Like Sunflowers...

Description

Halooo… Naara desu ^^

Aku baru disini, yoroshiku onegaishimasu ~

Aku membuat fanfic tentang Ryota. Semoga kalian suka ~

Jangan lupa tinggalkan jejak mu di komen yaa, mohon kritik dan sarannya juga ^^

Selamat membaca ~

kunjungi blogku juga yaaa herlinaara.blogspot.com

-----===-----

 

Like Sunflowers…

 

“kau tau tentang filosofi bunga matahari?” Tanya si lelaki, masih memandang jauh ke ladang yang ditumbuhi ribuan bunga matahari itu. Si gadis yang berada disebelah kanannya hanya melirik dengan ekor matanya.

“tentang legenda di Sommenesia, atau pergerakan bunga matahari?”

Hening, si lelaki menarik nafas dalam.

“kedua nya. Tentang legenda itu, sepuluhribu bunga matahari yang bisa mengabulkan permintaanmu. Aku tidak tau apakah di ladang ini jumlahnya ada sepuluhribu batang atau lebih, atau bahkan kurang.”

“Hei, bukan kau yang menanamnya kan” si gadis tertawa geli, dan si lelaki ikut terkekeh.

“mari berandai-andai aku yang menanam mereka”

“baiklah..” si gadis tertawa lagi.

“lalu, apa yang kau ingin kan dari legenda itu?” Tanya si gadis penasaran.

Terasa jeda yang cukup lama, membuat si gadis makin penasaran.

“dirimu…” si lelaki menoleh ke arah si gadis, dan tersenyum manis. Si gadis tampaknya terlihat kaget dengan jawaban si lelaki.

“filosofi yang kedua, bunga matahari yang selalu mengarah dan melihat pada satu titik, satu pusat, satu cahaya, yaitu matahari. Jadi…”

Si lelaki menelan ludah, memaksa dirinya untuk menyelesaikan perkataannya.

“bisakah… kau mengarah dan melihat ke satu titik atau pusat seperti bunga matahari itu? Bisakah kau hanya melihat kearah ku?”

----====-----

“Mau sampai kapan kau berdiri dan melihatnya dari sini?”

Suara seseorang mengagetkan Ryota. Ia mengenali suara berat itu, suara milik si sahabat yang entah sejak kapan sudah berada disampingnya. Ryota hanya melirik sekejap kearah Tomoya, lalu menghisap rokok yang ia jepit dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Tidak ada niat sedikitpun untuk menanggapi gangguan dari si sahabat.

Dibiarkannya si bassist dalam lamunan dan memutuskan untuk meninggalkannya berdiam ditempat ia berdiri sekarang, menatap keseberang jalan, kearah toko bunga itu. Tomoya menghela nafas, menaiki tangga, menuju studio di lantai dua. Lima menit berlalu. Terdengar suara langkah kaki dari tangga.

“Ryota, naik sekarang, atau aku akan membunuhmu.”

Itu suara sang leader, Toru. Ryota berdecak pelan. Mau tak mau dia harus menuruti perintah sang leader yang tidak bisa dibantah itu, menuju ruangan dilantai dua. Sesampainya  dilantai dua, ia segera menyetel senjatanya-bassnya.

“kau bisa focus sebentar kan?” pertanyaan Toru tanpa basa-basi, benar-benar ditujukan kepada sahabat karibnya sejak kecil itu. Jika persoalan seperti ini, Tomoya atau bahkan Taka tak berani berkomentar sedikitpun, membiarkan sang leader menyelesaikan atau setidaknya menengahi semuanya. Tentang si bassist yang sedang dilanda suatu penyakit, yang disebut cinta, yang membuatnya kalang kabut dan sering diam beberapa minggu terakhir ini.

“huuhhhhh…” Toru menghembuskan nafas panjang. Ia sadar sahabatnya yang satu ini sedang tidak bisa diajak kompromi. Dan dia juga paling tahu, bahwa baru kali ini Ryota mengalami penyakit parah *selain kebodohannya tentunya*, rasa suka akut pada gadis penjual bunga diseberang studio music yang sering mereka pakai untuk rekaman dan latihan.

Toru meletakkan gitar putihnya sambil menghela nafas *lagi*. Mengkodekan kepada kedua rekannya untuk mengcancel sejenak latihan kali ini. Sepertinya si bassist sedang membutuhkan perhatian lebih dari ketiga sahabatnya.

“ceritakan..” kata Toru, tenang, tetapi seperti memerintah, membuat Ryota mau tidak mau menceritakan apa yang sedang dirasakannya kali ini. Ryota menghirup nafasnya dalam-dalam, seakan mengumpulkan kekuatan untuk berkata jujur kepada teman-teman sebandnya.

“dia akan segera pindah.” Hening.

