Chapter 18
Never Let Me Go [Indonesian]Udara malam yang dingin membelai pipiku, menabrak rambutku dengan lembut di bahuku dan aku menangkap bau sabun dan bau vanila akrab dari Jongin yang masih menatapku, menunggu jawaban.
"Oke." Kataku setelah menekan bibirku.
Jongin diam-diam membawaku ke sebuah taman di seberang toko buku. Entah bagaimana, taman ini tampak akrab bagiu dan aku menyadari aku pernah ke sini. Taman itu cukup kosong dan itu membawa kenangan pahit. Tapi cahaya lampu lembut dari tiang yang menyusuri jalanan membuatnya tampak seperti tempat yang berbeda dengan seketika. Hembusan lembut angin terasa cukup nyaman juga.
"Kenapa kau tersenyum?" Aku mendengar Jongin bertanya.
Aku berbalik ke arahnya, ia menatapku disampingnya dan aku menyadari ia benar. Aku tersenyum. "Bukan apa-apa." Kataku, tapi aku masih tersenyum. "Hanya karena taman ini ... "
"Hmmm?"
"Aku dulu sering pergi ke sini bersama orang tuaku." Aku mendengar diriku berkata.
"Dulu?" Tanya Jongin, "Berarti kau tidak pergi kesini lagi?"
"Dengan orang tuaku? Tidak." Aku menggeleng. "Tidak lagi." Aku menambahkan dan menjentikkan rambutku dari bahu dan melirik padanya. "Beberapa hal berubah."
"Apa itu gazebo?" Kata Jongin, menyipitkan mata ke depan.
"Ya." Kataku saat kami berdua berjalan ke arah sana.
Seiring kami berjalan ke arah gazebo itu, aku menyadari ternyata gazebo itu lebih besar daripada apa yang terlihat dan ada dua bangku kayu di kedua sisi.
"Ini terlihat rapi." Kata Jongin, melihat sekeliling gazebo.
Tanpa pikir panjang, aku mengangguk dengan tersenyum dan melihat sekeliling gazebo juga. "Apa itu?" Aku bertanya pada Jongin ketika aku mengamati, untuk pertama kalinya malam itu, ia memegang sesuatu. Sebuah kotak.
"Oh, ini?" Kata Jongin, mengetuk ringan kotak itu dan senyum malu-malu. "Uh, aku membelinya untukmu."
Aku mengerutkan kening dengan bingung. Aku melihat ia pergi menuju salah satu bangku, ia duduk di atasnya dan meletakkan kotak itu di sampingnya. Ia menatapku dan menunjukku untuk bergabung dengannya. Aku berjalan ke arahnya saat ia mulai membuka kotak itu. Aku mengintip ke dalam dan melihat delapan potong cupcakes mengagumkan dan lezat menggoda.
"Sangat cantik..." aku mendengar diriku berkata kagum. "Oh dan mereka memiliki marshmallow kecil di dalamnya ... "
"Kau bilang ini jenis cupcakes favoritmu." Kata Jongin, tersenyum lembut padaku.
Kualihkan pandanganku ke arahnya dan bertanya-tanya sejenak kapan tepatnya aku mengatakan informasi itu padanya. Aku ingin menanyakannya tapi aku tersenyum ke arahnya. "Ya, cupcakes ini ... " kataku dan kemudian aku mengambil tempat duduk. Aku menatap lagi kotak cupcakes yang duduk di antara kami berdua.
"Hana," kata Jongin setelah membersihkan tenggorokannya, membuatku menatapnya. Matanya tertuju padaku. "Aku—," ia tergagap, mengambil sekilas sepatunya dan kemudian kembali ke arahku. "Maafkan aku ... tentang apa yang aku lakukan siang tadi."
"Apa semua ini tentang itu?" Aku bertanya, memiringkan kepala ke kotak cupcakes.
Jongin tersenyum malu-malu sambil menggaruk-garuk kepalanya. Aku mengambil cupcake dan mengangkatnya. "Kau tahu ini benar-benar tidak adil." Kataku padanya, tersenyum kecil.
Jongin terkekeh. "Jadi kau mau memafkan aku?"
Aku mengalihkan pandangaku padanya dan mennggeser cupcake yang ada didalam kotak, senyum di wajaku perlahan-lahan memudar. "Aku tidak berpikir aku seharusnya menjadi orang yang mendapatkan ini sepertinya."
"Jika kau masih khawatir tentang Eun Hee," kata Jongin, bergeser sedikit di kursinya. "Aku sudah meminta maaf kepadanya dan dia menerima permintaan maafku... "
Aku tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat, aku hanya menatapnya dan melihat ada jerawat kecil mungil di pipinya, tapi entah bagaimana, ia masih tampak benar-benar tampan. Ini tidak adil.
"Kau tidak percaya padaku." Ujarnya, matanya menatapku.
"Aku percaya padamu." Kataku jujur .
Jongin mengangguk ringan. "Aku benar-benar minta maaf ... " katanya sambil melirik kearahku. "Aku kira aku sedang sangat tidak mood saat itu."
Jadi aku benar, batinku. Ia benar-benar sedang mengalami temperamen buruk karena insiden latihan terbuka. Aku akan bertanya padanya tentang hal itu, tetapi pertanyaannya yang berikutnya mengejutkanku.
"Apa itu Dae Hyun?" Tanyanya, matanya melebar seolah-olah ia sama terkejutnya sepertiku karena pertanyaannya. Ia menoleh ke arahku sejenak dan menatapku ragu-ragu. "Maksudku, ketika kita berdebat di area loker, kau—"
"Aku tahu apa yang kau tanyakan." Aku memotongnya dan memalingkan muka darinya.
"Maafkan aku." Katanya cepat. "Lupakan aku bertanya—"
"Ya, itu dia." Kataku pelan dan masih tidak memandangnya. "Aku rasa semua orang di sekolah tahu ... bahwa dia mencampakkanku .. " kataku sambil tertawa canggung. "Aku pikir itu semua
Comments