Chapter 42
Never Let Me Go [Indonesian]Ketika aku tiba di sekolah hari Senin pagi, Min Jee sedang menungguku di lobi sekolah. Jongin dan aku tidak bisa bertemu karena ia pergi ke agensi barunya dan mungkin menghabiskan sepanjang hari di sana.
Min Jee mulai menanyaiku tentang pesta yang kuduga Baekhyun yang menyebutnya. Aku bercerita tentang pertemuan dengan keluarga Jongin dan bagaimana hotel itu sangat menakjubkan dan betapa menggiurkan meja prasmanan yang penuh. Kemudian, ia melihat kalung yang kupakai di balik kerah seragam sekolah. Sambil tersenyum, aku berbagi dengannya tentang kejutan makan malam hari jadi yang ke-100 hari kami, minus bagian setelah Jongin memberiku kalung itu. Tapi entah kenapa, setelah Min Jee mengenalku dalam waktu yang lama, ia menyadari aku melewatkan bagian-bagian tertentu. Seperti yang diharapkan, ia tak membiarkanku lolos.
"Nah, apa kau melakukannya?" Tanya Min Jee ringan, menyenggolku ke samping.
"Apa?" Aku bertanya, membuka loker.
Min Jee memutar matanya. "Oh, ayolah! Berhenti berpura-pura, maksudku, kita berdua 18 tahun." Ia mengerang. "Apa kau melakukan itu dengan dia?" Tanyanya lagi, merendahkan suaranya menjadi bisikan nakal.
"Ap—tidak!" Kataku, mulai memerah. Hati-hati kulirik ke belakangku, berjaga-jaga seseorang mungkin sedang menguping. Saat itu cukup awal untungnya, sehingga area loker agak sepi. "Kami tidak melakukannya. Oke?" Kataku lebih tegas saat ia menatapku.
"Membosankan." Min Jee bergumam, bersandar menyamping pada loker di sampingku.
Aku menarik napas. "Yah, hampir." Kataku cepat.
"Apa maksudmu?" Tanyanya tajam kemudian ia tersentak dramatis dan berkata, "Seseorang memergoki kalian sedang berdua? Ya Tuhan! Itu jauh lebih menarik!"
"Tidak! Bukan itu." Kataku, memerah lebih parah. Aku memberi isyarat agar ia berhenti memantul naik turun riang gembira. "Jongin sekarang tahu tentang Daehyun ..." kataku, agak ragu-ragu.
Min Jee langsung berhenti memantul naik turun. Ekspresinya berubah serius. "Ya?" Katanya, "Dia tahu sekarang apa yang anak har—" ia menghela napas. "Bajingan—itu lakukan padamu? Apa katanya?"
Aku menggeleng. "Dia marah." Ucapku, mengingat bagaimana tepatnya ia bereaksi dan bagaimana kami hampir bertengkar.
"Tentu saja, dia akan marah." Ujar Min Jee pahit. Ia menyilangkan tangan di dada dan menarik napas frustrasi. "Kuharap Jongin di sini di sekolah hari ini. Setidaknya, ia bisa melakukan sesuatu yang selalu ingin kulakukan pada Daehyun."
Aku mengerutkan kening padanya dan ia menatapku balik.
"Mematahkan rahangnya." Katanya tanpa belas kasih.
"Min Jee, please." Kataku. "Tolong jangan menyebut hal ini lagi di depan Jongin." Min Jee mengalihkan pandangan dariku, alisnya berkerut frustrasi. "Aku hanya tidak ingin salah satu dari kalian mendapat masalah karenaku." Lanjutku. "Selain itu, Daehyun tidak seberharga itu."
"Baik." Katanya akhirnya. "Tapi aku tidak bisa mengatakan hal yang sama pada Jongin."
"Aku sudah berbicara padanya tentang itu." Aku menyatakan, menutup lokerku setelah meraih beberapa buku dan memasukkannya kembali ke dalam ransel.
"Kuharap dia berubah pikiran." Min Jee bergumam saat aku menyampirkan ranselku ke bahu. "Aku bercanda." Tambahnya ketika aku memberinya tatapan penuh arti.
Kemudian kami pergi ke kelas pertama kami, dan tidak pernah menyebutkannya lagi. Sebaliknya, ia merengek padaku untuk memberitahunya lebih lanjut tentang kencanku dengan Jongin. Ia menjerit gembira ketika aku mengatakan padanya bahwa kami menghabiskan malam bersama-sama. Min Jee mengatakan ia mendapat kesulitan untuk percaya kami benar-benar tidak melakukannya. Aku hanya menggelengkan kepala.
