I Need You
Marquee ReflectionAku menatap Sehun yang mengerutkan kening memandang Jongin. Lalu aku melanjutkan jalanku menghampirinya dan Jongin membuntutiku di belakang. Tapi sebelum aku sampai di tempatnya berdiri, Sehun melangkahkan kakinya mendekatiku dan mengambil alih tangaku yang sebelumnya di pegangi oleh Jongin. Sehun membawa bungkusan berwarna merah di tangan kiri dan tangan kanannya yang memegangi lenganku. Aku memasukkan kunci dan menekan kode kamarku.
Suara kode yang terbuka mengalun pelan dari pintuku, lalu aku berbalik menghadap Jongin.
“Terima kasih sudah mengantarku, Jongin.” Ucapku tulus menatap matanya yang kosong.
“Tidak masalah.” Ujarnya mengangkat bahu, memberikan kantong yang ia bawa berisi obat dan makanan, lalu ia memasukan tangannya ke dalam saku celana.
Aku menerimanya dan membuka pintu masuk ke dalam, Sehun masih memegangi lenganku hingga tiba-tiba ia berhenti dan aku berpaling untuk melihat apa yang membuatnya berhenti, aku melihat Jongin meletakkan tangannya di lengan Sehun untuk menahannya di tempat.
“Aku ingin bicara denganmu.” Katanya. Sehun memandangi tangan Jongin yang ada di lengannya dan menyentaknya keras. Kemudian Sehun mengantarkanku ke dalam ruangan.
“Tunggu sebentar.” Ucapnya setelah aku sampai di dalam dan duduk di sofa. Sehun melenggang pergi melewati pintu dan aku bertanya-tanya apa yang sedang mereka berdua bicarakan di luar. Kepalaku kembali pening saat memikirkan Jongin sedang berbicara dengan Sehun di luar sana, pasti tentang aku, kan? Apalagi kalau bukan.
Kuharap Jongin tidak membuat onar dengan Sehun. Walaupun Jongin sudah tau bahwa aku mengetahui kebrengsekan Sehun, tapi ia tidak benar-benar tau seperti apa perasaanku pada Sehun, bahwa Sehun membuatku bahagia. Jongin tidak melihatnya.
Aku menyandarkan punggungku ke tempat sandaran saat tiba-tiba ku dengar bunyi debaman keras membentur tembok di balik pintu di luar. Firasatku langsung buruk saat menebak apa yang sedang terjadi, aku langsung beranjak ke luar ruangan dengan tenagaku yang masih tersisa dan benar saja, aku menemukan Jongin sedang mencengkeram kerah baju Sehun kencang-kencang menahan tembok.
Aku melihat bibir Sehun sedikit berdarah, aku langsung berlari ke arah mereka dan berhenti di antara mereka berdua dengan membentangkan kedua lenganku menghadap Sehun, Jongin sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke arah Sehun saat aku hampir menengahi mereka. Aku memejamkan mata lalu berteriak keras membuat Jongin menjauhkan tangannya dari tubuh Sehun.
“Berhenti!” teriakku. “Apa-apaan kau Jongin!”
Aku melihat Sehun terengah-engah dan hal yang sama juga terjadi pada Jongin yang ku punggungi. Tak terasa akupun ikut terengah-engah karena tenagaku benar-benar terkuras. Lalu aku berbalik menghadap Jongin dan memandangnya garang.
Mataku terbelalak lebar saat melihat darah juga mengalir di sudut bibirnya, jauh lebih banyak dari yang di keluarkan oleh Sehun. Keterkejutanku berubah menjadi khawatir saat aku juga melihat darah turun melewati bibir dari hidungnya. Tapi aku tidak bisa menunjukkan kekhawatiranku pada Jongin, karena aku tak ingin menunjukkannya. Aku tak boleh khawatir padanya.
“Jongin, pergilah.” Kataku datar akhirnya sambil menatap lukanya yang berdarah.
Jongin menatapku lama dan berbalik pergi meninggalkanku dan Sehun. Aku melirik ke arahnya saat ia menggulung lengan kemejanya melewati siku dan menghilang saat masuk ke dalam lift. Tubuhku yang masih sangat lemas akhirnya ambruk. Untung saja Sehun sigap dan langsung menangkapku sebelum tubuhku berbenturan dengan lantai.
“Eunjoo!” teriaknya.
Aku mencengkeram lengan Sehun erat-erat lalu ia memapahku masuk kembali ke dalam ruangan. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang dan mengangkat selimut untuk menghangatkan rasa dingin yang menerpa tubuhku. Sehun memberiku segelas air putih hangat dan duduk di tepi ranjang.
“Kau sakit?” katanya saat tangannya terjulur menyentuh dahiku yang masih panas. “Kau harus makan dan meminum obatmu.” Sehun menyarankan.
Raut kekhawatiran terpasang di wajah Sehun dan tangannya sibuk mengambil obat dari kantong yang tadi Jongin bawa. Sehun berhenti saat melihat bungkusan lain berisi makanan yang bersebelahan dengan obat. Lalu ia menoleh ke arahku.
“Kau ingin memakan makanan siapa?” tanyanya halus. Aku menatapnya kebingungan. “Kau ingin makan bubur?” lanjutnya. Aku tahu yang membelikanku bubur adalah Jongin karena ia tau aku sedang sakit, tapi aku tidak ingin memakan makanannya. Jadi aku menggeleng pelan memberi Sehun jawaban.
Kemudian Sehun meletakkan makanannya ke atas piring dan mangkok yang telah di tata rapi di atas nampan bersamaan dengan obat yang harus ku minum.
Sehun membawa nampan makanan ke atas ranjang dan memberikannya padaku.
“Ingin ku suapi?” tawarnya. Aku menatapnya tak percaya, tawaran yang sangat menggoda karena dengan begitu aku bisa menikmati waktu berdua bersama Sehun dengan ia menyuapiku, tapi aku teringat dengan apa yang terjadi di antara kami.
“Tidak, aku bisa makan sendiri.” Ujarku menolaknya dan tersenyum menanggapi.
“Baiklah.”
Lalu Sehun beranjak mengambil handuk dan pergi ke depan wastafel, membersihkan darah dari lukanya yang sudah mengering. Aku memakan makananku sambil mengamatinya di kejauhan.
“Darimana kau semalam?” tanya Sehun yang kini mengambil es dari freezer dan membungkusnya dengan handuk.
Aku menatapnya ragu, apakah aku harus menjawab yang sebenarnya? Sehun tidak akan marah, kan, jika aku mengatakan yang sebenarnya? Aku harap ia tidak akan marah.
“Aku bertemu dengan Sungjin.” Jawabku pasrah.
“Sungjin?” lengkingnya beralih dari depan cermin dan memandangku. “Kau pergi ke Cherry?!” katanya mencengkeramkan kedua tangannya ke sisi wastafel, ia melempar handuknya dan berjalan ke arahku.
Comments