Chapter 28
Never Let Me Go [Indonesian]Aku menjatuhkan buku-bukuku di lantai. "Rahasia apa?" Aku berbalik bertanya padanya, merasa lebih gugup menit itu.
Min Jee tertawa. "Aku tidak tahu, katakan padaku." Katanya.
Aku menghela napas. "Min Jee, ini tidak lucu!" Aku mendesis padanya.
"Oke, pertama-tama, kau tidak memiliki hak untuk marah di sini." Min Jee mengatakan, wajahnya masam. "Akulah yang seharusnya marah disini—" ia menudingkan jarinya ke dada "—karena sahabatku menyembunyikan rahasia dariku sekarang."
Aku mengerjapkan mata padanya kebingungan. Depresi dan alkohol masalah Ibuku bukan rahasia untuknya. Jika ada, ialah satu-satunya orang yang tahu tentang hal itu di sekolah ini.
"Kau berpacaran dengan Jongin." Kata Min Jee. Itu tidak benar-benar sebuah pertanyaan.
Aku menatapnya sejenak dan kemudian aku tertawa gugup. Sekarang giliran Min Jee untuk mengerutkan kening padaku, tampak sama-sama bingung dan kesal.
"Apa— Hey!" Kata Min Jee dengan jengkel.
"Maafkan aku." Kataku sambil menggigit bibir bawahku untuk menahan diri dari tertawa. "Aku sangat menyesal."
Min Jee menghela napas. "Aku tidak percaya kau tidak memberitahuku. Aku sahabatmu!"
"Aku tahu." Ujarku setelah mengambil napas dalam-dalam. "Aku akan memberitahumu hari ini. Sumpah." Tambahku ketika ia masih cemberut padaku.
"Baiklah." Katanya, "Berjanjilah padaku bahwa kau akan menceritakan semuanya."
Aku mengangguk sekali dan kemudian aku ingat buku-bukuku di lantai. "Tunggu, bagaimana kau tahu?" Aku bertanya saat aku menata kembali setelah mengambil buku-bukuku. "Jongin memberitahumu?"
"Tidak, seluruh sekolah mengatakannya padaku." Min Jee menjawab.
"Apa maksudmu?" Aku mengerutkan kening padanya sambil menata barang-barangku kedalam loker.
Min Jee tersenyum nakal. "Menurut teman sekelasku—yang sepertinya terobsesi pada Jongin—sore ini, seorang gadis mengaku padanya. Jongin menolak, tentu saja. Gadis itu memintanya untuk memberi alasan kenapa dan kemudian Jongin mengatakan bahwa dia punya pacar sekarang." Ia menyeringai lebih lebar, "Lalu ia menyebutkan namanya. Namamu."
"Dia melakukannya?" Aku terkekeh dan aku tahu betul aku merona sekarang.
"Ya." Kata Min Jee, melompat kegirangan seperti anak berusia sepuluh tahun yang baru saja membeli balon pertamanya yang besar. "Oke, aku butuh detailnya. Kapan itu terjadi?"
"Tadi malam." Kataku, terlalu malu untuk melihat sahabatku. "Di studio tari."
"Apa kalian berciuman?" Tanya Min Jee lagi.
Aku berpaling untuk melihat sahabatku tak percaya. Alis Min Jee melengkung, menunggu tanggapanku. Ia tidak akan pernah membiarkanku lolos, pikirku. "Ya." Jawabku sesantai mungkin.
Min Jee menjerit kecil dalam kegembiraannya sementara aku tertawa dan menggelengkan kepala. "Oke, jadi bagaimana?" Ia bertanya, suaranya terdengar seperti sebuah bisikan nakal.
"Bagaimana apanya?"
"Ciuman pertamamu, tentu saja!" Desisnya padaku.
"Oke, aku sangat tidak ingin menceritakannya padamu." Ujarku datar, berbalik kembali ke loker.
Min Jee mengerang. "Itu sangat tidak adil!" Rengeknya. "Kau bilang kau akan menceritakan semua detailnya."
"Ya, tapi tidak setiap detail kecilnya!" Aku memarahinya.
"Baiklah." Katanya setelah beberapa saat, dan kemudian ia tersenyum lagi. "Katakan saja kalau dia pencium yang baik kalau begitu."
"Apa?" Kataku terperangah.
"Ini hanya pertanyaan sederhana yang dijawab dengan ya atau tidak." Kata Min Jee, tangannya di pinggangnya. "Apakah itu ya atau tidak?" Desaknya.
Aku ragu-ragu untuk menjawabnya, untuk sesaat, lalu aku mengerang frustrasi dan berseru, "Ya."
Min Jee menjerit gembira lagi. "Ya Tuhan, aku butuh pacar!" Renungnya dengan keras "Pokoknya, aku ikut senang untukmu." Katanya, menyenggol sisiku dengan lembut. "Sangat senang."
Aku tersenyum ke arahnya . "Terima kasih."
Please Subscribe to read the full chapter
Comments