Hopeless
Marquee Reflection“Masuklah…”
Jongin melewati pintu depan, menenteng barang bawaan di kedua tangannya. Ia memberiku bingkisan tipis yang sebelumnya kuminta. Mata kami bertemu, aku menatapnya datar, ia hanya membalas tatapanku tanpa emosi. Seolah emosinya sedang dikubur sehingga aku tak bisa menemukannya melalui wajahnya. Entah apa yang kuharapkan bisa kudapat di dalam wajahnya. Kekecewaan, mungkin?
Aku tidak ingin Jongin kecewa padaku, tapi dengan apa yang telah terjadi, kemungkinannya sangatlah besar untuk membuat Jongin kecewa. Dan secuil di pikiranku, kuharap ia memang kecewa padaku. Tapi kini akulah yang kecewa karena tak mendapatkan ekspresi itu di wajah Jongin.
Ia menyapu matanya ke seluruh ruangan. Secara resmi, ini adalah pertama kalinya Jongin masuk ke dalam apartemenku seutuhnya. Aku tidak menghitung kedatangan Jongin sebelumnya, karena itu tidak ingin kuakui. Ia melihat meja di tengah-tengah sofa yang telah di ganti. Dan saat itu akhirnya aku melihat wajahnya menyeruakkan sebuah ekspresi, raut penyesalan yang terpantul jelas dari matanya. Aku menyeringai sinis.
Jongin meletakan bungkusan berisi makanan di atas meja itu dan duduk di sofa yang berseberangan dengan yang sedang kududuki. Ia kembali menolehkan pandangannya ke sekitar ruangan. Ke konter dapur putih, ke tempat tidur, ke lemari dan ke posisiku.
“Kau tidur di sofa?” tanyanya datar, melihat selimut dan bantal yang tergeletak di sisiku.
Aku hanya mengangkat bahu, enggan menjawabnya. Seolah kehilangan keinginan untuk berbicara, aku hanya terdiam, kembali memeluk lututku ke dalam dekapan, meletakkan salah satu pipi ke gelang pemberian Sehun saat tangan kiriku dijadikan sandaran daguku. Pandanganku terpecah antara melihat Jongin, ke luar jendela dan ke barang-barang di sekitarnya. Jongin masih memandangiku, mempelajari apa yang sedang terjadi.
“Kenapa kau memintaku membawakannya?” Tentu saja Jongin ingin tahu. Matanya menatapku intens, kulihat ada sebersit kemarahan yang melintas di wajahnya.
“Karena aku telat bulanan. Sudah satu minggu.” Jawabku datar.
Aku tidak peduli kalau jawabanku akan menyakiti hatinya atau apa, toh itu resikonya sendiri karena menanyaiku pertanyaan seperti itu.
Jongin mengangguk-anggukan kepala, meremas tangannya yang mengepal lalu bersandar pada sandaran. “Dan kau belum makan?”
Kembali kuangkat bahuku memberinya jawaban. “Kalau kau ingin makan, makan saja. Perlengkapannya ada di lemari bagian atas, kau boleh mengambilnya sendiri. Aku tidak ingin makan.” Kualihkan pandanganku ke luar jendela.
“Kau belum makan sejak kapan?”
“Entahlah. Hari apa sekarang?” jawabku tanpa memandangnya.
Kudengar Jongin mendesis rendah di atas sofa saat mendengar jawabanku. “Sekarang hari Sabtu.”
“Mungkin Selasa. Aku lupa.” Kataku sambil lalu. Aku benar-benar tak ada napsu makan sama sekali. Aku tidak ingin makan apapun, aku tidak ingin melakukan apapun.
“Keterlaluan, Eunjoo. Kau harus makan.” Tegasnya.
“Aku tidak ingin makan.” Kataku lebih mempertegas.
“Apa susahnya makan? Kau harus memikirkan kesehatanmu, kau akan sakit kalau begini terus. Kau hanya akan membuat orang lain khawatir.”
“Kalau begitu jangan pedulikan aku. Tak ada yang perlu khawatir dengan keadaanku.”
“Tapi aku peduli padamu. Dan aku khawatir kalau kau terus mempertahankan keras kepalamu tanpa memikirkan tubuhmu.” Serunya. “Please…”
“Aku. Tidak. Ingin. Makan.” Aku mendesis dan mendelik padanya.
Kupandanginya dengan garang, sebal saat ia mulai memintaku melakukan hal yang tidak ingin kulakukan. Tapi Jongin justru tertawa ringan dan menyisir rambutnya dengan jari-jarinya pelan.
“Well… kalau aku jadi kau, tentu aku akan makan. Aku tak akan membiarkan seseorang di dalam perutku kelaparan dan menyiksanya di dalam sana. Pasti sangat menyakitkan.” Jongin kembali tertawa. Entah tertawa karena menertawakanku yang keras kepala atau menertawakan seseorang yang ia maksud.
Refleks aku menurunkan tanganku dan menyentuh perutku yang selama ini kubiarkan kosong. Kalau benar ada seseorang sedang ada di dalam perutku, pasti ia sangat tersiksa. Aku mengigit bibir bawahku, merasakan panik yang langsung menjalar ke seluruh tubuh, kupandangi Jongin penuh kekhawatiran.
“Jadi… kau akan makan, kan?”