“Gadis itu?” sahut Taka, gadis penjual bunga yang ada di seberang studio music yang mereka tempati saat ini. Ryota hanya mengangguk pelan, pasrah. Hening lagi. Tak ingin mendesak sahabatnya, Toru Taka dan Tomoya menunggu si bassist untuk berkata lagi, memberi cerita yang lebih lengkap.

“dan kau tak berani mengatakannya?” timpal Taka lagi. Ryota masih menunduk. Baru kali ini ketiga temannya melihat sang bassist sediam ini. Hanya gara-gara seorang gadis? Ah bukankah itu sesuatu yang manis?

----===----

Hari berikutnya.

Latihan hari ini usai. Seperti biasa si bassist berdiri di depan studio music itu, memandang kesebrang jalan, tepat ke arah seorang gadis yang sedang melayani pelanggannya yang menginginkan sebuah buket bunga. Sibuk dengan pikiran, si gadis, dan rokok ditangan kanan, Ryota tidak sadar jika Toru sudah berada disampingnya, ikut memandangi, entah sejak kapan sudah berada disitu.

“ternyata orang bodoh juga bisa jatuh cinta”

Ryota tersentak. Bukan karena Toru menyebutnya ‘orang bodoh’, tetapi karena keberadaan sang leader yang sudah ada disampingnya. Toru ikut menghisap rokoknya tanpa mempedulikan reaksi Ryota.

“lusa kita akan berangkat”

Yang Toru maksud adalah berangkat ke Amerika. Seperti yang sudah di sepakati sebelumnya, untuk garapan selanjutnya, album mereka masih akan di pegang oleh John-san, produser terkenal yang menggarap album mereka sebelumnya. Dan febuari tahun ini pula mereka juga harus menuntaskan konser di LA dan NY. Awal tahun yang sangat padat, tapi inilah yang mereka cari, inilah mimpi mereka.

“dan aku tidak ingin kau menjadi zombie di negara orang.”

Ryota terkekeh. Tawa yang berat. Toru menyadari tawa berat itu. Tak ingin sahabatnya seperti ini terus. Ia merangkul Ryota dan membawanya *menyeretnya* dengan paksa menyebrangi jalan dan menuju toko bunga itu.

“To-toru… hei apa yang kau lakukan”

Dan di toko bunga itu, Toko Florish, dengan bunga-bunga warna-warni yang segar dan mekar diemperan tokonya. Walau emperan toko itu lebih didominasi oleh warna pink bunga verbena yang sedang mekar. Terlihat sangat cantik dan kontras dengan hiasan di kaca toko yang berupa mozaik bunga matahari serta langit saat ini yang berwarna biru cerah.

 Si gadis penjaga toko terheran melihat kedatangan dua orang yang cukup ia kenal. Dengan memendam prasangkanya yang aneh-aneh, si gadis tersenyum dan menyambut dua lelaki itu dengan ramah, seperti ia menyambut pelanggannya yang lain.

“Hello, kalian akrab sekali” kata si gadis sambil menghampiri Toru dan Ryota *yang membatu melihat sang gadis*

“ada yang bisa kubantu?”

“tidak. Tapi orang ini iya. Tolong ya, aku ada urusan. Bye” kata Toru sambil melepaskan rangkulannya dari Ryota dan meninggalkan dua orang itu dengan tampang datar dan tidak berdosa *tapi tetep ganteng :v*. Si gadis menatap kepergian Toru dengan wajah bingung. Lalu pandangannya menuju ke arah Ryota. Dengan tatapan penuh tanya.

“a-ano gomen, Toru memang seperti itu, maaf.”

“jadi?”

“ah aku buru-buru gomen-“

“tapi Toru bilang-“

Hening. Mereka seperti terpause sejenak. Si gadis tertawa geli.

“ah gomen.. anoo.. aku hanya” Ryota menunduk, mengalihkan pandangannya kemana saja asal bukan ke arah si gadis. Karena  dirinya merasa sangat malu dengan sikapnya yang seperti itu.

“jika kau buru-buru kita bisa mengobrol lagi nanti, atau lain waktu”

Lain waktu. Kata itu seperti memukul kepala Ryota keras-keras. Bukannya lusa ia akan pindah? Ryota diam lagi, sekarang ia berani menatap si gadis.

“Ryota-kun?”

“besok sore, bagaimana kalau kita jalan-jalan?”

-----===------

Didepan Toko Bunga Florish.

“Maaf membuatmu menunggu, Ryota-kun” Si Gadis keluar dari tokonya.

“Aku harus memesan Carnation Pink untuk buket, ternyata stok kami habis.” Gadis itu menghampiri Ryota dan mobilnya yang sudah menunggu dengan setia sejak sepuluh menit lalu. Ryota tersenyum manis.

“kurasa kau punya banyak warna pink disini” kata Ryota sambil menengok ke emperan toko itu yang biasanya diisi oleh deretan pot-pot berisi bunga pink yang dimaksud Ryota.

