Chapter 29
Never Let Me Go [Indonesian]Beberapa hari berikutnya berlalu, hampir terasa seperti hari-hari biasa bagiku. Rasanya seperti menjadi hari yang normal, tetapi akan ada saat-saat yang aneh namun memukau, di mana aku bisa merasakan kupu-kupu berterbangan didalam perutku dan aku akan melihat pelangi dan cahaya ketika aku melihatnya tersenyum padaku setiap pagi saat ia menungguku diloker. Aku mencoba untuk biasa saja mengenai hal itu karena aku tidak ingin tampak seperti pacar yang sibuk tapi entah bagaimana, otakku tidak berfungsi dengan baik setiap kali dia masuk ke ruangan.
Detensi Jongin sangat membuat frustasi. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya setelah sekolah, membersihkan lorong-lorong dan membantu Mr Kwon mempersiapkan Performing Arts Center untuk sebuah program yang akan diselenggarakan oleh departemen. Ini benar-benar menyebalkan karena Mr Kwon sangat keterlaluan, ia meminta Jongin dan beberapa 'teman detensi'nya untuk ikut membantu bahkan selama waktu luang mereka. Jongin yang tampaknya, kesal, tapi ia tidak bisa mengeluh. Ia dan Jung Hwa telah menghindar satu sama lain selama detensi mereka, itu yang ia katakan padaku.
Selama minggu terakhir detensinya, aku perhatikan ia telah membersihkan koridor sepanjang kantor majalah sekolah kami.
"Aku sudah berusaha untuk membersihkan koridor ini selama berhari-hari." Kata Jongin padaku, memegang pel di tangannya. "Mr Kwon selalu menugau di koridor Art Department. Sampai kemarin, aku meyakinkannya untuk menugau di koridor ini." Katanya berseri-seri, senang dengan dirinya sendiri. Ada keringat kecil terbentuk di dahinya dan aku mendapati diriku mencapai ke wajahnya untuk menyekanya. "Setidaknya, aku bisa melihatmu." Tambahnya lembut dan tersenyum padaku. "Biarkan pintunya terbuka, oke?" Katanya, menganggukan kepalanya ke arah pintu kantor.
Aku tertawa dan mengangguk. "Oke ."
"Hana! Ternyata kau disana!" Aku berbalik dan menemukan rekan penulis di majalah sekolah berdiri di ambang pintu kantor. "Mi Young mencarimu. Kita harus mulai bekerja."
"Ya, aku akan segera ke sana." Aku berkata padanya.
"Siapa dia?" Tanya Jongin saat aku berbalik ke arahnya. Ia masih menatap pintu dimana rekan penulisku berdiri beberapa detik yang lalu.
"Rekan penulisku, Joon Myun." Aku menjawabnya. "Kau telah bertemu dengannya di kantin beberapa hari yang lalu." Aku mengingatkan.
"Aku tidak ingat." Katanya santai, mulutnya cemberut saat ia berbicara, hampir seolah-olah ia tidak menyadari ia melakukannya.
Ia mulai mengepel lantai lagi ketika aku menyembunyikan senyumku karena ia tampak menggemaskan saat ia cemburu—aku mengenalnya. Sementara Jongin populer dengan cukup banyak anak perempuan di sekolah ini, Kim Joon Myun juga memiliki grup fansnya sendiri. Ia mempesona, sangat tampan dan pintar.
"Kami hanya bekerja sama dalam sebuah artikel untuk penerbitan berikutnya." Aku menjelaskan, memberinya senyum menyenangkan. Jongin hanya tersenyum lemah padaku. "Aku harus pergi." Ujarku.
Aku hampir berjalan kembali ke pintu kantor ketika Jongin meraih tanganku, "Biarkan pintunya terbuka, oke?" Ia mengingatkan aku, hampir memaksa.
"Ya, Pak." Jawabku, menahan tawa dan kemudian aku kembali ke dalam kantor, meninggalkan pintu tetap terbuka.
Selama beberapa hari terakhir, Joon Myun dan aku sibuk bekerja dengan artikel kami dan mengorek ide-ide. Aku pura-pura tidak melihat, tapi Jongin akan selalu mengintip melalui pintu yang terbuka dari kantor setiap kali ia membersihkan koridor atau mengelap kaca jendela di sepanjang lorong.
"Kudengar kau berkencan dengan Jongin." Kata Joon Myun suatu Jumat sore ketika kami mulai menyusun artikel.
Aku melirik sedikit ke pintu yang terbuka dari kantor. Jongin buru-buru membersihkan bingkai kaca di kantor. Ini hari terakhirnya mengerjakan detensi.
"Yang kau dengar itu benar." Ujarku pada Joon Myun.
"Aku tidak tahu kau suka penari." Katanya, menyengir jahil.
Aku tertawa. "Ya, aku juga tidak mengetahuinya." Ucapku.
Joon Myun dan aku menghabiskan satu jam berikutnya bekerja kembali. Pada saat kami selesai, matahari sudah terbenam. Aku sedang mengumpulkan barang-barangku di meja saat terdengar ketukan di pintu, aku berpaling untuk melihat Jongin berdiri di dekat pintu dan aku otomatis tersenyum padanya.
"Kau sudah selesai?" Tanyanya sambil mendekatiku.
"Ya." Kataku, menganggukan kepalaku lalu aku menyeleting tasku. "Dan kau?"
"Kau bisa memeriksa lantai di luar dan melihatnya sendiri." Ujarnya menyeringai saat ia mencapai mejaku. "Jika aku gagal dalam akademik atau dalam menari, setidaknya aku tahu aku memiliki prospek dalam bersih-bersih." Katanya bercanda, membuatku tertawa.
"Hana, lihat aku menemukan beberapa—" Joon Myun memulai tapi berhenti ketika ia melihatku dan Jongin sedang memandangnya. "Oh, hey." Ujarnya agak canggung dan menganggukan kepalanya ke arah Jongin, yang sedang memasang ekspresi datar di wajahnya.
"Jongin, ini Kim Joon Myun." Kataku setelah jeda canggung. "Dia staf di sini juga." Aku menambahkan, menyuntikkan nada yang lebih riang dalam suaraku. "Dan Joon Myun ini Jongin. Dia—" Aku tiba-tiba berhenti, bertanya-tanya apakah aku harus menyebutkan Jongin sebagai pacarku, maksudku, mungkinkah itu kelihatan seperti aku sedang menyodorkan wajahnya? "—Kim Jongin." Aku menyelesaikan dengan canggung.
Comments