Keraguan menyelimutiku, tapi aku langsung mengangguk cepat, memeluk perutku penuh rasa penyesalan. Aku pasti seorang ibu yang jahat karena membiarkan anakku sendiri kelaparan. Jongin beranjak dari sofa dengan raut wajah yang tak bisa kutangkap. Harusnya ia senang karena aku menuruti permintaannya, tapi ia justru memasang tampang tanpa emosinya lagi dan mengulurkan tangan kanannya untuk membantuku berdiri dari sofa lalu menuntunku ke meja makan. Kugapai uluran tangannya dengan tangan kiri, sementara tanganku yang lain masih bertahan di sekitar perut. Satu tangan Jongin yang lain menenteng bungkusan makanan.
Jongin langsung meluncur ke lemari perlengkapan dan meletakannya di atas meja. Mengisinya dengan makanan yang ia bawa dan setelah itu kami makan bersama.
Dengan hati-hati aku memasukkan nasi ke dalam mulutku, mengunyahnya perlahan. Kuambil beberapa makanan yang telah Jongin siapkan, bahkan Jongin memberikan separuh porsinya untukku.
“Ambilah. Kau harus makan yang banyak.” Ucapnya sambil mendorong separuh porsi makannya padaku dengan senyum datar yang kelewat kecut.
Meskipun aku tidak ingin makan, tapi aku harus makan. Karena ada yang lebih membutuhkan asupan nutrisi daripada diriku sendiri. Rasa bersalah kembali meliputiku, merasa sangat bodoh karena hanya memikirkan diriku sendiri ketika ada yang harus lebih kupikirkan.
Kumakan semua makanan yang ada di atas meja, seolah membayar hutang makan di hari-hari sebelumnya yang tidak terlengkapi. Jongin menontonku makan dengan seringaian mengejek terukir di bibirnya. Tapi aku tidak peduli. Dengan lahap aku menghabiskan hampir seluruh makanan di atas meja, kemudian tersedak saat mendengar apa yang Jongin katakan.
“Tentang ciuman kita tempo hari. Eunjoo, aku−”
Aku mendelik padanya dan Jongin terkejut melihatku tersedak. Ia langsung berdiri ke sampingku dan memberiku segelas air putih. Tangannya menggosok punggungku lembut. Kuminum air yang ia berikan, mencoba bernapas normal lalu menyingkirkan tangannya yang masih di punggungku.
Napasku megap-megap, terlebih saat merasakan perutku yang seperti akan meledak karena kekenyangan sampai rasanya aku tak bisa berdiri dari tempat dudukku.
Jongin kembali ke tempat duduknya lagi dan menatapku khawatir, perasaan bersalah juga terpasang di wajahnya.
“Maafkan aku tentang kejadian saat itu…” ia melanjutkan, “aku tidak bermaksud bersikap buruk padamu dan…” Jongin mengangkat bahu, seolah sedang mencari kata yang tepat untuk dilontarkan tapi tidak menemukannya. “Aku hanya ingin bersikap baik padamu, Eunjoo.”
Jongin merasa bersalah karena telah menciumku? Kurasa bukan begitu caranya bersikap baik padaku. Maksudku, dengan memberiku ciuman itu. Atau dengan meneleponku setiap waktu, atau dengan membawakan apa yang kuinginkan dan makanan yang perlu kumakan. Kepalaku tergetok saat menyadarinya.
“Kau menyuapku, ya?” tanyaku tak percaya.
Ia menyogokku karena merasa bersalah telah menciumku dan membawakan apa yang kubutuhkan. Ia sengaja melakukannya.
“Apa?” Jongin menautkan alisnya. “Tidak, Eunjoo. Aku tak ada niatan seperti itu.” Jongin membela diri.
“Akui saja. Kau menyuapku karena kau merasa bersalah, kan?” aku mendengus tajam, mengalihkan pandangan dari Jongin. “Tenang saja, nanti akan kuganti biayanya. Kau aneh sekali menyogokku seperti ini.” Ujarku tidak peduli lalu beranjak dari kursi dan berjalan ke arah sofa.
“Aku tulus padamu, Eunjoo. Aku tidak mau menerima uangmu. Aku tidak ingin menerima uang dari wanita yang kucintai. Apa itu aneh? Lebih aneh lagi kalau kuterima, kan?”
Kudengar suara Jongin mengikuti di belakangku dan aku duduk di sofa saat ia melangkahkan kaki mendekat ke jendela kaca.
“Kau melakukannya dengan sepihak.” Kataku dengan enggan. “Berhentilah membicarakannya. Kau−”
“Sepihak?!” Jongin berbalik, menautkan alis dan menatapku tajam.
“Lalu apa? Kita berdua? Jangan harap.”
“Kau gugup.”
“Tentu saja aku gugup, siapapun yang berada di posisiku saat itu pasti gugup. Aku benci itu.”
“Benci?” tanyanya terperangah.
“Ya.” Jawabku mantap.
Jongin mendengus, “Tapi kau menikmati dan menyukainya.” Ujarnya lugas.
“Tidak. Aku tidak menyukainya.”
“Iya.”
“Kalau aku berkata tidak suka ya berarti tidak suka. Menurutmu yang kau pikirkan itu benar? Kau tidak ingin tahu pikiranku? Hah!” dengusku.
Tangannya bertumpu pada sandaran sofa, menatapku lurus ke mata. “Bukan bagaimana pikiranmu, tapi bagaimana perasaanmu.” Katanya dengan suara rendah penuh keseriusan.
Aku berpaling. Tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan jawabannya. “Tidak suka.” Aku bersedekap, mengabaikan tatapannya. “Aku tak akan pernah menyukainy
Comments