Honesty
Marquee ReflectionKutatap ngeri luka-luka Jongin yang selama ini tertutupi baju dan sekarang terpampang dengan jelas saat aku membantunya mengenakan pakaian sebelum pulang. Goresan-goresan pendek ada di mana-mana dan itu pasti sangat perih jika terkena air. Aku mengernyit hebat saat Jongin dengan mudah mengangkat bajunya melewati kepala tanpa terlihat kesakitan sedikitpun, justru aku malahan yang merasakan nyerinya.
Aku menahan napas saat kusadari Jongin telah benar-benar bertelanjang dada, langsung kualihkan pandanganku ke benda lain, mengalihkan mataku pada baju yang akan ia kenakan, mengulurkan benda itu padanya tanpa melihat ke wajahnya yang datar.
“Eunjoo, aku tidak bisa memakainya sendiri.” Rengeknya, membuatku apa boleh buat kembali memandangi Jongin dan membantunya memasang baju itu ke tubuhnya. Ini bukan pertama kalinya aku melihat ia bertelanjang dada−bahkan yang lebih dari itu pun aku pernah, tapi rasanya sangat aneh untuk melihatnya saat ini.
Tubuhnya yang tertekuk, menimbulkan bentuk-bentuk kotak di perutnya menjadi terlihat jelas dan membuat wajahku memanas saat tubuhnya ada di hadapanku. Terlebih saat kulitku bersentuhan dengan kulitnya yang panas, itu membuatku bernapas tak teratur. Aku benci hal ini. Ketika aku terjebak berdua lagi bersama Jongin dan apa yang ia lakukan tidak membuat semuanya jadi membaik.
Mungkin Jongin memang tidak sengaja melakukannya; membuatku membantunya mengenakan baju, tapi keadaanlah yang membuat kami berdua seperti ini. Aku hanya menghela napas ringan.
Setelah selesai membantu Jongin mengenakan baju, aku pergi ke tempat administrasi dan mengurus semuanya. Tapi ternyata Gain telah mengurusnya kemarin, jadi aku hanya perlu mengantarkan Jongin pulang.
Kami pulang naik mobil Jongin dan aku yang menyetir. Tak bisa ku bayangkan Jongin menyetir sendiri dengan tangannya yang masih dibebat seperti itu. Dan aku senang Jongin tidak keberatan sama sekali.
Sesampainya di apartemen Jongin, aku membantunya−tanpa mengucapkan sepatah katapun−membawakan barang bawaannya dan membantu Jongin menyiapkan peralatannya sehingga mudah di capai. Jongin hanya bisa melakukan seluruh pekerjaan dengan satu tangan, yaitu tangan kirinya. Dan itu agak susah sebenarnya mengingat ia lebih sering menggunakan tangan kanan, kalau aku mau, mungkin aku akan bertahan di sini menemani Jongin dan membantunya mengurusi kebutuhannya. Tapi sayangnya aku tidak berkeinginan begitu.
Kurasa beberapa hari saja aku terjebak bersama Jongin itu sudah cukup.
Ini kedua kalinya aku datang ke apartemen Jongin dan pertama kalinya menjelajah ke hampir seluruh ruangan. Aku suka konter dapurnya yang terlihat elegan dengan warna dominan putih dan hitam, sama seperti konter dapurku juga, sangat favoritku. Jongin sedang duduk di salah satu kursinya, menggenggam segelas air yang baru saja ia teguk.
“Oke…” kataku memecah keheningan, bersandar pada konter. “Sepertinya aku harus pulang.”
Jongin memanyunkan bibir. “Siapa yang bilang begitu?”
“Aku.” Jawabku singkat.
“Meninggalkanku sendiri dengan tangan seperti ini?” Ia menyodorkan tangannya yang dibebat ke wajahku. Aku mengangkat bahu. “Tega sekali… Kau tidak ingin mencoba memasak di konter dapurku?”
Ia tahu konter dapurnya telah menarik perhatianku. “Emm, so tempting…” aku tertawa kecil, “Tapi kurasa tidak.” Melayangkan senyum tulus padanya. Jongin memasang tampang sedihnya.
Aku beranjak menggapai tasku di dekat televisi. Jongin ikut berdiri, lalu menangkap lenganku saat aku berbalik memunggunginya.
Jongin membalikkan tubuhku lambat dan berdiri di hadapanku. Aku menunduk, tidak berani menatap wajahnya yang terlalu dekat.
“J-Jongin, a-ada apa?” aku tergagap. Tangannya yang bebas mengangkat daguku sehingga aku menatap wajahnya.
