Chapter 44
Never Let Me Go [Indonesian]Aku mengambil napas dalam-dalam saat melihat Mrs. Kim dibawa oleh mobilnya yang menghilang setelah masuk ke jalanan. Kugendong ranselku kembali dan mendesah, merasa lega dengan percakapan kami baru saja. Aku mengerti sekarang mengapa ibunya begitu menentang ambisi Jongin menjadi seorang pemain. Yah, mungkin, tidak sepenuhnya lega. Aku masih perlu bicara dengan Jongin.
Aku berbalik, memikirkan bagaimana aku akan berbicara tentang hal itu pada Jongin ketika aku melihat sosok akrab berdiri di tiang lampu dekat toko buku. Itu persis sama seperti saat ia sedang menungguku berbulan-bulan yang lalu dan membawa sekotak cupcake dengan ekspresi cemas. Kecuali saat ini, Jongin tidak memasang ekspresi cemas itu, ia menatapku intens, alisnya saling bertautan. Ia tampaknya sudah berdiri di sana untuk sementara waktu, sehingga kuduga ia melihatku dan ibunya.
"Bersenang-senang dengan ibuku?" Jongin bertanya ketika aku sampai padanya. Bahkan suaranya terdengar ketat dan ia sengaja mengalihkan tatapannya dariku ketika ia bertanya. Tangannya di dalam saku celana, Jongin menyipitkan mata saat ia menggeser matanya ke arah jalan yang sibuk, jelas berusaha keras untuk tidak bertemu tatapanku.
Aku menatapnya lekat dan ia tampak benar-benar marah. Aku menarik napas tenang karena aku mulai sedikit cemas. Aku benci ketika kami sedang seperti ini. Aku benci ketika aku membuatnya kesal, meskipun, aku tidak benar-benar yakin mengapa ia marah. Aku baru saja makan malam dengan ibunya dan kami hanya mengobrol. Yah, kita berbicara tentang ia tapi ia tidak tahu itu. Apakah karena aku tidak menyebutkan pertemuan itu padanya?
Aku menangkap keberadaan Young Soo di balik jendela kaca besar sedang mengintip ke arah kami. Ia melambai padaku dengan bahagia dan menunjuk Jongin yang memunggunginya. Aku memberinya senyum kecil dan berbisik "sebentar" padanya. Ia mengangguk dan menghilang dari jendela.
"Bisakah kita bicara?" Kataku pelan pada Jongin setelah melihat ke arahnya. Aku mengambil langkah perlahan ke tempatnya tapi ia masih tidak menatapku.
Jongin tidak menanggapi. Satu-satunya tanggapan yang kudapatkan berasal dari klakson kendaraan di jalan. Bibirnya yang ditekan karena kesal dan matanya tertuju pada mobil dan orang-orang yang lalu-lalang.
"Jongin, tolonglah." Aku memohon.
Sesaat, aku khawatir ia masih tidak bergerak. Jongin menghela napas, dadanya naik-turun, dan kemudian ia menatapku agak ragu-ragu. Lalu, Jongin menganggukkan kepalanya meskipun tampak raut terganggu di wajahnya.
Kami menyeberangi jalan diam-diam, menuju taman di mana kami makan cupcakes yang ia belikan sebelumnya. Kami berjalan berdampingan dan aku ingin meraih tangannya tapi mereka meringkuk di dalam saku sehingga aku mencengkeram tali ranselku kembali sebagai gantinya.
"Aku yakin kau punya sesuatu untuk diberitahu, jadi katakan." Kata Jongin sebal, sesaat setelah kami mencapai gazebo. Ia menatapku sekarang dan masih terlihat marah.
"Mengapa kau begitu marah?" Aku bertanya, mengerutkan kening bingung. "Aku makan malam dengan ibumu. Apakah itu begitu salah? "
"Benar-benar hanya makan malam?" Tanyanya, menantang. Ia berjalan ke arahku, kemudian bertanya, "Apa dia mencoba meyakinkanmu untuk membuatku berhenti menari?"
Aku menatapnya, terperangah. Aku tidak berharap dia tahu tentang sepotong informasi itu.
"Aku tahu itu." Jongin mendengus, memalingkan muka dariku dan menggelengkan kepalanya ringan.
"B-Bagaimana kau tahu?" Aku tergagap. "Apa kau mengikuti kami?"
"Aku tidak perlu melakukan itu." Kata Jongin pahit. "Aku baru tahu ketika aku melihatmu keluar dari mobilnya beberapa menit yang lalu." Katanya, melihat ke arahku dengan cara yang sama saat ia berbicara padaku. Ia menarik napas, menenangkan diri tapi gagal melakukannya. "Aku pergi ke toko buku setelah latihan hari ini untuk menemuimu, tetapi Ha Joon bilang kau tidak datang. Jadi, aku memutuskan untuk menunggumu di luar dan kemudian entah dari mana, aku melihat mobil ibuku dan kau keluar dari sana. "
Aku mengerutkan kening padanya. "Hanya karena itu?"
Jongin menjilat bibirnya putus asa. "Katakan saja kalau dia mencoba meyakinkanmu untuk membuatku berhenti menari." Ujarnya, menatap lurus ke mataku.
"Ya." Kataku tegas. Ia menatapku galak dan mendesah tajam setelah menghindari tatapannya dariku. "Apa kau tidak akan bertanya apa yang kukatakan padanya?" Aku bertanya kembali, tiba-tiba merasakan kemarahan menggelegak ke perutku. "Kau pikir aku setuju dengan dia?" Itu tidak terdengar sepert
Comments