Unreasonable Point

Puzzle of My Heart
Please Subscribe to read the full chapter

April 2011

Bunyi pluit panjang setelah empat quarter menandakan pertandingan telah usai. Suara decit sepatu yang bergesekan dengan lantai berlapis kayu berwarna cokelat kini telah berhenti. Decitan itu berganti dengan suara riuh penonton yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Mereka sedikit namun memberi dukungan yang sangat maksimal. Kebanyakan dari mereka adalah teman maupun sahabat yang meluangkan waktu senggangnya demi menonton tim kesayangan mereka bertanding, meskipun hanya pertandingan persahabatan menjelang kompetisi musim panas yang akan diselenggarakan beberapa minggu lagi.

Keringat mengucur deras meleleh dari pelipis, leher dan seluruh tubuh para pemain. Ucapan selamat dan pujian juga tak tertinggal bagi tim pemenang, terpusat untuk seorang gadis yang masih bediri di tengah lapangan dan melakukan high five pada seluruh pemain yang ada di sana. Gadis three point, begitulah mereka menyebutnya, adalah pemain yang perlu dijaga ketat jika telah memasuki daerah three point dan selalu menyusahkan lawan jika lengannya telah terangkat tinggi dan mulai melambungkan bola ke arah ring, gadis itu bernama Shim Nayoung.

Setelah menyalami seluruh kawan dan lawan, matanya melirik sekilas ke tribun penonton dan mendapati sahabatnya tengah berteriak ke arahnya. “Shim Nayoung! Sudah waktunya, cepatlah!” Yan Li Na, gadis berdarah Tiongkok itu mengangkat tangannya yang terlilit jam tangan sambil mengetuk-ngetuknya ke arah Nayoung dengan tangan yang lain, memberi tahu sebentar lagi waktu janjiannya akan berlangsung, tak ketinggalan lalu melambai-lambaikan tangannya dan melayangkan flying kiss pada Nayoung.

Nayoung mengangkat ibu jarinya dan membiarkan sahabatnya itu berlalu meninggalkan tribun, kemudian ia bergegas ke ruang ganti meninggalkan kawan timnya yang masih di lapangan. Ia mengganti seragam basketnya dengan sehelai kaos oblong dan celana jins setelah mengeringkan keringat dan mandi kilat. Bahunya tergantung tas dan membiarkan sepatu kesayangannya bertahan di kakinya. Sementara kakinya melangkah ke luar ruangan, tangannya mulai merapikan rambut panjangnya dan menguncirnya ke belakang, membiarkan udara menerpa wajah dan lehernya dengan bebas.

Pertandingan telah usai, itu artinya saat untuk berkencan segera tiba−oh, atau belum bisa disebut kencan karena belum ada kesepakatan kalau mereka berdua berkencan. Nayoung mulai berjalan di luar gerbang dan menunggu seseorang yang sedang ia tunggu-tunggu. Tak lama dari saat itu, ia menangkap sosok yang bisa ia kenali tanpa sekalipun merasa kesulitan untuk mencarinya. Laki-laki yang telah lama mencuri hatinya.

Yixing muncul dari bus yang baru saja berhenti di halte dan tanpa sadar Nayoung langsung menyunggingkan senyum bahagia selagi Yixing berjalan menghampirinya. Yixing melambaikan tangan dengan cengiran khasnya yang langsung menimbulkan lekukan di pipi, membuat hati Nayoung melayang dan berdesir.

“Sudah lama menunggu? Kupikir aku masih punya sisa waktu lima menit.” Yixing mengecek arloji berwarna cokelat di lengan kirinya.

Kalau suasananya tiba-tiba tidak hening, mungkin Nayoung tak akan tersadar kalau sedari tadi dia hanya memandangi Yixing dengan takjub. Alhasil Yixing melambaikan tangannya di depan muka Nayoung dan ia tersentak kaget.

“Oh, uh? Ya? Oh.. Tidak, kok. Kau tidak telat,” Nayoung dengan gugup mengecek tangannya yang tanpa arloji dan tersenyum canggung saat ketahuan salah tingkah. “Aku juga baru datang, belum menunggu cukup lama.” Yixing tertawa melihat tingkah Nayoung yang kelewat gugup sampai-sampai ia salah tingkah.

Mereka mulai berjalan menyusuri trotoar, keluar menuju keramaian. Dunia luar saja yang ramai, Yixing dan Nayoung? Mendekati keramaian saja tidak. Mungkin di dalam benak masing-masing menimbulkan keramaian, tapi tak ada yang keluar dari mulut mereka berdua. Sampai akhirnya Yixing memecah keheningan setelah mereka menyeberang jalan.

“Bagaimana pertandingan barusan?”