“Verbena?”

Ryota membukakan pintu kiri mobilnya, pertanda mempersilakan sang gadis untuk masuk. Lalu ia sendiri segera duduk dibelakang setir, menyalakan mesin, dan membawa mereka berdua menyusuri jalanan sore itu.

“aku belum pernah membuat buket dari Verbena. Akan kucoba nanti” Gadis itu tersenyum. Lalu hening beberapa saat. Karena keduanya tidak memiliki topic untuk dibicarakan.

“lalu, kita akan kemana?” tanya sang gadis memecah keheningan.

“ke ladang”

----====------

Ryota bersandar didepan mobilnya. Bersama seseorang yang selama ini ia sukai, tapi yang disukai tidak pernah tau. Di depan mereka terhampar luas ladang berwarna kuning segar, dengan langit sore yang mulai berwarna jingga. Angin sore itu juga tak mau kalah, ia berhembus menebarkan bau segar bunga matahari yang sedang mekar dan bau rerumputan. Sedari tadi si gadis tersenyum manis menikmati pemandangan yang tidak bisa dilewatkan itu.

“jadi..” Ryota memutuskan untuk memulai pembicaraan.

“lusa kau berangkat ke Hokkaido?”

Si gadis menoleh, menjawab hanya dengan sebuah anggukan dan senyuman, lalu menatap ladang bunga matahari itu lagi.

“tokomu?”

“akan diteruskan oleh sepupuku.”

Hening lagi. Ingin rasanya Ryota segera mengatakan apa yang seharusnya ia katakan. Meminta si gadis agar selalu berada disampingnya. Tapi lelaki itu masih menunggu momen yang tepat.

“jadi, kita tidak akan bertemu lagi?”

Si gadis menoleh cepat, lalu tertawa geli.

“seperti aku akan mati saja. Hanya Hokkaido, Ryota. Aku masih di Jepang. Cuma berbeda pulau saja.” Si gadis melangkahkan kakinya beberapa langkah kedepan, masih memandangi bunga-bunga itu.

“kau bisa berkunjung kapan saja, dan aku juga bisa mengunjungimu kapan saja bukan?” Perkataan yang menenangkan. Entah mengapa perkataan si gadis barusan memberikan keberanian pada Ryota untuk angkat bicara. Hening lagi, seperti lelaki itu mengumpulkan tenaga untuk melakukan suatu kegiatan yang berat. Ryota melangkah, menghampiri si gadis. Sekarang ia berada tepat disamping si gadis yang masih focus memandangi ladang itu.

“mereka kokoh dan cantik” celetuk si gadis.

“kau tau tentang filosofi bunga matahari?” Tanya Ryota, masih memandang jauh ke ladang yang ditumbuhi ribuan bunga matahari itu. Si gadis yang berada disebelah kanannya hanya melirik dengan ekor matanya.

“tentang legenda di Sommenesia, atau pergerakan bunga matahari?”

Hening, Ryota menarik nafas dalam.

“kedua nya. Tentang legenda itu, sepuluhribu bunga matahari yang bisa mengabulkan permintaanmu. Aku tidak tau apakah di ladang ini jumlahnya ada sepuluhribu batang atau lebih, atau bahkan kurang.”

“Hei, bukan kau yang menanamnya kan” si gadis tertawa geli, dan Ryota ikut terkekeh.

“mari berandai-andai aku yang menanam mereka”

“baiklah..” si gadis tertawa lagi.

“lalu, apa yang kau ingin kan dari legenda itu?” Tanya si gadis penasaran.

Terasa jeda yang cukup lama, membuat si gadis makin penasaran.

“dirimu…” Ryota menoleh ke arah si gadis, dan tersenyum manis. Si gadis tampaknya terlihat kaget dengan jawaban si lelaki.

“filosofi yang kedua, bunga matahari yang selalu mengarah dan melihat pada satu titik, satu pusat, satu cahaya, yaitu matahari. Jadi…”

Ryota menelan ludah, memaksa dirinya untuk menyelesaikan perkataannya.

“bisakah kau mengarah dan melihat ke satu titik atau pusat seperti bunga matahari itu? Bisakah kau hanya melihat kearah ku?”

Hening. Mata keduanya bertemu. Angin menghembus tubuh kedua insan itu, perlahan, tetapi sangat sejuk. Menebarkan aroma bunga matahari dan rumput yang segar. Ryota menggenggam tangan kiri si gadis. Pertanda permintaannya barusan bukan sekedar main-main tentang filosofi bunga kuning favoritnya. Tetapi permintaan yang benar-benar tulus, dari dalam hatinya. Agar si gadis mau mendampinginya, mendampingi jiwa dan jasad itu untuk waktu yang lama..

 

I promise you ‘forever’ right now…

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet