Gathering
Marquee ReflectionMungkin kehadiran Jongin tidak banyak berpengaruh akhir-akhir ini, atau karena aku masih mengabaikannya seperti biasa. Dan ketidakhadiran Sehun juga terasa sama, tidak berpengaruh begitu besar karena aku dalam perjalanan untuk melepaskannya pergi sepenuhnya.
Waktu terus berjalan, musim terus berganti, tapi aku tetap sama, karena aku berhenti. Aku tidak maju, tidak juga mundur. Sejak kepergian Sehun−well, secara teknis memang aku yang meninggalkan Sehun, tapi rasanya seperti Sehun yang menghilang−aku tidak banyak berubah. Kuputuskan untuk menjalani semua yang terjadi seperti apa adanya, aku tidak berusaha untuk merubah apapun karena aku tidak ingin ada perubahan yang signifikan terjadi dalam hidupku. Walaupun begitu, kenyataan memang tak pernah berpihak baik padaku, karena segala sesuatu yang terjadi pada akhirnya akan berubah.
Beberapa bulan berlalu, aku tidak bertemu dengan Sehun bahkan mendengar kabar tentangnya saja aku tak pernah. Semakin lama ini terasa seperti kebiasaan, ketika aku menghindari seluruh kenangan yang pernah terjadi di antara kami berdua dan menganggap semua itu tidak ada. Bagaimanapun juga aku harus menyembuhkan diriku sendiri, menambal perasaan yang sudah tak berbentuk menjadi utuh kembali. Atau setidaknya aku harus mencoba seberapapun lambatnya.
Aku hanya bisa terdiam saat film-film pendek kembali berputar di dalam kepalaku, menampilkan kepergian Sehun pagi itu, mengulas ucapannya yang kontras tentang mencintaiku dan tidak menginginkanku secara berurutan, menikmati sensasi yang selalu ia timbulkan ketika aku sedang bersamanya−membuatku secara otomatis merengkuh diriku sendiri ke dalam pelukan, mencoba untuk tegar, mencoba untuk tetap baik-baik saja. Bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang ia lakukan, apa yang sedang ia rasakan, apa dia memikirkanku, apa dia merindukanku?
Seakan semuanya yang pernah terjadi tak pernah lagi ia rasa.
Masih adakah tentangku di hatinya? Sebegitu mudahkah bagi Sehun untuk hapuskan semua kenangan bersama denganku? Tak pernah sedikitpun kubayangkan, betapa hebatnya cinta yang tertanam di hati ini, hingga waktu beranjak pergi dan akhirnya ia selalu menghancurkan hatiku. Ada sesuatu yang menghilang dari perasaan yang sudah terlanjur kuberikan pada Sehun. Ternyata aku tak berarti tanpanya, aku tak mampu menjalani semua ini seorang diri, berharap ia di sini, selalu di sini.
Tapi aku tahu, itu tak bisa.
Cinta ini, cinta yang kuberikan pada Sehun, cinta yang kusimpulkan dengan terburu-buru, cinta yang membuatku mengerti akan banyak hal, aku tidak akan pernah menyesalinya. Satu hal yang pasti, jatuh cinta dan kepada siapa kita jatuh cinta bukanlah sesuatu yang salah. Waktu ketika cinta itu munculah yang tidak tepat. Waktu juga tidak salah, hanya kurang tepat. Seperti cinta di antara kami berdua.
-
Aku tidak mengatakan aku menjalani hariku dengan bermuram durja, karena yang kurasakan saat ini−pasca patah hati karena Sehun−jauh berbeda dengan yang kurasakan saat perpisahan dengan Jongin dulu. Karena secara teknis tidak ada yang berubah, hanya ketidakhadiran Sehun yang terus menelanku bulat-bulat, tapi aku bisa mengatasinya seiring berjalannya waktu. Teman-teman tidak pergi meskipun Sehun pergi, mereka terus bertahan karena tak ada alasan yang membuat mereka harus pergi. Termasuk satu orang, yang masih terus bertahan dengan apapun yang terjadi, membuatku lebih merasakan kehadiran Jongin lebih daripada sebelumnya.
Ucapan Yoomi muncul di kepalaku setiap kali memutar dan menyambungkan tali-tali tak kasat mata yang membuat hatiku selalu berbunyi ‘klik’ dan ‘klok’ karena semuanya seperti bersangkut paut.
“Kenapa Jongin dan Sehun sama-sama suka mempermainkan hati perempuan?”
“Berhentilah bicara seolah-olah kau tak pernah melakukannya juga, Eunjoo.”
Aku mendengus kesal. Masih belum mengakui kebrengsekanmu, Joo? Hah. Bukan bermaksud untuk menyangkal, tapi dalam misi membela diri, aku tidak mengiyakan itu sebelumnya, tapi setelah pembicaraan masa lalu yang Yoomi angkat malam itu, mataku semakin terbuka dengan semua yang terjadi. Mungkin aku benar-benar terkejut saat Yoomi mengucapkan nama Sungyeol untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu yang lama, tapi aku tidak berharap lebih, karena kecil−sangat kecil di dalam hati aku memperkirakan hal ini akan terungkap.
Aku tidak takut hal ini akan muncul, aku hanya tidak ingin kejadian itu kembali terlintas di kepalaku, tapi toh tetap saja muncul, terlebih saat Yoomi menjalankan misinya sebagai sahabat terbaik yang kumiliki, sahabat yang mencoba untuk menyadarkan sahabatnya yang buta karena cinta.
