Chapter 35

Never Let Me Go [Indonesian]
Please Subscribe to read the full chapter

"Dari mana saja kau?" Tanya ibu serak. Ia masih duduk di sofa, lengannya menyilang di depan dada dan matanya penuh kemarahan memandangku.

"Aku ..." Aku memulai. Aku sadar aku belum menyebutkan tentang Jongin padanya. Kemudian lagi, bagaimana aku bisa? Ia begitu sibuk mengurus bisnisnya sendiri. "Aku pergi deng—"

"Kau pergi juga menemui ayahmu?" Tanya ibu tegas. Ia menatapku lebih tajam sementara ia berdiri dari kursinya dan berjalan ke arahku. "Kau pergi menemuinya dan kau benar-benar berbicara dengannya."

"Ya, aku bicara dengannya." Kataku agak tegas dan aku menatap ke arahnya. "Beberapa hari yang lalu, aku pergi ke kantornya dan berbicara padanya." Aku tidak ingin meninggikan suaraku karena aku khawatir Young  Soo mungkin mendengarkan kami dari kamarnya. Aku hanya berharap ia tertidur sekarang.

Ibu membuka mulutnya tapi menutupnya lagi. Ia masih menatapku marah. "Kenapa?" Akhirnya ia berkata, tangannya di pinggangnya. "Kenapa kau harus pergi dan berbicara denganya?! Kenapa kau harus melemparkan uang itu kembali kepadanya? Kenapa?"

"Karena aku harus melakukannya." Jawabku. "Ibu, kau tidak melihat—"

"DIAM!" Ia meraung dan aku langsung melirik tangga, berharap adikku tidak akan keluar. "Apa kau tahu apa yang ayahmu lakukan? Hah? Apa kau tahu?"

Aku tidak peduli, aku ingin memberitahunya. Sebaliknya, aku hanya menatapnya dengan frustasi tertekan..

Ibu menghela napas sambil berjalan mondar-mandir dan kemudian ia berhenti di depanku, matanya liar mengebor lubang di wajahku. "Dia mengatakan dia tidak pernah ingin melihat kita lagi! Dia mengatakan tidak pernah ingin melihatku lagi!"

"Dia telah melakukannya selama lima tahun terakhir!" Aku berseru kesal. "Saat ia berjalan keluar dari pintu kita, dia tidak pernah membuat upaya untuk menemui salah satu dari kita! Satu-satunya alasan ibu melihatnya lagi karena dia berkenalan dengan atasan ibu! Itu saja! Bukan karena ia ingin bertemu—"

Aku tiba-tiba berhenti bicara ketika ibu tiba-tiba mengangkat tangannya dan siap untuk menyerangku, tapi ia segera menghentikannya. "Apa ibu akan memukulku sekarang?" Aku bertanya saat air mata mulai mengancam mataku. "Apa iya, ibu?"

"Ayahmu peduli padamu ... " kata ibu hampir tenang. Matanya masih liar tapi ia tampak agak terperanjat sepertiku. Ia menurunkan tangannya, air mata mulai terbentuk di matanya juga. "Dia sayang padamu. Dia sayang pada kita, itu sebabnya dia telah mengirimkan uang—"

"Kau dengar sendiri, ibu?" Tanyaku tak sabar. "Dia melakukan itu karena kewajiban. Dia hanya mengirimkan uang karena dia takut kau mungkin muncul di kantornya dan mulai membuat keributan. Lagi." Aku mengingatkannya. Dua tahun lalu, ketika depresi ibu pada puncaknya, ia pergi ke kantor ayahku dan mulai berteriak memintanya kembali. Air mata akhirnya lolos dari mataku karena aku ingat bagaimana aku menyeretnya keluar dari kantor ketika ayah pura-pura dia tidak mengenal kami. "Dia takut untuk kebaikannya sendiri. Dia tidak menginginkan itu lagi. Dia khawatir bahwa ibu mungkin mengemis padanya untuk datang kembali dan mempermalukan namanya. Dan dia tidak akan kembali." Aku menambahkan setelah beberapa saat. Ibu menangis diam-diam sekarang tapi aku mengabaikannya karena jika aku menggubrisnya, aku tidak akan mampu mengucapkan kata-kata yang selalu ingin kukatakan padanya. "Dia tidak akan pernah kembali, bu. Tidak pernah."

Isak tangis ibu meredam memenuhi udara dan aku berdiri di sana, menghindari wajahnya. Aku cepat-cepat menyeka air mata yang mengalir di pipiku.

"Ini semua salahmu ..." Aku mendengar ibu bergumam setelah beberapa saat dan aku menoleh ke arahnya. Matanya menembak tajam sekarang dan ia menatapku dengan kebencian dan penderitaan yang sama. "Aku hanya ingin keluarga kita menjadi bahagia dan bersama-sama lagi ... tapi kau, kau harus menghancurkan segalanya!" Lanjutnya dengan pucat dan aku bingung. "Ini semua salahmu, Hana. INI SEMUA SALAHMU!" Ia berteriak.