Sepanjang kelasku di pagi hari, pikiranku seolah melayang keluar dan masuk. Kuputar berulang-ulang bagaimana aku bangun pada hari Minggu pagi di ranjang yang sama dengan Jongin. Bagaimana rupanya ketika ia sedang tidur yang melingkar di kepalaku. Aku ingat mengagumi fakta bahwa ia tampak begitu naif ketika ia tertidur—damai dan tenang. Rambut jabriknya yang sempurna Sabtu malam lalu telah mengusut dan berantakan ketika aku terbangun tapi bukan berarti ia tidak terlihat sangat menarik. Sampai hari ini, aku masih belum bisa membungkus kepalaku dalam gagasan bahwa seseorang, seseorang seperti Jongin, bisa terlihat begitu menarik meskipun ia sedang tertidur.
Kami makan di kafe setelah meninggalkan hotel di pagi hari. Kemudian, ia mengantarku ke rumah dan bercerita tentang jadwalnya hari ini. Ketika aku sampai di rumah, aku masih melambung dengan semua yang terjadi. Aku tahu kami hampir bertengkar karena insiden dengan Daehyun tapi kami telah mengatasinya. Selain itu, 100 hari jadiku dengannya sangatlah istimewa. Aku ingin mengingatnya dan melupakan apa yang terjadi di masa lalu. Aku hanya ingin mengingat segala sesuatu yang ada hubungannya dengan Jongin dan aku malam itu. Tidak lebih, tidak kurang. Perasaan kami berbagi malam itu hanya ... rasanya memukau, adiktif dan magis. Aku berharap aku bisa kembali dan berada di sana dengan ia lagi dan lagi. Aku sangat yakin aku takkan pernah bisa terbiasa dengan itu.
Sekitar sore hari, Mi Young meneleponku dan mengatakan padaku untuk bertemu dengannya.
"Hana, aku sangat senang kau bisa datang." Kata Mi Young. Ia berdiri di luar ruang kelasnya, menungguku. "Kau ada kelas sekarang?"
"Tidak ada." Kataku. "Kalau ada, aku takkan ada di sini."
"Benar." Katanya, "Lagi pula, aku perlu minta bantuanmu lagi." Ia mulai menarik sesuatu dari saku roknya. Ia memberiku selembar kertas kusut. "Aku benar-benar, benar-benar membutuhkanmu untuk melakukan hal ini."
Aku mengambil kertas itu dari tangannya. Jantungku seketika anjlok saat kubuka lipatan kertas itu. "K-kau ingin aku mewawancarai ... Daehyun?" Aku bertanya ragu-ragu.
"Aku tahu, aku tahu ini sangat mendadak." Kata Mi Young sedih, meraih tanganku padanya. "Tapi ini mendesak dan aku sangat yakin kau pasti bisa melakukannya."
"Tapi aku bukan seorang penulis kegiatan sosial." Aku mengeles. "Di mana penulisnya, sih? Apa dia sakit lagi?"
"Itulah masalahnya," kata Mi Young, marah. "Aku tidak bisa menghubunginya. Aku pernah melihatnya sekali di lorong tapi dia pura-pura tidak melihatku. Saat akhirnya aku bisa menghubunginya, dia bilang dia sakit. Kuharap ia mendapat hal yang ada di film Contagion itu." Ia mendengus. "Barisan-bawah, dia tidak berguna jadi kupecat dia."
"Dan kau ingin aku melakukan ini?" Kataku sambil mengangkat kertas.
Ekspresi keras Mi Young melunak seketika saat ia bicara padaku lagi. "Ya, Hana. Aku tahu ini agak rumit untukmu tapi ini benar-benar penting untuk publikasi berikutnya." Katanya. "Dan wawancara dengan Jongin benar-benar bagus! Semua orang menyukainya! Jadi, aku memintamu, untuk terakhir kalinya, aku bersumpah demi Tuhan, jika kau bisa melakukan permintaan ini dan wawancara dengan Daehyun."
Aku menarik napas panjang dan memandangi kertas.
"Dengar, aku tahu betul kau memiliki sejarah tidak baik dengan Daehyun." Kata Mi Young, meletakkan tangannya di bahuku dengan ramah ketika aku menatapnya. "Kalau kau m
Comments