Di sanalah Sungyeol, berdiri sebagai penyelamatku karena aku akhirnya menyadari semuanya dan menggabungkan puzzle-puzzle itu menjadi satu. Walau cintaku dengan Sungyeol hanya bertahan dalam hitungan minggu saat tahun kedua di bangku SMA, tetap saja itu tidak merubah kenyataan, kan? Karena itu artinya aku bersama orang lain di belakang punggung Jongin.
Semuanya menjadi jelas sekarang, kenapa hukuman berjalan dengan semestinya, kenapa karma berlaku. Kenapa semuanya terjadi padaku dengan sedemikian rupa. Karena kalau dipikir-pikir, rasanya memalukan ketika mengingat saat itu dan mengingat semua ucapan yang pernah kukatakan pada Jongin, nyatanya dia bahkan tak tahu aku pernah ada hubungan dengan Sungyeol, padahal Jongin selalu mengakui perbuatannya dan selalu minta maaf padaku. Tapi aku bahkan tak pernah sekalipun meminta maaf padanya karena sedang bersama lelaki lain dan bersamanya di saat yang sama. Kembali lagi seperti yang Sehun pikirkan tentangku, dulu aku memang seorang yang brengsek. Aku tak akan memungkiri untuk yang satu ini. Karena itu memang benar.
Jadi apa intinya kalau ternyata kami semua brengsek dan pantas menerima kesakitan karena perbuatan kami. Tak perlu ada tangis dan air mata lagi karena apapun yang kita putuskan untuk dilakukan, akan selalu punya resikonya sendiri. Tak jauh beda dengan yang kulakukan.
Betapa buruk diriku? Aku pernah selingkuh, aku pernah diselingkuhi, aku pernah jadi selingkuhan dan aku pernah selingkuh saat menjadi selingkuhan. Bukankah itu terlalu banyak kata ‘selingkuh’? itu memusingkan tapi tetap tak gagal untuk membuatku menertawakan diriku sendiri.
“Ada yang ingin bertemu denganmu, Eunjoo.” Aku mendongak dan melihat Jimin menyembulkan kepalanya di pintu, tersenyum tulus dan membuka pintu lebih lebar ketika aku masih mencerna apa yang ia katakan.
Seorang wanita berumur 60-an masuk ke dalam ruanganku menenteng wadah makanan yang terbungkus kain dan berteriak histeris ke arahku.
“Eunjoo!!” serunya dengan riang, aku berdiri dalam kebingungan sementara ia melebarkan lengannya lebar-lebar untuk memelukku setelah meletakkan barang bawaannya di atas meja.
Ia memelukku sangat erat sampai aku tak bisa bernapas karena tubuhnya yang besar dan otot tangannya yang masih kuat merengkuhku penuh rindu. “I-Ibu−aku tak bisa napas−” aku terbata lalu merasakan lengannya mengendur di sekitar tubuhku.
“Ya ampun! Itukah yang pertama kali kau ucapkan setelah tidak bertemu dengan ibumu selama berabad-abad? Dasar anak kurang ajar. Ibu sangat rindu padamu.” Ia tidak bermaksud mengatakan aku ‘kurang ajar’ dengan sungguh-sungguh, walau aku merasa itu memang benar. Ia bicara tanpa henti, kembali memelukku tapi kali ini lebih lembut dan tidak berusaha untuk memutuskan jalan napasku. Kulingkarkan tanganku ke tubuhnya penuh sayang dan tersenyum saat bau tubuhnya yang sangat khas menyeruak ke dalam hidungku.
“Aku juga rindu padamu, Bu.” Aku berucap, melihat Jimin pergi meninggalkan ruangan. “Apa kabar? Sudah check-up?” tanyaku, mengamati tubuhnya sekilas yang kelihatan lebih sehat. Kami duduk di sofa dan ia mulai membuka bungkusan yang ia bawa, menatanya satu per satu di atas meja. Menyajikan berbagai makanan yang sudah lama sekali tidak pernah kumakan. Makanan yang hanya bisa kutemui ketika aku pulang ke rumah.
“Jadwalnya hari ini, setelah pulang dari sini ibu akan check-up,” ia melipat kain dan melirik jam ditangannya. “Ibu hanya mampir sebentar untuk mengambil wadah yang lain.”
Aku menautkan alis, “Wadah apa?” tanyaku penasaran.
“Wadah makanan tentu saja. Kurasa Hyoeun yang mengurusnya.” Jawabnya sambil lalu, masih membuatku bingung.
“Hyoeun?” tanyaku semakin penasaran, keningku berkerut dalam.
“Ibu sering datang ke sini, Eunjoo. Kebetulan Jimin memberitahu ibu hari ini kau berangkat kerja, jadi ibu bawakan dua. Satu untukmu, satu untuk Jimin.” Jelasnya, aku mengangguk-angguk mengerti, walau sebenarnya aku masih tak mengerti. Tentu saja satu untuk Jimin, ia sudah menjadi bagian dari keluarga kami.
“Tapi mereka tak pernah bilang padaku?” dengan merasa sedikit terhianati, aku menaikkan suaraku. “Harusnya mereka memberitahuku sejak awal.” Suaraku penuh kekecewaan.
Ibu mengusap lenganku, “Jangan marah pada mereka, ibu yang meminta mereka untuk tidak memberitahumu.” Ia tersenyum hangat, membuatku semakin tidak mengerti.
Mereka pasti aktor dan aktris yang hebat karena mereka menyembunyikan semua ini dariku tanpa jejak, benar-benar bersih membuatku tak menyadarinya sama sekali.
Lalu ia beranjak dari tempat dudu
Comments