Aku mundur selangkah saat aku melihat ia terpuruk lantai, membenamkan wajahnya ke tangannya saat ia menangis. Ini terjadi lagi, pikirku sedih ketika aku melihat bahu ibu bergetar saat ia menangis tak terkendali. Aku mundur selangkah lagi dan menyadari aku mulai bernapas berat, dan kemudian hal berikutnya yang aku tahu aku berlari keluar dari rumah kami ke jalan.

---------

Butuh waktu beberapa saat untuk menyadari bahwa aku baru saja mencapai tempat jalan-jalan di dekat jalan kami. Tempat itu agak ramai tapi tampak indah karena lampu berkilauan dari toko-toko yang melapisi jalan dan lampu kecil yang tergantung di pohon-pohon. Aku hanya berharap dadaku tidak merasa begitu berat lagi dan aku tidak merasa begitu sedih sekarang sehingga aku bisa memfokuskan pandanganku. Bahkan langit gelap yang terlihat mashur dengan bintik-bintik dari bintang bisa menghiburku ketika itu biasanya tidak demikian ketika aku merasa seperti ini.

Ponselku mulai berdengung saat aku mendengus dan menarik kardiganku lebih erat ke tubuh. Aku mengeluarkan ponselku dan menatap nomor Jongin pada layar. Kenapa ia menelepon, aku bertanya-tanya sedikit gelisah. Aku tidak mengharapkan panggilan darinya begitu cepat. Itu hanya beberapa menit sejak ia meninggalkan rumah kami. Setelah menyeka air mata lain yang meluncur, aku menjawab telepon sebelum aku menyesalinya.

"Jongin?" Aku mencicit, berharap ia tidak akan menyadari suara tebalku karena semua benjolan di tenggorokanku.

"Hana." Katanya dan entah bagaimana, aku bisa melihat ia tersenyum di dalam kepalaku.

"Kenapa kau menelepon?"

"Aku hanya ingin tahu apa kau baik-baik saja di tempat tidurmu." Katanya setelah beberapa saat keheningan mengikutinya. "Hana, kau baik-baik saja?" Ia tiba-tiba bertanya dengan nada khawatir di suaranya yang dalam.

Aku bertekad untuk tidak mengatakan apapun padanya tapi mulutku mulai bekerja sebelum aku bisa berpikir. "Tidak... " kataku berat dan aku tersedak oleh isakan tangis.

Ada suara keributan dari ponsel Jongin dan juga suara seorang pria yang menggema. Tampaknya seolah-olah ia ada di toko atau semacamnya. "Hana, apa yang terjadi?" Tanyanya, suaranya kentara dengan khawatir. "Kau dimana?" Tanyanya mendesak.

"Tidak apa-apa," kataku ragu-ragu, menyeka air mata yang mengalir deras di pipiku. "Aku hanya mendapat—"

"Hana, katakan padaku di mana kau berada. Sekarang juga." Kata Jongin cepat dan aku tahu aku tidak bisa berdebat dengannya.

Setelah menelan lagi benjolan yang ada di tenggorokanku, aku mengatakan padanya di mana aku berada. Jongin mengatakan padaku untuk menunggunya dan aku menurut. Aku duduk di sebuah bangku kosong yang menghadap pancuran air mancur dengan lampu hias yang indah mempesona dan hanya beberapa menit kemudian, aku melihat sosok tinggi familiar bergegas menuju tempat di mana aku duduk. Aku berdiri dari tempat dudukku dan Jongin memelukku dan aku membenamkan wajahku ke lehernya yang agak dingin, mungkin karena berlari-lari.

"Kau baik-baik saja?" Ia bertanya setelah itu, memegang sisi lenga

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 55: Akhirnya selesai juga...

Wahhh ngak nyangka lho kalo ceritanya bakal publish selama itu...
Bersyukur aku dapat rekomendasi ff ini udah selesai... Bahakan aku cuma butuh waktu beberapa hari buat bacanya...
Soalnya aku tuh tipe orang yang ngak berhenti untuk penasaran sama cerita kalo belum selesai...
Pokoknya terima kasih banyak buat temenku yang udah merekomendasikan ff ini...

Secara keseluruhan aku suka cara menyampaikan ceritanya, ngak terburu buru tapi juga ngak ngebosenin...
Apalagi cast nya si jongin...

Pokoknya terimakasih buat authornya
yang udah bikin cerita yang hebat
suthchie #2
Chapter 54: Akhirnya balikan juga...
Jongin orang baik. Hana sangat beruntung memilikinya
suthchie #3
Chapter 53: Kuanggap itu sebagai tanda balikan...
Semoga
suthchie #4
Chapter 52: Cobaan hana terlalu berat...
suthchie #5
Chapter 51: Semoga ibu hana benar2 menjadi baik
suthchie #6
Chapter 49: Minjee trtaplah berada di sisi hana...
suthchie #7
Chapter 50: Untunglah hana punya sahabat baik seperti minjee...
suthchie #8
Chapter 48: Kenapa kau mengambil keputusan iyu hana...
Aku yakin, jongin sangat hancur...
suthchie #9
Chapter 47: Yang aku kawatirkan akhirnya trrjadi...
Pasti daehyun memberi tau hal buruk pada jongin
suthchie #10
Chapter 46: Itu hal baik hana... Semoga