Invitation
Marquee ReflectionKutekan kedua bibirku dengan perasaan mengantisipasi. Ini sangat mendadak dan tidak terpikir sama sekali olehku, bahkan aku tak pernah membayangkan ini akan terjadi, karena sebelumnya tak ada alasan lagi bagiku untuk menginjakkan kaki di tempat ini, di rumahnya. Tapi sekarang, kakiku kembali berdiri di wilayah teritorialnya dan mempersiapkan diri dengan kejadian terburuk yang mungkin bisa terjadi.
Aku keluar dari mobil Jongin saat ia membantu membukakan pintu kursi penumpang dan membopong Yojun dengan hati-hati.
“Biar aku yang membawanya, dia pasti berat.” Jongin berucap sambil mengulurkan tangannya memberiku isyarat untuk menyerahkan Yojun ke tangannya. Tapi aku menolak.
“Tidak apa-apa, dia tidak seberat itu, kok. Aku bisa menggendongnya sampai ke dalam. Aku takut dia akan bangun kalau nanti kupindahkan padamu.” Ujarku, menyembunyikan suaraku yang sedikit gemetar.
“Baiklah, aku akan membawa tas kalian.” Ia mengambil tas di jok belakang dan menentengnya, memimpinku untuk masuk ke dalam rumahnya.
Aku menarik napas dalam-dalam, menggendong Yojun dengan erat untuk meredakan kekhawatiran yang mengalir di dalam tubuhku. Jongin membuka pintu depan dan membiarkanku masuk terlebih dulu.
Ia menutup pintu di belakangku dan melihat ke sekeliling rumah yang sepi, aku melayangkan pandangan khawatirku mengobservasi keberadaan orang lain yang ada di rumah itu, yang kemungkinan besar adalah orang tuanya. Tiba-tiba kakiku lemas, perutku mulas dan rasanya aku tidak bisa berdiri lebih lama lagi. Kalau Yojun tidak dalam dekapanku, mungkin aku sudah ambruk ke lantai karena saking tegangnya.
“Sejin?” Jongin memanggil adiknya dan membuatku terlonjak karena suaranya tiba-tiba meninggi tapi masih tidak terlalu keras karena Yojun masih terlelap, tidak ingin membangunkannya. Ia berkeliling ke dapur dan tidak menemukan siapapun. Harapan bertumbuh di hatiku, berharap tidak ada orang di rumah Jongin sehingga aku tak perlu bertemu dengan orang tuanya.
Suara pintu terbuka menyeruak dari lantai atas dan menampilkan Sejin dengan baju kasualnya berjalan turun dari tangga. “Woa! Eunjoo eonni.” Teriaknya, diikuti oleh ‘Ssstt’ dari Jongin menunjuk Yojun yang sedang tidur. “Ups. Maaf.” Bisiknya. Ia menuruni tangga dan berdiri di sampingku dengan cengiran lebar yang sama seperti milik Jongin.
“Sejin, bawa Eunjoo ke kamar Yojun. Aku akan mencari ayah dan ibu.” Kata Jongin, meletakkan satu tangannya di bahu Sejin memberinya perintah.
“Ayah dan ibu sedang pergi, mereka tidak di rumah.” Sejin memberitahu Jongin, yang membuatku lega setengah mati karena itu artinya aku tak perlu bertemu dengan mereka. Beban yang memberati hatiku sebelumnya lenyap seketika, kemudian menyaksikan raut kekecewaan yang terpasang di wajah Jongin. Apa dia ingin aku bertemu dengan orang tuanya?
“Oh.” Tanggapnya singkat.
Sejin mengantarku ke kamar Yojun di pojok lantai dua, tepat di samping kamar Jongin dan membaringkannya di tempat tidur khusus yang biasa Yojun tiduri.
“Sepertinya kau bersenang-senang hari ini.” Kata Sejin, masih berdiri di sampingku yang kali ini dengan senyuman hangat dan menyenangkan−yang juga sama seperti milik Jongin.
“Iya, aku senang hari ini, karena bisa bertemu dengan Yojun.” Aku memasang senyum, mengingat apa yang terjadi antara aku dan Yojun... dan Jongin.
“Dia sangat mirip dengan Jongin oppa, ya?” Sejin memancing, aku mengangguk menyetujui.
“Yojun sangat menggemaskan.” Tambahku, mengusap pipinya yang tembem dan menyubitnya lembut.
“Jongin oppa juga.” Aku menoleh pada Sejin dan melihat cengirannya yang semakin lebar sambil mengangkat bahu, lalu ia pergi ke luar dari kamar cepat-cepat. Kuputar bola mataku melihat tingkah Sejin, mengekorinya turun dari lantai dua dan berjalan dengan kilat saat melewati pintu kamar Jongin. Aku tidak ingin kenangan itu muncul lagi hanya karena aku melihat pintu kamarnya yang sangat menghantui.
“Eonni kau yakin tidak ingin bertahan sebentar? Ini kan belum terlalu malam.” Sejin menggandeng lenganku, merayuku untuk bertahan lebih lama lagi di sana. Sangat menggoda sebenarnya karena aku bisa berbagi banyak hal dengan Sejin, tapi kekhawatiranku akan pertemuan bersama orang tua Jongin masih belum menghilang. Aku khawatir kalau-kalau orang tuanya tiba-tiba pulang dan mendapatiku sedang di sana.
“Masih ada lain kali, Sejin. Kau bisa bertemu denganku kapanpun kau mau.” Aku menolaknya dan memasang senyum tulus. Nyatanya aku ingin cepat-cepat pulang.
Sejin memanyunkan bibir, “Baiklah.” Ujarnya pasrah lalu kami berpelukan singkat.
Aku menenteng tas tanganku dan Jongin membukakan pintu depan untuk segera pergi. “Sampai nanti, Sejin.”
“Sampai nanti, eonni. Hati-hati di jalan.” Aku melambaikan tangan padanya yang ia balas sebelum menutup pintu rumah.
Aku mengikuti Jongin menuju ke mobilnya saat mobil lain berhenti di sisi halaman, membuat darah di tubuhku berdesir hebat dan jantungku rasanya ingin melompat dari tempatnya. Jongin menutup pintu mobil yang sebelumnya telah ia buka dan berbalik menghadap orang yang baru keluar dari mobil lainnya, memasang senyuman dengan lebar.
Kakiku melemas, panik menyergapku dan meremas telapak tanganku yang berkeringat dingin.
“Ayah! Ibu!” teriak Jongin, membuatku terlonjak di tempat, Jongin melirikku cepat dengan senyumannya lalu memberiku isyarat untuk maju berdiri sejajar dengannya.
Oh, tidak! Rutukku dalam hati. Ingin rasanya aku meleleh dengan seketika agar aku menghilang dan tidak perlu bertemu dengan orang tuanya.
“Ah, Jongin-ah.” Wajah ayahnya menampilkan keterkejutan saat melihat Jongin, lalu matanya mendarat padaku dan ia semakin terkejut. Aku memasang senyum ragu-ragu, hanya bersikap untuk terlihat lebih sopan. Ayah Jongin menggandeng lengan ibunya yang memandangku dengan raut kebingungan terpancar dari wajahnya. Jauh dari perkiraan yang telah kuantisipasi kalau mungkin ia akan langsung meny
Comments