Nayoung mendongak pada Yixing, “Pertandingannya… timku… menang.” Jawabnya tidak mantap, membuat Yixing mengangkat alisnya bingung, ia menyadari kecanggungan yang masih mereka miliki. Tapi ia memaklumi itu, karena ini bukanlah hal yang mudah, melunturkan kecanggungan adalah tugas yang berat. Yixing berpikir mereka harus tetap bicara agar kecanggungan itu segera hilang, tapi ia sendiri tak tahu bagaimana harus memulainya dengan benar.

Yixing hanya mengangguk kecil menanggapi jawaban Nayoung sebelum melontarkan pertanyaan lain sejeda kemudian. “Kudengar kau jadi tumpuan tim, ya? Tadi mencetak berapa skor?”

Kini giliran Nayoung yang mengangkat alisnya bingung, dan terkejut. “Dari mana kau tahu itu?” Ia berpikir sejenak, “Dari Li Na, ya?” selidiknya. Yixing mengangkat bahu dengan senyuman meledek, ia meletakkan tangannya di saku celana. “Banyak, aku lupa berapa tepatnya. Yang jelas tim kami menang telak, tim lawan sangat payah. Pertandingannya tidak seru.” Nayoung memanyunkan bibir agak kecewa.

“Ooh, begitu. Tapi kau menyumbang banyak skor, kan?”

“Tentu saja, kan, aku tumpuan tim. Aku mencetak delapan three point di pertandingan tadi.” Kata Nayoung menyombonkan diri. Yixing mendengus lirih, mendapati lagi kesombongan yang selalu Nayoung utarakan. Gadis ini senang sekali membanggakan dirinya dan ia tak main-main kalau sudah bicara tentang hal tersebut. Nayoung adalah salah satu orang yang cukup ambisius menekuni hobinya. Sehingga beberapa hobi yang ia geluti benar-benar melekat di dirinya juga, membuatnya menjadi orang yang patut dibanggakan.

“Baru juga delapan, coba kalau lebih dari sepuluh, mungkin aku akan mentraktirmu makan.” Goda Yixing. Ia tak sungguhan saat mengucapkan kata-kata itu pada awalnya, tapi setelah dipikir-pikir, kenapa tidak betulan saja?

“Sungguh?” Nayoung berseru histeris, tak percaya yang mengucapkan kata-kata itu barusan adalah Yixing. “Itu sih gampang, pertandingan berikutnya aku pasti bisa melakukannya.” Ia bertekad sungguh-sungguh. Siapa, sih, yang ingin melewatkan kesempatan selangka itu? Dijanjikan traktiran oleh calon idol yang sebentar lagi akan debut.

“Jangan besar kepala dulu, aku masih perlu bukti.” Timpal Yixing sinis.

“Tenang saja, aku pasti akan membuktikannya.” Janji Nayoung. Ia mengulurkan jari kelingkingnya ke Yixing, awalnya Yixing kebingungan, kemudian Nayoung menjentikkan jarinya sekilas membuat Yixing mengerti maksudnya, lalu ia mengaitkan jari kelingkingnya dengan Nayoung. Kesepakatan pun menjadi resmi.

Parahnya, setelah kesepakatan itu tercipta, mereka hening lagi.

Mereka sampai di pinggiran kota yang cukup ramai sore itu, dipenuhi beberapa anak sekolah yang sedang berjalan-jalan sore, seperti Yixing dan Nayoung, sayangnya mereka berdua bukan lagi anak sekolahan. Beberapa lainnya bertahan di bangku di sudut jalan atau mampir di kedai dan kafe sekitar pertokoan. Suara bising terdengar dari seluruh penjuru, menandakan keramaian yang sedang terjadi, tapi sebaliknya justru terjadi pada Yixing dan Nayoung yang sejak tadi hanya jalan bersebelahan dengan keheningan yang masih belum terpecah. Lagi.

Nayoung masih merasa canggung pada Yixing, mengingat pertemuannya kali ini baru yang ketiga kalinya. Dua kali pertemuan sebelumnya ternyata tidak membuat kecanggungannya luntur, atau kebaikan dan keramahan Yixing belum juga membuatnya merasa leluasa. Apalagi pertemuan terakhir mereka, Yixing lebih banyak bicara dengan Li Na, jadi Nayoung tak memiliki banyak kesempatan untuk bertukar kata dengan Yixing. Ketika mereka mulai berbicara memang dengan sendirinya akan mengalir, tapi permulaannya itu yang membuat mereka kelihatan payah. Tak ada yang memulai terlebih dahulu, atau karena terlalu banyak pertanyaan dan kekhawatiran di benak Nayoung, seperti misalnya; bagaimana jika pertanyaanku konyol? Bagaimana jika topik yang ku bicarakan tidak menarik? Bagaimana jika ia tidak menyukai apa yang ku katakan? Bagaimana jika ia tidak merespon apa yang ku ungkapkan?

