Home
Marquee ReflectionBulan purnama mulai menyembul ke permukaan saat langit berubah menjadi abu-abu tua. Langkahku terus berjalan meyusuri jalan setapak di tepi sungai Han, menikmati semilir angin malam yang menyapaku dengan ramah, membuatku tenang dan rindu. Rindu akan sesuatu yang lama tak kurasakan dan rindu akan seseorang yang tak di sisiku. Aku sangat menginginkan kehadirannya saat ini juga, tapi apa daya aku tak punya keberanian untuk memintanya−walau hanya dengan alasan untuk sekadar menemaniku berjalan-jalan. Karena aku tahu, perasaan yang terjalin di dalam hatiku akan berbeda seperti sebelumnya, setelah pengakuan yang akhirnya kembali terlontar bahwa aku mencintai Jongin, seperti beberapa tahun yang lalu.
Tiga tahun perpisahan yang melibatkan banyak sekali kejadian. Membuatku belajar akan banyak hal dan mengerti kehidupan yang sebenarnya. Dengan kehadiran orang-orang baru yang mendekat dan orang-orang lama yang terus bertahan.
Belum pernah aku merasa selega ini dalam kurun waktu yang lama. Lega karena akhirnya aku mengerti apa yang sebenarnya hatiku inginkan dan seperti mendapatkan jalan baru, aku merasa semangat dan penuh cinta. Mungkin aku sedang jatuh cinta, lagi. Untuk kesekian kalinya. Tapi jatuh hati berulang kali pada orang yang sama adalah suatu hal yang luar biasa. Karena jatuh hati pada orang yang berbeda dan waktu yang berbeda sudah menjadi hal yang biasa. Bersama Jongin, aku bisa merasakan cintanya−cinta kami lagi setelah sekian lama.
Senyumku memudar saat teringat dengan pembicaraan terakhirku bersama Jongin. Tentang ucapannya yang membuatku gelisah sepanjang hari. Membuatku berpikiran bahwa Jongin sudah menyerah untuk mencintaiku, karena seperti itulah yang Jongin coba sampaikan padaku. Seolah-olah dia telah berada di ujung tanduk kesabaran dan siap meninggalkanku kapan saja. Aku tahu, itu adalah hal yang kuinginkan sejak lama, tapi kurasa sekarang itu telah berubah. Aku tak tahu harus bagaimana untuk membuat Jongin tetap bertahan sementara ia telah bersiap pergi.
Kuhela napas panjang, menyeruakkan kebulan putih tipis yang membuatku bergidik kedinginan. Mengabaikan orang-orang dan pasangan yang berlalu-lalang bergandengan tangan saling menghangatkan tubuh. Aku berjalan ke wilayah yang tidak terlalu banyak orang, hanya beberapa yang sedang menyendiri mengamati lampu malam di seberang sungai, mengutak-atik ponsel sambil tertawa lirih. Kusandarkan lenganku pada pagar pembatas di tepi sungai, memandangi riak air yang tenang.
“Sedang apa kau di sini?” sebuah suara muncul di sisi lain di bawah lampu, suara yang tak asing di telinga. Aku menoleh ke suara itu dan melihat seseorang dengan wajahnya yang tertutup kupluk jaket di bawah lampu remang-remang sedang menghadap ke arahku. Kusipitkan mata untuk melihat siapa orang itu dengan jelas. Lalu orang itu menurunkan kupluk jaketnya dan berjalan mendekat padaku. “Kau tidak menjawabku.”
“Jongin?!” ucapku terkejut. Menyadari suaranya yang memang sudah sangat kukenal. Ia terus berjalan mendekat ke arahku, menelengkan kepala menunggu jawaban. “Oh.. Uh, aku..−” pikiranku tiba-tiba kosong tak bisa menjawab Jongin, ia berdiri tepat di bawah bulan purnama yang terang saat tubuh kami hanya berjarak kurang dari dua meter. “Bulan purnama menuntunku ke sini.” Jawabku akhirnya. Menyesali ucapan yang baru saja kuucapkan karena alasan yang kugunakan sangat murahan.
Jongin tergelak mendengar jawabanku, “Bulan purnama menuntunmu? Berapa umurmu, Eunjoo? Kau kira aku akan membeli kebohongan murahanmu itu?” Ia menoleh ke sungai dan menyandarkan lengannya di atas pagar.
Keningku mengerut tidak menerima ucapannya yang menganggapku berbohong. “Aku sungguhan.” Aku memanyunkan bibir sebal, melangkah pergi darinya dan duduk di tempat duduk di belakang kami.
Jongin mengikuti dan kami berakhir duduk bersama. Kediaman memakan kami beberapa waktu, saling mendengarkan napas kami yang naik turun tanpa ada kecanggungan. Cukup lama setelah itu, Jongin angkat bicara. “Sudah kau putuskan?”
“Memutuskan apa?” sahutku pura-pura tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan.
“Memberitahuku kapan untuk berhenti?” Jawabnya cepat.
Ucapannya sangat melukaiku karena itu menandakan ia sudah tak sabar lagi untuk segera meninggalkanku. Sungguh, Jongin? Kau benar-benar telah menyerah? “Oh.”
“Aku siap kapanpun kau menginginkannya. Aku tidak ingin membuatmu dalam posisi ini lagi. Aku tak ingin memaksamu.”
Kupejamkan mata, menahan amarah atas ucapannya yang tak berperasaan. “Bisakah kau tidak membicarakan itu?”
“Kenapa? Bukankah kau menunggu saat itu datang? Kau ingin aku pergi dan aku telah mempersiapkan diri untuk menerimanya. Kau hanya perlu mengatakannya padaku, Eunjoo.”
“Kubilang, hentikan! Jangan bicara lagi seolah-olah kau tahu segalanya, Jongin.”
“Maksudmu, kau tidak menginginkannya lagi?”
“Bukan begitu,” suaraku tercekat lalu berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat tanpa menimbulkan kesalahpahaman dan membuat ucapanku lebih jelas. “Sebenarnya dulu memang itu yang kuinginkan. Aku… berubah pikiran.”
“Mengapa kau melakukan ini? Karena kau kasihan denganku? Kau tak perlu melakukannya, Eunjoo. Bukan itu yang ingin kuterima.” Suaranya tegas, disusul tawa meledek yang mengganggu telinga membuatku mengkerut saat teringat pengakuan yang akan kuucapkan.
“Aku tidak bilang aku akan melakukannya.”
“Lantas?”
Aku terdiam, mencerna pembicaraan yang aku tak tahu sedang mengarah ke mana, terombang-ambing dalam kepengecutan. “Aku telah memutuskan kapan kau harus melakukannya, tapi sebelum itu, aku ingin membuat pengakuan.” Aku memulai, membuatnya sehalus mungkin untuk dibicarakan. Jongin bergumam, aku langsung melanjutkan ucapanku sebelum menjadi salah paham. “Anggap saja sebagai pengakuan dosa. Bagaimana?”
Jongin memandangiku sedikit kebingungan, tapi aku melanjutkan apa yang akan kukatakan tanpa perlu menunggu jawaban yang tak keluat dari mulutnya karena sebelum aku memberikan pengakuan, aku ingin semuanya transparan, tentang kesalahanku dan apa yang telah kulakukan di masa lalu.
“Maafkan aku, untuk semua yang telah terjadi.” Kutatap wajahnya, mengamati bibir, hidung, jidat, pipi, dagu, apapun kecuali matanya. “Aku sangat membencimu atas apa yang telah kau lakukan di masa lalu, dan kau tahu itu. Rasanya aku tak ingin mengampunimu karena telah membuatku… kesakitan dan kehilangan arah. Tapi itu semua tak adil ketika di sisi lain aku juga menyakitimu. Mungkin kedengarannya impas karena kita saling menyakiti, tapi aku merasa ada sesuatu yang berat sebelah di sana, ketika aku mengetahui seluruh kesalahanmu, dan kau tak tau kesalahan yang telah kulakukan.” Aku bisa merasakan mata Jongin−yang masih kuhindari−mengawasiku dengan intens. “Maafkan aku karena selalu merasa paling benar, mengekangmu untuk tidak melakukan hal ini dan itu, menyakitimu dengan meninggalkanmu secara sepihak, dan telah... menduakanmu.”
Jongin mendengus keras dan tertawa lirih saat mendengar kata terakhir. Kutautkan alis, kebingungan.
“Kau tidak terkejut?” tanyaku yang justru merasa terkejut.
“Aku tahu.” Jawabnya enteng, “Sejak dulu aku tahu. Kau kira aku sebodoh itu tidak mengetahui hal transparan seperti itu? Aku memiliki banyak mata, Eunjoo.”
Tentu saja. Jongin punya banyak teman, orang-orang yang menjadi matanya selama ini. Jadi selama ini Jongin tahu dan ia tidak mencoba memprotes atau apapun, membiarkannya terkubur sampai akhirnya aku menggali kenyataan itu sendiri. Ternyata memang sejak dulu aku selalu menyakitinya.
“Maafkan aku.”
Ia menghela napas panjang, tersenyum tipis memandangi tangan yang di atas pangkuanku. “Aku memaklumi. Seperti yang kau katakan sebelumnya, kita impas karena telah saling menyakiti dan aku tak bisa memungkiri kau telah melakukan banyak kesalahan. Sebuah hubungan tidak selalu berjalan mulus dan lancar, pada saat tertentu pasti akan ada rintangan dan membuat hubungan itu tergoyah. Aku mungkin terdengar sangat bijaksana dan berhati malaikat kalau aku berkata, ‘Tidak apa-apa kau telah menyakiti dan meninggalkanku, Eunjoo.’ karena nyatanya aku sangat kecew
Comments