Kami saling memandang lama sekali. Tangannya panas membara di kulitku. Di wajahku, aku tahu tidak tergambar emosi apapun termasuk kesedihan sendu−karena jujur saja bersama Jongin pagi ini membuat moodku membaik mengingat malamnya aku seperti sekarat kesakitan. Mulanya wajah Jongin merefleksikan wajahku melalui matanya, namun ketika kami sama-sama tak mengalihkan pandangan, ekspresinya berubah. Ia menaruh telapak tangannya ke pipiku, sehingga wajahku terperangkap oleh satu tangannya yang panas membara.
“Eunjoo…” bisiknya.
Aku membeku.
Tidak! Aku belum mengambil keputusan apapun tentang ini. Entah apakah aku mampu melakukannya, dan sekarang aku sedang tak bisa berpikir. Kubalas tatapannya, ia bukan Jongin-ku, tapi ia bisa menjadi milikku. Lagi. Dalam begitu banyak hal, wajahnya sangat kukenal.
Jongin mencondongkan tubuh perlahan-lahan dan semakin erat memegangi rahangku dengan tangan kirinya. Aku berkedip pelan, wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. Jantungku berdebar-debar, perutku mulas. Aku mencoba untuk bernapas, tapi paru-paruku menolak untuk melakukannya. Aku benci sensasi ini. Aku benci karena Jongin yang melakukannya. Tapi aku juga tidak mau menyingkir.
Kukenali hasrat itu di mata Jongin, aku tahu bagaimana ia akan bergerak, tahu dengan tepat seperti apa rasa bibirnya. Namun ini sangat tidak biasa bagiku, aku lupa rasa bibirnya, dan ini semakin tidak baik ketika terbesit di benakku ingin merasakan bibirnya yang terlupakan.
Kupikir ia hanya bermaksud mengusapkan bibirnya ke bibirku, hanya ingin bersikap lembut, tapi semua berubah ketika kulit kami bersentuhan dan aku mulai memejamkan mata. Dengan cepat bibir Jongin berubah keras dan lembut, tangan kirinya memerangkap wajahku pada wajahnya, sementara bibirnya menggerakan bibirku dengan gerakan yang tidak ku kenali, atau yang telah ku lupakan.
Responku berbeda dengan yang ada dalam ingatanku saat berciuman dengan Sehun. Yang ini terasa lebih kuat, rasanya seperti sebuah kebiasaan. Mungkin karena dulu kami sering melakukannya.
Bibirku bergerak dengan bibir Jongin mengikuti arus, terlalu banyak pikiran yang ada di kepalaku sementara Jongin sepertinya tidak berniat melepaskan bibirnya dari bibirku, dan yang lebih luar biasa, aku juga tidak ingin Jongin melepaskannya. Aku tidak ingin mengakuinya, tapi mungkin memang benar jika aku merindukan semua ini dengan Jongin. Walau hanya sekejap mata.
Mengapa aku menerima perlakuan Jongin seperti ini? Kepalaku pusing, antara efek karena ciuman Jongin dan pikiranku yang sedang bekerja keras mencari teori-teori kenapa aku tidak keberatan dengan bibirnya yang menciumku.
Aku tidak mengerti dengan semua yang terjadi, akal sehatku jelas mengatakan aku tidak seharusnya menikmati ciuman Jongin, tapi apa yang ku lakukan justru sebaliknya. Dengan alasan apa aku membalas ciuman Jongin? Apakah karena merasa bersalah semata? Karena aku telah membuatnya terluka, secara fisik? Entahlah.
Ingatanku berkelana, mencari kapan terakhir kalinya aku berciuman dengan Jongin semanis ini. Dua tahun yang lalu? Mungkin saat kami masih sering bersama tanpa adanya masalah dan masih saling mencintai.
Kenyataan menamparku saat mengingat bagaimana semua ini lenyap, bagaimana aku dengan Jongin berakhir. Aku megap-megap seperti baru saja keluar dari kolam dan menggapai udara sesegera mungkin mengisi paru-paruku saat melepaskan diri dari bibir Jongin. Aku tidak bisa melakukannya lagi. Jongin bukan orang yang tepat. Kepalaku melayang kacau.
Ia menyandarkan kepalaku ke bahunya, napas kami terengah-engah menggema di ruangan, aku memejamkan mata, terus berpikir ini bukan hal yang benar. Aku merasa sedang menghianati Sehun.
“Selamat ulang tahun, Yoon Eunjoo.” Bisik Jongin di telingaku, suaranya membuat rambutku bergerak-gerak menggelitik telinga.
Lalu aku menjauh dari tubuhnya, menatap wajahnya yang memasang senyum dan matanya yang lembut menatapku teduh. Aku tidak ingin membuat Jongin terluka karena aku tidak bisa memberikan hatiku padanya. Aku tidak bisa melakukannya.
Pandanganku turun menatap lehernya,
Comments