
슬픈 눈물이 입술이 나의 손끝이다시 너를 잡지 않도록

Air mata kesedihan, bibir dan jemari tanganku tidak akan bisa menggenggammu lagi

행복해줘

Ku mohon, berbahagialah

 

 

Itulah untaian lirik lagu yang aku tulis untukmu

Aku ingin sekali mendengamu menyanyikannya untukku

Tapi sayangnya aku tidak punya banyak waktu lagi

Maafkan aku

 

Setelah ini, jangan ada air mata lagi

Bagiku, airmatamu teramat berharga

Kau terlalu banyak menangis karenaku

Jadi jangan menangis lagi

Karena meskipun kita berada di tempat yang berbeda

Jiwaku masih bersamamu

Aku ada disampingmu

Jangan menangis lagi

tersenyumlah

Berbahagialah… ku mohon…

 

 

Saranghae… annyeong…

 

Regard,

 

Jejoon yang selalu merindukanmu

 

 

 

            Jihyeon menangis membaca surat itu. Setelah selesai membacanya, Jihyeonpun segera keluar dari rumah sakit untuk mencari Jihyeon. Saat Jihyeon keluar dari rumah sakit, ternyata Sungjae melihatnya. Sungjaepun mengikuti Jihyeon.

            Jihyeon terus mencari Jejoon ke tempat-tempat yang sekiranya di datangi Jejoon. Namun tidak ada tanda Jihyeon datang ke tempat-tempat itu. Ketika Jihyeon hampir putus asa, tiba-tiba Jihyeon teringat sebuah taman bermain tempatnya dan Jejoon bermain saat kecil dulu. Jihyeon pun segera melajukan mobilnya menuju taman itu.

            Ketika sampai di taman itu, Jihyeon mencari-cari Jejoon. Sampai pada akhirnya, mata Jihyeon tertuju pada sesosok laki-laki yang tengah mengukir sesuatu di sebuah pohon besar. Jihyeon yakin itu adalah Jejoon. Jihyeon pun segera menghampiri Jejoon.

            “Jejoon-a…” ucap Jihyeon.

            Jejoon tetap focus pada pekerjaannya. Ternyata Jejoon tengah mempertebal ukiran di pohon tersebut. Ya, dulu Jejoon juga pernah mengukir tulisan “J&J” yang merupakan singkatan dari Jejoon & Jihyeon di pohon tersebut. Kini Jejoon tengah mempertegas ukiran itu. Entah apa maksudnya. Jejoon tetap mengukir meskipun darah segar terus keluar dari hidungnya.

            “Jejoon-a, geumanhae, kita kembali ke rumah sakit,” ucap Jihyeon.

            “Aku belum selesai…” ucap Jejoon.

            “Jejoon-a, kau akan dioperasi. Ku mohon…” ucap Jihyeon.

            Jejoon tidak menjawab.

            “Jejoon-a…” ucap Jihyeon.

            Saat Jihyeon hendak meraih tangan Jejoon, ternyata Jejoon limbung dan terjatuh. Jihyeon pun membiarkan Jejoon terbaring di pangkuannya. Sementara tangan Jihyeon menyeka darah yang berlumuran di wajah Jejoon. Sementara itu, Sungjae yang sedari tadi berdiri tak jauh dari Jihyeon dan Jejoon pun segera menghampiri Jihyeon dan Jejoon.

            “Sunbaenim…” ucap Sungjae.

            Tapi Jihyeon tak menghiraukan Sungjae.

            “Kita kembali ke rumah sakit…” ucap Jihyeon sambil terisak.

            Jejoon hanya menggelengkan kepalanya.

            “Saranghae…” ucap Jejoon.

            “Ku mohon…” ucap Jihyeon seolah mengabaikan kata cinta Jejoon. Karena yang terpenting sekarang, Jejoon harus kembali ke rumah sakit, sebelum terlambat. Tapi Jejoon tetap menolak.

            “Haengbokhaejwo…” ucap Jejoon.

            Jejoon tersenyum kecil. Perlahan matanya terpejam.

            “Jejoon-a, andwae…” ucap Jihyeon panik.

            Jejoon tetap memejamkan matanya. Ya, terpejam untuk selamanya.

            “Jejoon-a, buka matamu…” ucap Jihyeon.

            Jihyeon tahu benar bahwa ketika Jejoon menutup matanya, Mikael telah membawa Jejoon pergi. Tapi Jihyeon tetap berharap bahwa itu hanyalah perasaannya saja. jihyeon berharap Mikael mengembalikan Jejoon sebelum Jejoon bertemu dengan Tuhan.

            “Jejoon-a, ireona…” ucap Jihyeon sambil memegangi wajah Jejoon.

            Jejoon tetap terpejam.

            “Jejoon-a…” ucap Jihyeon sambil memeluk raga Jejoon yang tak bernyawa lagi itu.

 

 

THE END

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet