Page4: Dinner

Hacker
Please Subscribe to read the full chapter

Aku berjalan lunglai ke arah pagar rumah. Membukanya perlahan seakan tidak ada lagi tenaga tersisa di tubuh dan mataku.

Setelah berjalan beberapa meter untuk menuju pintu rumah, yang mana menurutku rasanya bagaikan satu kilometer, aku lalu mengumpulkan sisa tenagaku pada tangan kanan berusaha membuka pintu rumah. Bagaimana pun juga, semuanya sekarang terasa melelahkan buatku.

"Cepat sekali kau pulang?"

Mendengar seseorang yang kutahu dia menyindirku aku lantas hanya memberinya tatapan sekilas. Dia bersandar duduk di sofa dengan remot di tangannya. Aku tahu ibu sedang menunggu ayah dan anak-anaknya pulang kerja.

"Yea, maybe."

Dan kembali terfokus pada khayalanku tentang nyamannya merobohkan diri dikasur. Segera ketika aku selesai menaiki dua puluh lima anak tangga ini.

"Apa yang terjadi padamu?" tanyanya kemudian menoleh padaku, "Ceritakan pada ibu,"

Ceritakan pada ibu? Jangan bodoh. Mana mungkin ia percaya pada ceritaku ini. Namun aku juga begitu ingin menceritakan tentang dosa Luhan padaku tadi padanya atau mungkin tidak. Jadi aku lantas memutar kepalaku dan membalas tatapan cemasnya—yang mana ini jarang sekali terjadi.

"Tidak ada apa-apa."

"Kau lesu. Ibu tahu ada sesuatu. Dan biasanya, kau sama sekali belum pernah pulang dalam keadaan—"

"Aku bilang padamu bahwa tidak ada apa-apa! Apa itu kurang jelas?" potongku cepat. Sementara dia masih memasang ekspresi heran padaku dan nada bicaraku membentaknya barusan. Aku hanya merasa harus memotong perkataannya karena aku tahu maksud perkataannya. Dan dia tidak perlu menjelaskannya.

"Baiklah, ibu takkan memaksamu cerita. Dan... ibu membeli basket es krim tadi sore di supermarket. Itu untukmu." jelasnya lalu kembali pada siaran variety show yang ia tonton. Aku mengernyit. Sebagian dari diriku merasa bersalah karena membentaknya, padahal maksudnya itu begitu baik. Karena bagaimana pun juga, dia ibuku.

"Terima kasih." ucapku langsung kembali berjalan menuju tangga. Entah kenapa kali ini pun langkahku menjadi ringan-ringan saja. Tidak seperti sedang ada perekat di alas kakiku.

***

Setelah mandi rupanya aku tak segera menjatuhkan diriku di kasur, melainkan bergegas menuju dapur dengan piyama longgarku. Salah satu pakaian favoritku karena aku tidak suka memakai sesuatu yang ketat ketika menjelang tidur. Sepertinya semua orang begitu.

Aku menoleh ke sekeliling. Hanya ada ibu sedang memasak makan malam rupanya. Ayah dan yang lain belum pulang juga. Cocok aku merasa mereka pulang terlalu lama karena hari ini aku pulang terlalu cepat.

Harum tumisan makan malam langsung menyambut indera penciumanku. Ketika makan malam, menu yang ia buat selalu berubah-ubah. Tapi karena aku sering pulang ke rumah telat, kadang aku pun harus melewatkan makan malamku itu. Dan aku tahu, mereka tidak akan menelepon sebab mereka tahu, aku pun sedang makan malam diluar sana atau berada di perpustakaan sekolah. Tidak dengan laki-laki. Itu satu hal lagi yang mereka tahu.

Mereka percaya, bahwa aku ini tidak terlalu dekat dengan laki-laki bahkan perempuan karena kegiatan belajarku di sekolah itu lebih penting. Mereka tidak pernah mempermasalahkan soal diriku yang memang tidak memiliki banyak teman di sekolah. Karena mereka juga tahu aku ini bersifat individual—Astaga, apa aku ini mahluk anti-sosial? Aku hanya tidak begitu suka ketika harus beramai-ramai menggossipkan sesuatu atau bercerita tentang makanan favorit pada teman-teman sebaya. Atau ketika harus menghadiri pesta ulang tahun mereka dan berbelanja tentang pakaian favorit masing-masing. Well, selama ini sekolah dan nilaiku selalu jadi yang terbaik. Adanya teman atau tidak, it doesn't affect me at all. Kecuali kalau mereka itu membicarakan sesuatu yang memang bermanfaat, aku pasti bergabung.

Aku lalu menarik sebuah kursi dan langsung duduk memerhatikan wanita paruh baya itu sedang menata makan malamnya di meja. Tidak ada timbul niatku untuk membantunya. Karena kurasa aku cukup memerhatikannya saja. Dapur bukanlah tempatku. Dan aku tak mau kejadian di mana ketika aku berusaha membantunya menyusun beberapa gelas, I mean, delapan buah gelas mungkin, tiga di antaranya pecah mengenai kaki kananku. Itu kurasa beberapa bulan lalu. Dan semenjak itu aku tidak pernah lagi membantunya mencuci piring atau mengeringkannya.

Dan baru-baru minggu ini, ibuku menyuruhku menuangkan sekantung berukuran sedang ke dalam wadah putih tempat garam. Berarti bungkus itu berisi garam. Namun karena keteledoranku dan kecerobohanku, aku bahkan memasukkannya ke dalam wadah gula seberat dua kilogram yang ada di wadah itu. Dan semuanya terbuang. Dan sejak saat itu, selain memberi label pada wadah-wadahnya, dia juga tidak pernah meminta tolong apapun padaku lagi.

Tapi, dia cukup tidak meminta tolong p

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Riaa_Osehhlovu #1
Chapter 48: Antara ecxited sama sedih tokoh utamanya ganti :')
Tapi tetep bakal nunggu sekuelnya koks
ChanCartSoo #2
Chapter 48: Save offline nya di disable ama authornya


Bgst
ChanCartSoo #3
Chapter 48: Q suka lah ni cerite
zaa29b_byeol
#4
Chapter 47: Ini aku belum baca ya? Ah bodo amat. Bagus, bloom! Great one!
crunchymiki
#5
Chapter 47: ane nyengir-nyengir sendiri bacanya anjjayyy >\\\\<
alterallegra #6
Chapter 47: Wow.. Great ff Story i have read ever..
Jongin-ahh #7
Chapter 47: Endingnya gantung bgt gitu authornim T.T
Jongin-ahh #8
Chapter 47: Gue senyum2 sendiri baca ini T.T lebih sweet dr es krimnya theyo ini mah:3
Jongin-ahh #9
Chapter 44: Gue baca dari awal masa T.T chapter ini menggemaskan ><
keyhobbs
#10
Chapter 47: wwoahh!!!author jjang! Gmana bisa endingnya sekeren ini, ya ampun, dan Taehyun akhirnya sama Dara yeyy!! Terus terus Theyo sama Luhan, awalnya aku lebih suka kalo Theyo sama Baek tpi pas baca scene yg mereka jadian jadi ikutan seneng juga, jdinya bingung-_- sebenernya aku suka Theyo-Luhan atau Baek-yo hihi, tpi y sudahlah ya, yg penting pada akhirnya semuanya bahagia,hihi!