Semua kekhawatiran itu toh akhirnya hanya bertahan di benaknya, karena ketika Yixing mulai angkat bicara dan Nayoung menanggapi perkataan Yixing, semua pembicaraan mengalir begitu saja seperti air,  seperti barusan. Sesekali akhirnya giliran Nayoung yang memulai pembicaraan, dan itu tak seburuk yang ia kira.

Tidak mudah sebenarnya memulai pembicaraan dengan orang yang selalu membuat canggung, tetapi juga tidak sesulit itu untuk dikhawatirkan. Nayoung hanya takut memulainya. Seperti halnya ia takut untuk mulai menyukai Yixing, dan lagi-lagi, toh dia akhirnya memutuskan untuk mulai menyukai dirinya.

Zhang Yixing, seseorang yang suka bergumam aneh dan dengan segala tingkahnya selalu sukses membuat Nayoung tertawa. Orang yang kini berarti di hidupnya. Bagi Nayoung, Yixing bukan hanya seseorang yang dianggapnya penghibur dan orang yang disukainya, tetapi dia juga menjadi sosok panutan yang membuatnya selalu semangat menjalani hari-hari yang bisa dibilang sangat berat –orang-orang berkata memiliki umur berkepala dua akan sangat berat– dan Nayoung membuktikan itu, ia tahu betapa sulitnya mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, tinggal terpisah dengan orang tua, harus hidup mandiri dan mengatur segala sesuatunya dengan baik terutama tentang keuangan. Semua teman sebayanya merasakan hal yang sama, beberapa ada yang beruntung dan banyak pula yang masih kurang beruntung. Nayoung salah satu yang beruntung saat ujian masuk walau nyaris terdepak dari universitasnya sekarang, Seoul Institute of The Arts.

Ia selalu mendengus tertawa ketika melihat nomor absen kelasnya yang diurutkan berdasarkan bersarnya nilai masuk. Nayoung adalah ketiga terbawah, betapa mengenaskan. Ia telah belajar mati-matian tapi hanya mendapat posisi ketiga terbawah, jadi seperti apa otak mereka yang memiliki posisi satu, dua atau jajaran atas? Atau otak Nayoungkah yang terlalu payah? Jawabannya masih belum ia temukan dan ia pun tak berniat untuk mencari tahu jawabannya.

Nayoung sangat bersyukur bisa mengenal atau lebih tepatnya mengetahui tentang keberadaan Yixing di dunia ini, semua berkat sahabatnya, Li Na, yang telah mempertemukan matanya dengan Yixing kecil dan remaja di dalam laptopnya. Li Na adalah adik dari pembentuk fansite pendukung Yixing yang tertua, bertempat di Tiongkok yaitu XingPark. Kakak Li Na bernama Yan Jie Na, ia lebih tua dua tahun dari Yixing dan sudah menganggap Yixing seperti adik sendiri. Mereka telah mendukung Yixing sejak dulu, sejak Yixing mulai memukau warga Changsa ketika masih kecil, Changsa adalah kampung halaman Yixing.

Pertama kalinya mengetahui Yixing, saat itu Nayoung sedang di tahun akhir di SMA Woosong, almamater SMA miliknya. Ia sangat membutuhkan banyak dukungan dan semangat untuk menghadapi kelas tambahan yang sangat menguras waktu dan tenaga, tapi berkat Yixing, Nayoung mulai mengatasi penyakit yang hampir dialami oleh seluruh siswa tingkat akhir, lelah dan bosan dengan sekolah. Yixing mengajarinya untuk terus berusaha dan berjuang, membuatnya bisa melewati ujian akhir dan berhasil masuk universitasnya kini. Sama seperti perjuangan Yixing yang sebentar lagi akan terwujud, ketika akhirnya ia akan debut beberapa bulan ke depan.

Ia belajar banyak dari Yixing, terutama untuk selalu bersemangat dan pantang menyerah. Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Nayoung seperti apa rasanya jadi Yixing. Jauh dari keluarga sejak tiga tahun terakhir, merantau di negeri orang yang sama sekali belum ia kenali, hidup dalam segala ketidaktahuan akan masa depan dan menjalani pelatihan yang sangat ketat seperti yang kita tahu betapa kerasnya para trainee berjuang untuk bisa debut di dunia hiburan. Dari sanalah Nayoung belajar, semuanya tak ada yang instan, semua butuh proses, usaha, semangat dan tentunya doa.

Nayoung yakin Yixing pasti akan memiliki masa depan yang c

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet